"Aku naik bis saja dari sini, Rin," nyata Hakiki.
"Masuklah ke rumah sebentar. Lagian masih sore kok," pinta Arini manja.
"Oke."
Arini memarkirkan mobil di halaman depan rumah. Tak berapa lama Arini dan Hakiki keluar dari mobil. Arini menunggu Hakiki untuk masuk ke dalam rumah. Dia tersenyum lalu menarik tangan sahabatnya.
Arini membuka pintu utama rumah. Memberi kode kepada sahabatnya itu untuk masuk ke dalam. Rumah yang megah itu terasa sejuk, rapi, bersih dan terang karena lebih didominasi warna putih.
Tanpa disuruh, Hakiki duduk di sofa. Dia tak canggung lagi kalau sudah di rumah Arini.
"Wait ya Ki, aku mau nyuruh si mbok buat minuman. Ini fotonya," sodor Arini. Amplop coklat besar sudah berpindah tangan.
Hakiki tak menjawab. Hanya membuat tanda oke pada tangan kiri. Tangan kanan menyambut amplop coklat.
Arini masuk ke dalam rumah melewati satu unit sofa yang lain, masih berada di ruang tamu. Ruangan yang panjangnya sekitar 9 meter itu dilewati sampai tubuhnya yang mungil tak kelihatan lagi.
Hakiki membuka amplop besar berwarna coklat. Diambilnya semua lembaran foto yang ada di dalam, menarik keluar. Cukup banyak juga, mungkin sekitar tiga puluh foto. Dia melihat sekumpulan foto, satu per satu dan diseleksi dengan kedua tangan, yang sudah selesai dilihat berada di tangan kanan. Perlahan-lahan dia melihat foto-foto itu, terkadang berhenti di satu foto karena ingin mengagumi keindahan foto tersebut. Sebenarnya, mereka sudah melihat hasil di tempat cetak tadi, namun tidak terlalu puas karena hanya mengecek dan melihat sekilas. Hakiki mencetak dengan dua versi, satu full color dan yang satu lagi hitam putih, tapi Arini tidak mengetahui hal itu karena nanti dia pasti protes, 'buang-buang uang doang jadinya', pasti seperti dia berkata seperti itu. Hal itu dilakukan Hakiki karena dia menyukai foto hitam putih. Dari foto hitam putih itu seakan terpancar aura dan keindahan sebenarnya. Itu menurut dia.
"Gimana, Ki? Bagus-bagus fotonya?" tanya Arini dari kejauhan. Dia sudah masuk ke ruang tamu. Berjalan beberapa langkah menuju Hakiki. Gadis yang memakai baju berwarna lembut, duduk di sampingnya.
"Ya... semuanya bagus. Aku puas dengan hasil ini," nyata Hakiki.
Arini mengambil beberapa foto. Diamatinya sekumpulan foto, satu per satu. Dia tersenyum kecil, terkadang dia tertawa. Dia memperlihatkan kepada Hakiki beberapa foto dan sedikit mengutarakan pendapatnya tentang foto itu, Hakiki mendengarkannya dengan baik dan terkadang senyum menghiasi wajah.
"Den Hakiki, apa kabar?" sapa Si Mbok yang masuk ke ruang tamu dan telah mendekati mereka. Perempuan separuh baya itu membawa baki berisi minuman dan dua toples makanan ringan, nastar dan kue coklat coco crunch.
"Oh, Si Mbok. Saya baik, Mbok," Hakiki berdiri dan menyalaminya. "Si Mbok apa kabar?"
"Baik den. Alhamdulillah."
"Alhamdulillah ya, Mbok."
"Kok makin cakep aja sih, Den," goda Si Mbok.
"Sekarang banyak cewek yang tergila-gila padanya, Mbok." Arini tiba-tiba menimpali.
Hakiki tertawa kecil. Dia berusaha untuk menahan malu.
"Ya jelas. Mbok kalau ada anak perawan, pasti mau jodohin sama aden," nyatanya.
"Ah... Si Mbok bisa aja."
"Diminum ya den, Mbok mau masuk ke dalam, masih ada kerjaan lain."
"Iya, Mbok." Hakiki memperhatikan punggung wanita separuh baya sampai menghilang dari ruang tamu, dia duduk kembali.
"Siapa sih yang enggak mau jodohin anaknya kalau ngeliat kamu," canda Arini.
"Udah deh, Rin. Bahas yang lain deh," ujarnya. Sepertinya Hakiki sedikit risih dengan perkataan itu.
Hakiki kembali melihat-lihat foto yang berserakan di meja. Begitu banyak momen yang telah diabadikan mereka berdua sejak berteman dekat. Termasuk sekumpulan foto yang sekarang ini.
"Coba liat foto ini," seru Arini sambil menunjukkan tiga foto ke Hakiki.
Sekumpulan foto Arini di monumen.
"Gimana menurut kamu?" tanya Arini.
Hakiki terdiam. Dari kemarin, sebelum dicetak, dia memang sedikit fokus dengan ketiga foto ini. Arini tampak beda di sini. Terlihat lebih cerah, gembira dan tentu saja mempesona. Tapi yang lebih hebatnya lagi, aura gadis itu sangat keluar di foto ini. Seperti berbinar. Apakah karena pencahayaan yang bagus atau hanya kebetulan saja. Baju yang dipakai Arini pada saat itu juga mendukung dengan arsitektur monumen yang bergaya Eropa.
"Aku suka ngeliat foto kamu di sini, di monumen ini," nyata Hakiki.
"Ya, aku juga. Sepertinya aku bebas berekspresi di situ. Dan perasaan aku seperti berbunga-bunga dan sedang mengalami perasaan yang begitu indah."
"Ya... memang tampak beda kamu di sini."
Tiba-tiba Arini memalingkan wajahnya ke luar rumah. Terdengar suara menderu dari luar. Arini melongok ke arah jendela depan. Dia mengenal suara sepeda motor itu. "Kakakku pulang," nyata Arini. "Tumben dia pulang masih sore begini."
Hakiki cuma terdiam. Dia juga baru kali ini akan bertemu kakak Arini setelah sekian tahun berteman dekat.
Tak berapa lama, masuk seorang pemuda berparas menawan. Putih, bersih, berambut lurus. Badannya tinggi semampai, lebih tinggi dari Hakiki." Assalamualaikum," sapanya.
"Wa'alaikum salam," jawab mereka berdua pelan.
Hakiki menoleh ke pemuda itu. Dia tertegun. Baru kali ini dia melihat kakak Arini. Ternyata sangat beda dengan yang di foto. Lebih tampan. Kulitnya bersih. Wajahnya mungil dan matanya sedikit kecil daripada mata Arini yang besar. Hidungnya juga kecil tapi tinggi, berbatang. Bibirnya merah, tidak lebar tapi berisi, apalagi bibir bawahnya yang akan menggoda setiap wanita yang melihat.
"Ini kakakku, Ki." Arini berseru kepada Hakiki.
"Oh." Hakiki kaget. Dia langsung berdiri cepat dan menyalami pemuda yang diperkenalkan kepadanya. Ada yang aneh, terlintas di pikiran Hakiki. Dia berusaha membuang wajah penasarannya. "Hallo, Kak." Sapanya sambil mengulurkan tangan.
"Ini Hakiki, Kak." Arini sengaja memperkenalkan mereka karena memang tidak pernah bertemu selama ini. Tapi seperti ada kepura - puraan di wajahnya.
"Ya," jawabnya singkat. Tapi senyum tipis terulas di bibir. Dia meraih tangan Hakiki. Tapi dia sepertinya tidak terkejut dengan Hakiki yang menjadi sahabat adiknya dan baru bertemu sekarang. Padahal Arini dan Hakiki sudah berteman selama tiga setengah tahun. Dan pemuda itu juga tidak memperkenalkan namanya kepada Hakiki. Tak berapa lama dia melepaskan tangannya dari tangan Hakiki.
"Tumben, jam segini sudah pulang?" tanya Arini. " Biasanya selalu pulang malam terus, sampai-sampai kita yang serumah aja susah untuk bertemu setiap hari," nyata Arini menggoda kakaknya.
Pemuda itu lalu meletakkan tas ransel berwarna abu-abu di meja. Dia duduk, menghempaskan pantatnya.
"Bawel ah," nyatanya singkat.
Hakiki sedikit terkejut bukan karena perkataan pemuda itu, tapi terkejut karena kakak Arini ikut duduk bersama mereka. Dia menunjukkan wajah blank face. Pelan-pelan dalam keadaan canggung Hakiki duduk kembali di sofa yang dia duduki semula.
Kakak Arini menoleh Hakiki. Dia memperhatikan wajah itu sejenak. Pandangannya berubah ke meja sofa di detik berikutnya. Dan tiba-tiba, "Waaaaaaah.... Foto-foto ini bagus bangeeeeet.... Dimana kalian mengambilnya?"
Hakiki kaget. Suara dari pemuda yang bwrwajah mungil sangat kencang dan merapal dengan cepat. Ekspresi menawan pemuda itu pada saat masuk ke rumah, hilang seketika karena nada bicara dan wajahnya sekarang sangat menggelikan. Hakiki merasa lucu ketika melihat ekspresi wajah pemuda yang baru saja dikenalnya. Dia sedikit menahan tawa.
Arini sepertinya biasa saja. Dia mungkin sudah terbiasa dengan ekspresi kakaknya dan dia seolah - olah menyembunyikan sesuatu yang tak ingin diungkapkannya.
"Kok diam! Waaaah.... Elu nyuekin gua ya, Rin. Kakak elu nanya nih, kalian ngambil foto dimana? Waaaah...," Sepertinya kakak Arini semakin bersemangat dari gaya dia bertanya sambil menggerakkan kepalanya. Badannya berulang kali bergerak mundur dan maju ke punggung sofa. Ucapannya sangat kencang dan cepat.
"Bawel ah. Ini di Kebun Raya Bogor loh," nyata Arini.
"Bagus nih foto-fotonya. Siapa yang jadi fotografer? Waaaah... emang parah lu, Rin enggak ngajak-ngajak gua kemari."
"Hakiki fotografernya. Lah kak... elu aja pulangnya kapan-kapan ke rumah, boro-boro mau ngajak, sarapan aja kayaknya udah 7 tahun kita enggak pernah bareng lagi," nyata Arini. Dia tidak marah tapi memang seperti itu Arini berbicara kepada kakaknya.
"Waaaaaah... bahasnya kemana-mana. Bawel ah kamu," seru kakak Arini. Lalu dia mencubit pipi adiknya. Dia berdiri mengambil tas di atas meja. Ketika dia sedikit membungkuk untuk mengambil tas, gerakannya terhenti, tangan kanannya menggeser tumpukan foto. Ada satu foto yang terselip menjadi incaran. Menggeser beberapa foto yang lain dan mengambil foto yang dituju. Dia berdiri tertegun. Memegang satu foto. Memandang foto Arini yang berada di monumen. Wajahnya seperti terkoyak. Pucat. Kulit putih di wajahnya semakin kelihatan. Kedua kelopak matanya yang kecil, terlihat membesar. Begitu juga dengan kedua bola mata.
"Ada apa kak?" tanya Arini penuh keheranan.
Hakiki yang dari tadi tersenyum simpul melihat tingkah kakak Arini, kali ini terdiam dan memasang wajah penuh tanda tanya.
"Kak?"
"Ah... nggak apa-apa." Pemuda itu berusaha untuk kembali ke alam nyata. "Waaaaaah... kamu cantik banget di sini." Ada kepura-puraan di raut wajah kakak Arini. Tidak seperti ekspresi tadi yang sangat natural. Hakiki bisa membaca gerak-geriknya. Ada sesuatu yang ganjil.
"Kakak mau ke kamar. Sudah ya. Ouh... ya, kamu Hakiki, tolong jaga adik gua baik-baik," serunya kepada Hakiki. Gayanya sangat jantan. Dia menepuk pundak Hakiki yang masih duduk di sofa. Mata kanannya mengedip dengan cepat ke arah Hakiki dan pemuda itupun berlalu.
Deg.
Jantung Hakiki seakan berhenti sekian detik. Dia menoleh cepat ke arah kakak Arini yang sedang berjalan. Dia melihat bagian punggung pemuda yang lumayan lebar untuk ukuran remaja. Ingatan Hakiki melayang ke tujuh tahun yang lalu. "Mata itu.... Mata itu.... Apakah itu dia? Ya Tuhan," lirih Hakiki.
*******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Junaldi Junaldi
Kakaknya aneh
2020-07-12
1
Manzilia
Yaaaaaakh....
Kakaknya Arini..... Itu jin bts...
Dia mengedipkan mata....
2020-07-06
1