Arini menunggu kedatangan Dapi di rumah, karena sesuai anjuran Dapi, pemuda itu saja yang ke rumah Arini menggunakan sepeda motor, kemudian bersama-sama untuk menjemput Hakiki dengan mobil Arini.
Sudah jam 7 lewat 15, tapi Dapi belum sampai juga, padahal tadi malam, pemuda itu berjanji akan sampai di rumah Arini jam 7 pagi ini. Arini sudah menyiapkan segala sesuatu. Makanan, pakaian ganti dan beberapa perlengkapan. Mereka memutuskan untuk pergi ke pantai hari ini. Arini juga sudah meminta izin kepada orang tuanya. Kebetulan Ibu dan Ayahnya sedang di luar kota, jadi dia meminta izin melalui telepon semalam dan memberitahu ke kakaknya yang ada di rumah, kalau dia akan pergi dengan temannya hari ini.
"Jangan yang aneh-aneh ya Rin. Kamu pergi dengan Hakiki, kan?" tanya ayahnya semalam ditelepon.
"Iya, Pa. Arini enggak aneh - aneh kok, hanya pergi bertiga dengan Hakiki dan teman sekolah Arini, namanya Dapi," jelasnya.
"Oke. Papa percaya sama kamu. Dan pulangnya jangan sampe malam, usahakan Maghrib sudah sampai di rumah," pesan Ayahnya.
" Iya, Pa," jawab Arini sopan.
Walaupun Ayah dan Ibu Arini sibuk, tapi dirinya masih terkendali dan masih diperhatikan oleh orang tua. Arini juga tidak ingin membuat orang tuanya kecewa karena Arini sangat menyayangi mereka. Jadi dia membalas kasih sayang orang tua dengan melakukan hal-hal yang baik.
Dari kejauhan terdengar suara sepeda motor. Arini bergegas keluar dari rumah dan menyuruh satpam untuk membukakan pintu pagar. Ternyata benar, itu Dapi. Dimintanya satpam untuk mengarahkan Dapi masuk dengan motornya. Satpam itupun melaksanakan permintaan Arini.
Dapi yang masih berada di atas sepeda motor, mengegas kecil kendaraannya agar bisa masuk ke halaman depan rumah Arini. Memarkirkan sepeda motor tak berapa jauh dari pos satpam. Turun dari sepeda motor. Membuka helm berwarna biru gelap. berusaha merapikan rambut lurus yang hitam dengan cara menyisir ke belakang dengan jari tangan kanan. Kaca spion sepeda motor dipergunakan sebagai cermin untuk melihat dirinya.
Pemuda ini memakai jaket kulit berwarna hitam. Di dalam terlihat baju kaos berwarna biru muda, dipadupadankan dengan celana jeans belel berwarna pudar yang ada sedikit robek di kedua lutut. Bagian bawah, dia memakai sepatu berwarna biru sebagai pembungkus kakinya.
Arini yang berdiri di teras rumah, terkesima dengan penampilan Dapi. Sederhana tapi menarik.
"Hei... apa kabar? Maaf, aku terlambat. Kalau urusan janji untuk pergi, aku susah mengubahnya, memang suka telat," jelas Dapi ketika mendekati Arini di teras rumah.
Arini tersenyum kecil.
"Ya, tidak apa-apa. Lewat 15 menit kok, aku bisa maklumi tapi kalau Hakiki tak suka soal tak tepat waktu, apalagi kalau ingkar janji. Karena itu, aku janji dengan Hakiki jam 8.30 akan menjemputnya di rumah," balas Arini menjelaskan.
"Masa sih? Aku harus merubah kebiasaan burukku ini supaya bisa akur dengannya," canda Dapi sambil tertawa kecil.
"Oke... ayo kita pergi."
"Tunggu dulu.... Aku harus pamit dengan orang tua kamu dulu, Rin. Tak sopan kalau seperti ini," jelas Dapi.
Langkah Arini tertahan. "Ayah Ibuku di luar kota dari minggu yang lalu. Tadi malam aku sudah nelpon dan ngasi tau ke mereka soal ini dan mereka mengizinkan," jelas Arini.
"Begitu ya. Apa tidak ada anggota keluarga yang bisa aku temui untuk pamit?.
"Ada. Kakakku. Tapi jam segini dia masih tidur."
"Kalau yang lain?" tanya Dapi lagi.
"Palingan Si Mbok yang ngurus aku dari kecil."
"Nah... sama Si Mbok juga boleh. Aku merasa tak sopan untuk bepergian seperti ini, jadi tak tenang nanti," jelas Dapi.
Arini mengerenyitkan kening. Pemuda ini sangat sopan. Itu yang ada dipikiran Arini.
"Oke, aku panggilkan Si Mbok atau kamu mau masuk?" tanya Arini dengan mengkodekan tangan menunjuk ke dalam rumah.
"Dipanggil saja. Maaf, aku nunggu di sini saja," balas Dapi dengan sopan. Senyum kecil selalu menghiasi wajahnya.
Arinipun masuk ke dalam rumah dan tak berapa lama keluar dengan wanita paruh baya.
"Ini Mbok, teman Arini mau pamit," jelasnya.
Wanita paruh baya itupun merasa aneh dan memasang raut wajah penuh kebingungan. Mungkin tak pernah hal ini terjadi.
"Maaf mbok, saya Dapi. Saya cuma mau pamit saja, mau pergi dengan Arini, terus ke rumah Hakiki, kami pergi bertiga. Jadi karena tidak ada orang tua Arini, saya ngasi taunya sama si mbok saja. Rasanya tidak etis jika saya pergi dengan Arini tanpa memberitahu orang yang ada di rumah ini, "jelas Dapi tentang maksud dan tujuannya.
"Oh, iya den. Tidak papa. Karena den Arini sudah diberi izin oleh orang tuanya untuk pergi hari ini," jelas wanita itu pula sambil membungkukkan badan. Akhirnya, terlihat sedikit kejelasan di raut muka wanita yang sudah lama bekerja di rumah Arini dan sepertinya Si Mbok memuji kesopanan pemuda yang ada di hadapannya saat ini.
"Oke.... Ayo kita pergi, sudah jam setengah 8, aku takut macet dan telat jemput Hakiki. Barang- barang sudah di mobil semua."
"Ayo. Permisi ya Mbok," pamit Dapi kepada wanita itu.
Si Mbok hanya menganggukkan kepala dan tersenyum.
Dapi mengikuti langkah Arini. Arini memberikan kunci mobil kepadanya.
"Punya SIM, kan?" tanya Arini.
"Punya dong," jawab Dapi cepat. " Aku terpaksa memalsukan umurku setahun untuk mengurus SIM A dan C," jelas Dapi.
"Sama dong. Aku juga begitu. Lebih baik seperti itu daripada melanggar peraturan lalu lintas, kan?"
Lalu mereka masuk ke dalam mobil.
Dapi memutar mobil di halaman depan rumah karena halaman depan memang sangat lebar, jadi dia tak perlu harus mengeluarkan mobil dalam poisis mundur untuk keluar. Mengklakson ke arah wanita separuh baya yang masih berdiri di teras rumah dan tak berapa lama membunyikan klakson sekali lagi ke arah Pak Satpam yang ada di pos jaga di gerbang utama.
Arini sangat kagum dengan kesopanan Dapi. Wajahnya sedikit berbinar karena rasa kagum itu.
Mobil Honda Jazz putih, keluar dari halaman rumah Arini dan berbelok ke kiri. Tujuan selanjutnya adalah menjemput Hakiki.
"Aku telpon Hakiki ya, supaya dia juga ready," nyata Arini.
Dapi hanya mengangguk.
Arini membuka handphone dan memencet beberapa menu.
"Halo... Ki.... aku dan Dapi udah bergerak dari rumah, mau jemput kamu. Kamu udah ready khan?"
"Oh... ya, aku sudah ready kok," balas Hakiki dari telpon.
"Oke. Kamu enggak usah repot bawa apa-apa, cemilan juga enggak usah, makanan kesukaan kamu juga sudah ada, aku bawakan. Udah ya."
"Oke." Arini menutup telpon.
"Kamu tau makanan kesukaan Hakiki. Sampe segitunya persahabatan kalian. Aku jadi iri," sambar Dapi.
"Ya iyalah. Aku sudah lama berteman dengannya dan tau segalanya tentang dia," jawab Arini tegas tapi dibarengi dengan senyum kecil.
"Benarkah tau segalanya?" Pertanyaan Dapi mengandung arti.
Arini hanya tersenyum. Tak menjawab pertanyaan itu.
"Kamu banyak bercerita tentang Hakiki ke aku, tapi kamu belum cerita bagaimana awal pertemanan kalian. Boleh aku tau?"
"Hmm.... Awalnya ya seperti biasa. Karena sekelas waktu SMP, aku berteman dengan Hakiki. Banyak hal yang menarik yang aku liat darinya. Karakter, tingkah laku, keunikan, semua aku suka. Dia perhatian, dia bisa memberi aku semangat dari kelucuannya. Dia bisa membuat aku tertawa dari mimik wajah, bahkan saat dia bengong, aku bisa tertawa. Akhirnya kami bisa lebih dekat lagi karena dia menyukai fotografi. Aku tak suka fotografi, tapi aku suka di foto. Hakiki sering menjadikan aku model dan hasil benar-benar indah dan keren. Dia bisa menyesuaikan latar belakang yang biasa saja, menjadi luar biasa ketika mengambil fotoku. Dia bisa lebih menghidupkan suasana foto itu, seakan foto itu berbicara. Dan aku melihat, karya dia tanpa ada aku di dalamnya, juga bagus. Banyak makna dari foto-foto yang diambil. Dia memang berbakat dalam hal fotografi. Dari hal kecil itu, kami bersahabat, terus bersama. Saling mengingatkan satu sama lain, saling berbagi, saling menyemangati dan kami berhasil bersahabat sampai sekarang ini," jelas Arini panjang lebar.
"Ya... aku benar-benar iri dengan persahabatan kalian. Aku belum pernah mendapatkan sahabat seperti itu," nyata Dapi.
"Suatu saat kamu akan mendapatkan. Apalagi kamu orangnya baik, ramah, tidak sombong dan sopan pula."
"Mudah-mudahan kalian berdua yang menjadi sahabatku, Rin. Aku berharap itu."
"Ouh... mudah-mudahan saja. Aku juga senang jika itu terjadi. Tapi bagi Hakiki untuk menjadi sahabat butuh proses. Dia bisa berteman dengan siapa saja, tapi... untuk bersahabat dan berbagi cerita dengannya, sepertinya dia sangat hati-hati dan sangat teliti untuk itu. Aku juga tidak mengerti, mengapa dia bisa bertahan denganku, padahal begitu banyak teman perempuan yang mau dekat dengannya tapi dalam beberapa waktu dia langsung menyudahi pertemanan itu. Tidak menghindari, tapi berusaha menjauhi sedikit demi sedikit. Banyak juga teman-teman lelaki, tapi hanya sekedar bercanda, hang out bareng, main game bareng, tapi tidak untuk sharing hal-hal pribadi. Hanya sebatas teman," jelas Arini lagi.
"Ya... mudah-mudahan kita bisa berteman baik sampai kapanpun. Saat ini, itu harapanku," nyata Dapi.
"Mengapa kamu ingin bersahabat dengan kami?" tanya Arini. Di raut wajah Arini seakan mencari suatu jawaban. "Padahal kamu sangat gampang untuk mencari teman," nyatanya lagi.
"Hmm... apa ya? Dari awal aku mengenal kamu, terus... akhirnya kamu cerita kalau punya sahabat yang dekat. Terus... aku merasa iri dengan persahabatan kalian, aku ingin punya sahabat seperti kalian. Kalau teman... ya banyak, sangat banyak, tapi belum ada yang cocok denganku untuk dijadikan sahabat. Yah... mungkin takdir kali ya, yang membuat kita dekat. Kalau aku berpendapat bahwa bertemu dan dekat dengan orang lain yang bukan sedarah di dunia ini, bukan hanya faktor kebetulan, pasti ada takdir yang sudah digariskan, apalagi kalau sudah sangat dekat, berarti ada tujuan hidup dari orang yang kita kenal ini. Itu sih pemikiran aku. Dan aku melihat, selama tiga minggu ini, kalian baik, sangat baik malah. Mungkin cocok dengan prinsipku. Karena itu sih," jelas Dapi.
Arini terdiam. Sepertinya jawaban Dapi kurang pas di hatinya.
"Ya... mudah-mudahan deh. Aku juga berharap persahabatan ini bisa bertahan sampai maut yang memisahkan. Dan jangan hancur gara - gara hal yang sepele," pinta Arini.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Hakiki, Arini dan Dapi mengutarakan isi hati mereka mengenai persahabatan, keinginan mereka untuk mendapatkan teman lebih dari keluarga yang bisa berbagi di masa muda ini.
"Sudah mau dekat tuh rumah Hakiki, aku telpon dia dulu ya?" seru Arini seraya mengambil handphone dan membuka beberapa menu.
"Oke."
"Ki, kami udah mau sampai di depan gang nih, jadi gimana? Aku masuk atau enggak?" tanya Arini.
"Enggak usah Rin, aku keluar deh, tunggu di depan gang saja," jawab Hakiki di ujung telpon.
Belum sempat Arini membalas ucapan dari Hakiki, Dapi berseru, "Kita harus turun Rin, izin sama orang tuanya, enggak sopan kalau begitu," pinta Dapi.
"Ki, kami turun deh dari mobil, aku dan Dapi mau izin ke orang tuamu. Om dan Tante ada di rumah, kan?" tanya Arini.
"Ada. Ya udah kalau begitu, aku tunggu di rumah."
Tak berapa lama, Arini menunjukkan gang menuju rumah Hakiki.
"Parkir di sini saja, Pi. Tidak apa-apa, aku sering kok parkir di sini. Rumah Hakiki tak terlalu jauh masuk ke dalam, hanya berjarak lima rumah dari depan gang," saran Arini sambil menunjuk ke satu tempat di pinggir trotoar untuk memarkirkan mobil.
"Oke." Dapi cepat membelokkan stir mobil ke tempat yang ditunjuk Arini, merapikan mobil sejajar dengan badan jalan dan menghentikan mesin mobil. Bergegas keluar dari mobil. "Ayo," ajak Dapi.
Arinipun ikut keluar. Mereka berdua berjalan masuk ke dalam gang. Gang yang selebar dua mobil, seharusnya bisa dilalui oleh mobil Arini, tapi gadis itu takut jika berselisih dengan mobil lain yang akan membuat kemacetan. Itu pikiran Arini.
"Assalamualaikum..." seru Arini.
"Wa'alaikum salam. Eh... Arini, mau jemput Hakiki ya?" seru wanita setengah baya yang lagi berada di teras rumah, merapikan tanaman.
"Iya... Tante."
"Masuk dulu ya, Hakiki masih di dalam," tawarnya. Wanita itu adalah Ibu Hakiki.
"Halo Tante, nama saya Dapi, teman Hakiki." Dapi memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan kanan.
"Oh... iya. Kok Tante baru liat ya teman yang ini. Teman sekolah ya?" tanyanya.
"Anak baru pindahan di sekolah kami Tante, makanya Tante baru melihat Dapi," jawab Arini cepat sebelum Dapi menjawab.
"Oh gitu. Ya sudah, mari masuk, duduk di teras saja juga boleh kalau enggak mau masuk ke rumah. Maaf ya, rumahnya berantakan. Tante panggilkan Hakiki." wanita itu bergegas masuk ke dalam rumah.
Arini dan Dapi hanya tersenyum. Lalu Arini mengisyaratkan Dapi untuk duduk di kursi teras terbuat dari rotan berwarna abu-abu. Dirinya sudah mulai duduk di kursi satunya lagi.
Dapi duduk di kursi tamu dengan segera. Melihat ke sekeliling. Rumah Hakiki tak terlalu besar, tapi bertingkat dua lantai. Sederhana tapi terawat dengan baik. Banyak tanaman dan bunga yang ada di depan rumah. Kelihatan asri dan bersih. "Apanya yang berantakan?" tanya Dapi di dalam hati.
"Hei... sudah jam 8.20 nih, ayo kita berangkat," seru Hakiki yang baru keluar dari dalam rumah dan memasang wajah yang ceria. Pemuda ini memakai baju kaos berwarna krim dengan celana bahan yang agak sedikit longgar di kaki. Di kepalanya terpasang topi cap baseball berwarna hitam.
"Sepertinya bajumu senada dengan yang dipakai Arini," celetuk Dapi ke Hakiki.
Ya. Hari ini Arini memakai baju putih dengan bawahan rok berwarna krim. Baju santai, bukan berbahan kaos. Gadis ini juga mengenakan topi jerami berwarna putih, pas untuk ke pantai.
"Apa aku yang salah kostum?" tanya Dapi penasaran.
"Ah... enggak kok, kami juga enggak ada sepakat soal baju. Sepertinya terjadi begitu saja," jelas Arini.
Hakiki tertawa kecil kepada Arini. Dapi juga tersenyum melihat tingkah Hakiki.
"Ki, aku pengen pamit ke orang tua kamu, biar enak perginya, jadi harus pamit," nyata Dapi.
"Oh gitu ya. Wait...." Hakiki membalikkan badannya. "Ma, Yah, Kiki mau pergi nih!" jeritnya.
Tak berapa lama orang tuanya keluar. Ayahnya yang tinggi besar, keluar terlebih dahulu, ini menandakan kalau bentuk fisik Hakiki berasal dari ayahnya, sedangkan wajah yang menarik berasal dari ibunya.
"Tante, kami mohon izin, pergi keluar. Cuma mau liburan ke pantai," nyata Dapi ke wanita separuh baya itu.
"Oh... iya. Tante senang Hakiki punya teman sesopan ini," jawab ibu Hakiki sumringah.
"Om... izin ya, Om." Dapi mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman.
Pria itu hanya tersenyum dan mengangguk.
"Ma, Yah, Kiki pergi dulu ya," pinta Hakiki. Lalu dia mencium kedua tangan orang tuanya.
"Iya. Hati hati ya, Ki. Kamu harus pulang dengan selamat." Suara itu keluar dari mulut ayahnya.
"Santai deh, Yah. Kiki akan pulang tanpa mengurangi sedikitpun ketampanan ini," nyatanya dengan bergaya meletakkan jari telunjuk dan jempolnya di bawah dagu membentuk pistol.
"Hush... sombong banget sih." Kali ini Ibunya yang mengeluarkan suara.
Dapi tertawa kecil melihat tingkah Hakiki dan keluarganya.
Selanjutnya giliran Arini bersalaman dengan orang tua Hakiki.
"Pergi ya Tan, Om."
"Ya... hati-hati," jawab ibu Hakiki. Ayahnya cuma mengangguk dibarengi senyum kecil.
Mereka bertiga keluar menuju pagar rumah dan berjalan menyusuri gang menuju jalan utama. Mereka berjalan beriringan. Arini merangkul tangan Hakiki. Gadis itu berada di tengah, sedangkan Hakiki dan Dapi berada di kiri dan kanannya.
"Kamu mau nyetir, Ki?" tanya Dapi.
"Aku enggak punya SIM," nyata Hakiki.
Arini melihat raut wajah Hakiki ketika menjawab pertanyaan itu. Gadis itu sudah bisa menebak seperti apa bentuk wajah sahabatnya. Secara spontan, dia tersenyum kecil. Arini tahu kalau Hakiki bisa menyetir, tapi dia sadar diri kalau tidak punya SIM.
Dapi tertawa. Sepertinya dia ketularan Arini jika melihat raut wajah Hakiki, dirinya spontan menjadi geli. Dilanjutkan masuk ke dalam mobil di bagian stir, diikuti Arini di bangku penumpang depan sedangkan Hakiki duduk di belakang.
"Oke. Sudah siap semuanya. Kita berangkat," nyata Dapi yang sudah siap untuk mengegas mesin mobil.
Arini sibuk memasang sabuk pengaman.
"Ayo... berangkat.... Brrreeeem.... Brrreeeem...," sambung Hakiki dengan penuh semangat.
Dapi tergelak dan sedikit menundukkan kepala untuk menahan tawa. Pemuda ini melihat Hakiki yang berada di bangku belakang dari kaca spion. Dia semakin geli melihat tingkah temannya itu. Hakiki masih menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan semangat.
Arini sudah terbiasa dengan tingkah sahabatnya dan hanya tersenyum manis. Merasa senang kalau Hakiki juga dalam keadaan mood yang baik.
Dapi menghidupkan mesin mobil. Menekan kopling. Memindahkan persneling ke gigi pertama. Dan perlahan melepaskan kopling bersamaan dengan menekan gas. Berusaha menjalankan mobil dengan santai.
"Kira-kira berapa jam kita sampai di tempat tujuan ya?" tanya Dapi. Setelah mobil bergerak beberapa meter, Dapi melontarkan pertanyan itu.
"Mungkin sekitar 1 jam, kalau enggak terlalu macet," jelas Arini. "Kamu tau banyak tentang Jakarta, Pi?" tanya Arini.
"Tidak juga. Kan aku baru pindah ke Jakarta, karena itulah aku sering keluar dengan teman dan terkadang emang akunya yang minta ditemenin, supaya bisa lebih tau jalanan di Jakarta," jelas Dapi. "Nanti kamu yang ngasi tau ya, Rin, jalannya ke mana saja". Dapi menggaruk hidungnya beberapa kali.
"Oke," jawab Arini. Mata Arini memandang Dapi dengan tatapan tidak percaya. Seperti ada yang disembunyikan dari pemuda ini.
"Emang sudah berapa bulan kamu di sini?" tanya Hakiki.
"Ya, beberapa bulanlah bolak-balik Jakarta - Bali. Mengurus berkas perpindahan sekolah dan tempat tinggal," jelas Dapi.
Arini sudah banyak tahu mengenai Dapi yang pindah dari Bali ke Jakarta. Hanya pindah seorang diri ke Jakarta karena alasannya ingin menekuni dunia tari di Jakarta. Memasuki club tari modern di Jakarta dan tentu saja ingin berkarir di dunia tari. Dapi memiliki tekad yang kuat untuk mewujudkan mimpinya. Berusaha meyakinkan orang tuanya kalau akan baik-baik saja di Jakarta. Ayahnya seorang keturunan asli Bali tapi beragama Islam dan Ibunya asli Jakarta. Jadi masih banyak keluarga Ibunya di Jakarta. Tapi Dapi tak ingin tinggal dengan keluarga atau saudara Ibunya, dengan alasan tidak ingin membebani mereka. Jadi dia memutuskan untuk mengambil rumah kost di daerah Jakarta Barat yang dekat dengan sekolah mereka. Itu yang Arini dengar dari Dapi. Tapi Arini juga mengetahui hal lain yang tak ingin diceritakannya ke Hakiki.
"Aku denger kamu main saxophone ya, Ki?" tanya Dapi. Melihat Hakiki dari cermin depan yang tergantung.
"Ya. Belum terlalu mahir. Tapi masih latihan terus. Aku pengen jadi pemain Saxophone. Pengen jadi pemusik juga sih dan menguasai beberapa alat musik," jelas Hakiki.
"Emang sekarang sudah berapa alat musik yang dikuasai?" tanya Dapi lagi.
"Dia mahir main gitar," potong Arini.
"Enggak terlalu, Arini berlebihan. Masih biasa saja."
"Enggak. Beneran kok tapi dia malu kalau mau tampil di SMA kita, mungkin karena masih baru. Iya kan?" tanya Arini.
Hakiki hanya tertawa kecil.
"Hebat dong sudah mahir main gitar. Aku juga pengen bisa menguasai alat musik tapi sepertinya ntar dulu, aku mau fokus di tari," jelas Dapi.
"Kenapa mau jadi penari?" tanya Arini santai.
"Enggak tau ya. Dulu, waktu SMP aku pengen jadi chef tapi setelah melihat satu grup luar negri yang lagi liburan di Bali, aku tertarik dengan itu semua. Aku belajar sedikit demi sedikit di Bali, setelah itu ada yang menganjurkan jika memang pengen fokus, belajarlah di Jakarta, karena di Jakarta, pusat dari Indonesia jika ingin berkembang. Dan aku pikir, okelah, orang tua juga menyetujui untuk hal yang positif, jadi aku ke Jakarta. Dan memang di Jakarta, aku jadi banyak kenal relasi dan itu sangat penting untuk pengembangan karir, " jelas Dapi lagi.
"Kamu pasti berhasil," sela Hakiki.
"Mengapa?" tanya Dapi cepat.
"Karena kamu ramah, tidak sombong dan sepertinya kamu berusaha keras untuk itu. Aku belum pernah melihat penampilan kamu menari tapi aku sudah melihat kamu main sepak bola. Dari olahraga itu aku bisa melihat, kamu gigih dan pekerja keras. Kamu bagus dalam sepak bola. Sangat bagus bahkan. Dari situ aku bisa menilai kalau kamu berusaha dengan keras dalam segala hal." Hakiki menjelaskan dengan santai.
"Yaaaa... begitulah aku. Ouh ya, nanti kalau emang ada penampilan aku di club tari, aku akan undang kalian. Gimana?"
"Boleh juga tuh," sambut Arini tanda setuju.
"Kalau kamu gimana, Rin? Punya impian?" tanya Dapi.
"Arini sih enak, dia bisa mewujudkan mimpinya apa saja?" potong Hakiki.
"Apa sih? Enggak segitunya juga, Ki." Arini menoleh ke kursi belakang mobil sambil tersenyum.
"Aku pengen ke Aussie sepertinya, pengen kuliah di sana, aku pengen ambil jurusan Komunikasi International terlebih dahulu," jelas Arini manja ke Dapi.
"Wow, trus!" Dapi terkesima dan penasaran.
"Trus, aku mau ambil S2 dan S3 di negara lain. New Zealand, mungkin," jelas Arini lagi.
"Impiannya apa sih?" tanya Dapi masih penasaran.
"Dia pengen jadi Duta PBB dari Indonesia. Tak hanya Duta tapi menjadi orang pertama dari Indonesia yang akan menjadi Sekjen PBB di dunia dan menjaga perdamaian di dunia ini." Hakiki memotong pembicaraan kedua temannya dan dengan lancar menjelaskan keinginan Arini.
"Benarkah?" timpal Dapi tak percaya.
"Iya. Ada yang salah?" tanya Arini dengan bibir dimanyunkan.
"Ouh tidak. Itu sangat keren dan sangat mulia. Aku suka itu. Aku doakan deh." Dapi cepat-cepat memberi jawaban agar Arini tak tersinggung.
"Ya... aku juga mendoakan. Tapi kalau sudah pergi kemana - mana, jangan lupakan aku." Hakiki memelas dan memajukan kepalanya mendekati tempat Arini duduk.
"Aku tak akan pernah melupakan sahabatku ini," timpal Arini sambil mengusap kepala Hakiki.
"Wah... aku jadi iri," teriak Dapi.
Arini tersenyum.
"Aku juga pengen diperlakukan seperti itu," lanjut Dapi lagi.
Arini dan Hakiki menoleh ke arah Dapi.
"Dapi, kamu akan menjadi sahabatku juga dan aku tak akan melupakanmu," seru Arini dan tangan kanannya juga meraih rambut Dapi dan mengusapnya beberapa kali.
"Terima kasih. Aku sangat senang," terang Dapi.
Hakiki hanya terdiam. Tak ada reaksi apapun.
"Hei... ini belok kemana? Ini perempatan, aku enggak tau selanjutnya kemana?" teriak Dapi memecahkan suasana kaku.
"Kita ambil ke kanan!" seru Arini cepat.
Hakiki memundurkan kepala ke kursi belakang, terdiam. Entah apa yang dirasakannya. Jantungnya berdegup kencang. Ada hawa dingin mengaliri tubuhnya.
"Ki, kamu baik-baik saja?" tanya Dapi.
"Oh... enggak. Aku udah enggak sabar mau berlari ke pantai nih. Ayo dong... digoyang.... Eh digas biar cepat sampai," canda Hakiki. Berusaha menyembunyikan perasaannya yang tak karuan saat itu.
Arini melihat ke belakang dan menghidupkan menu video di handphone-nya untuk merekam tingkah Hakiki.
"Ya, inilah makhluk aneh yang tinggal di Indonesia, tepatnya di Jakarta," jelas Arini. "Sir, where are you came from?" tanya Arini.
"wkdhsbkdbbdlsbhskshsbshkamambganrb," ujar Hakiki. Bahasa yang dikeluarkan dari mulutnya sangat tak jelas dari asal mana. Membuat mimik wajah yang sangat hancur.
Arini sudah tahu hal itu akan terjadi, karena mereka sering melakukan hal konyol. Tapi Arini pun masih tetap tertawa terbahak, padahal sudah berulang kali melihat tingkah Hakiki ditambah lagi dengan mimik wajah yang dibuat menjadi jelek. Matanya terbelalak, bibirnya mewek membentuk segi lima dan terkadang berubah menjadi trapesium, ditambah lagi jari tangannya hanya menunjukkan tiga jari, jari yang lain disembunyikan oleh pemuda itu.
"Ya Tuhan...!" Dapi menjerit. "Ada apa dengannya?" tanya Dapi ke Arini.
"Dia kan sering diomongin manusia planet, jadi dia juga punya bahasa planet dan muka Alien," jelas Arini.
Dapi tertawa terpingkal-pingkal. Menengadahkan kepala. Tawanya tak bisa dihentikan. Spontan meminggirkan mobil seketika dan tertawa sepuasnya. Seluruh badannya bergerak. Badannya membungkuk, kepalanya membentur stir mobil dan tangan kanannya menahan perut.
Arini terkejut. Terdiam sesaat. Melihat situasi di sekitar. Setelah tahu mengapa mobil diberhentikan oleh Dapi, Arini tertawa lebih keras dari sebelumnya.
Hakikipun terkejut, raut wajahnya langsung berubah drastis menjadi keheranan. Apa yang sedang terjadi? Mengapa mobil berhenti? Kalimat itulah yang terbaca dari raut wajahnya. Hakiki ikut tertawa, bibirnya membentuk kotak setelah menyadari kalau dialah yang membuat suasana menjadi seperti ini.
"Ampuuun.... Aku... aku... baru kali ini melihat dia seperti itu. Sangat lucu. Wajahnya... wajahnya.... Mengapa bisa seperti itu, Rin?" tanya Dapi.
Arini masih tertawa. Tak bisa menjelaskan.
"Aku sengaja menghentikan mobil, takut tidak terkendali," aku Dapi.
"Hehe...." Hanya itu yang keluar dari mulut Hakiki. Menepuk-nepuk pelan punggung Arini yang masih tertawa dengan kondisi tertunduk.
"Aku sudah biasa melihatnya seperti tadi," tukas Arini berusaha menjelaskan tapi masih ada nada lucu dari kalimatnya. "Tapi aku semakin geli ketika melihat ekspresi Dapi," jelasnya.
"Haduuuuh...," sesal Dapi. "Perutku sakit," nyatanya.
"Sudah... sudah...," kali ini Hakiki yang berkata. "Hehe...." Bibirnya membentuk kotak lagi. Tangannya sekarang mengelus-elus kepala Arini.
*******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Junaldi Junaldi
Kayaknya bakal ada cinta segi tiga ni
2020-07-11
1
Manzilia
Waaaaah.... Dapi yang memakai bajunsederhana saja sudah menarik banget seprti Jimin BTS yang imut....
Kak Thor... Aku pdamu....😘
Ceritanya bagus banget.
2020-07-06
1