Hampir satu malaman Adam menimang keputusan untuk meminta bantuan Hanafi. Seorang teman lama yang dia kenal semenjak mereka masih kuliah. Selama ini Adam juga mengenal dengan baik keluarga Hanafi. Jadi tidak ada salahnya jika Adam meminta bantuan Hanafi sebagai perantara agar Ais bisa melupakan mantan suaminya.
Keputusan sudah bulat dan kini Adam langsung menghubungi Hanafi untuk membicarakan keinginannya. Berharap Hanafi mau membantu dirinya. Toh juga tidak ada salahnya jika Adam memilih Hanafi untuk menyembuhkan luka Ais, karena Adam telah mengenal Hanafi dengan baik.
"Assalamualaikum, Hanaf. Maaf telah mengganggu waktu istirahatmu. Bisakah besok kamu ke rumahku? Ada yang ingin aku bahas denganmu," kata Adam saat panggilannya diangkat oleh Hanaf.
"Waalaikumsallam. Ah, tidak mengganggu. Aku belum tidur kok. Sepertinya ada hal yang penting. Apa itu?"
"Aku tidak bisa membicarakan lewat telepon untuk itu aku memintamu untuk dapat ke rumahku," ujar Adam.
"Tidak masalah. Tapi agak siang, ya. Kamu kan tau jika pagi aku harus mengajar."
"Iya, aku tau itu. Aku tunggu selepas Ashar ya! Tapi satu lagi ... tolong besok pagi antarkan Ais ke kampus ya. Soalnya aku ada urusan penting dan enggak bisa antarin dia."
"Baiklah tidak masalah. Aku akan antar adik kamu. Adik kamu kan juga adik aku. Aku juga akan ke rumahmu selepas Ashar."
Kini Adam bisa bernapas dengan lega, berharap Hanaf bisa berbesar hati untuk menerima keinginan.
"Semoga Hanaf menyetujui keinginanku. Toh dia juga tidak punya pacar."
****
Malam panjang pun berlalu begitu saja. Ais yang sudah terbiasa bangun pagi langsung melakukan aktivitas seperti biasanya.
Selepas sholat subuh, Ais menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan untuknya dan juga untuk kakaknya. Suasana pagi yang masih dingin lagi-lagi membawa ingatan pada Azam, yang selama ini ada disampingnya. Menemaninya memasak dan membagi tugas rumah. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan.
Ais pun segera menepis perasaannya, saat dia mengingat jika saat ini Azam telah memiliki istri baru. Tentu saja Azam akan menghabiskan waktu bersama dengan wanita itu.
"Astaghfirullah ... Ais! Sampai kapan kamu berada dalam bayang-bayang masa lalu. Lupakan Mas Azam, Ais! Biarkan dia membahagiakan orang tuanya. Saat ini kamu bukan siapa-siapa di mata Mas Azam."
Sebisa mungkin Ais mencoba untuk menyemangati dirinya sendiri. Jika bukan dia, sendiri, lalu siapa?
Hampir satu jam Ais mengerjakan apa yang sebenarnya dia kerjakan. Dari mulai masak, nyapu dan ngepel.
"Wah ... rajin amat kamu, Ais? Meskipun matahari belum terbit, tetapi Mas sudah melihat wajahmu bersinar dengan terang. Sepertinya hari sudah ada yang bisa melupakan masa lalunya," ujar Adam saat melihat Ais sedang menatap sarapan di meja makan.
"Mas Adam bisa aja. Aku sudah terbiasa dengan pekerjaan seperti ini. Jadi rasanya ada yang kurang saat aku hanya berdiam diri tanpa mengerjakan sesuatu. Mas Adam tumben belum siap-siap? Apakah enggak ngajar?" Ais heran dengan kakaknya yang menuju meja makan masih dengan pakaian tidurnya.
"Iya. Hari ini mas libur gak ngajar. Mas juga gak bisa nganterin kamu ke kampus. Tapi kamu tenang aja, Mas udah minta bantuan teman Mas untuk nganterin kamu ke kampus sekalian dia juga pergi ngajar ke sekolah."
"Laki-laki apa perempuan, Mas? Kalau laki-laki aku enggak mau!" Ais telah menolak duluan jika ternyata yang akan mengantarkan adalah teman laki-lakinya.
"Lho, memangnya kenapa? Dia baik kok. Dia juga nggak bakal macam-macam sama kamu. Kamu mau ya! Lagian juga satu arah. Nanti kalau dia berani macam-macam sama kamu, langsung bilang sama Mas!" Sebisa mungkin Adam tetap meyakinkan Ais agar mau diantar oleh Hanafi.
"Mas ... Ais enggak mau! Ais enggak terbiasa jalan bersama dengan orang yang bukan muhrimnya."
"Ais ... untuk kali ini aja, ya. Dia orang baik kok. Ya!" Adam tetap merengek pada adiknya.
Sejenak Ais terdiam. Melihat gelagat kakaknya yang tidak seperti biasanya, dia pun mulai menaruh rasa curiga.
"Jangan bilang Mas Adam memang sengaja ingin mengenalkan aku sama temen Mas, kan?" tebak Ais yang sudah bisa membaca pikiran Adam.
Adam tersenyum kecil. "Ya begitulah. Kamu mau ya! Dia orang baik kok."
Sebenarnya Ais merasa malas untuk mengikuti keinginan kakaknya, tetapi dia juga tidak mau membuat sang kakak yang terus menerus mengkhawatirkan dirinya. Ais tau jika kakaknya memang sengaja melakukan semua ini agar dirinya tak terus-terusan memikirkan mantan suaminya.
"Ya udah, aku mau. Tapi ini adalah yang pertama dan terakhir mas Adam maksa Ai untuk jalan sama temen Mas Adam. Lain kali Ais enggak mau!"
"Oke, gak masalah. Bentar Mas telepon Hanaf dulu," ujar Adam yang kemudian mencari ponselnya untuk menelepon Hanafi.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments
Ilan Irliana
jan2 Hanafi yg ngnterin buku Adam lg...hihi
2023-06-21
0
Wahida Kaffasya
seharusnya adam tu jgn gegabah kan si aisha masih masa iddah gak baik perempuan masih masa iddah dekat dgn laki"
2023-05-15
0
Jue
Ingat dulu kamu itu masih dalam masa idah 3 bulan 10 hari
2023-05-11
1