Cinta Aiden - Part 12

“Cantika, Aiden akan bergabung beberapa hari lagi. Tolong pastikan ruangannya sudah siap dan nyaman. Dia sangat perfeksionis dan … kadang menyebalkan,” keluh Edwin.

Aiden akan pindah kemari? Bagaimana kalau dia minta penjelasan lagi dan ….

“Cantika, kamu dengar yang saya perintahkan?”

“Ah, iya pak. Saya dengar, setelah ini saya akan langsung cek ruangan untuk Pak Aiden,” sahut Cantika.

Edwin kembali mengarahkan tugas untuk Cantika, sedangkan wanita itu berusaha fokus karena pekerjaannya saat ini sangat penting untuk membiayai hidupnya juga Naila.

“Huft.” Cantika menghela nafas saat sudah kembali ke kursinya. “Ah. Bagaimana ini, masa aku harus mengundurkan diri karena pria itu.”

“Ya, aku Aiden. Bocah yang sering menggoda dan mengganggu. Yang selama ini menunggu dan selalu bertanya kenapa bisa kamu pergi bahkan tanpa mengabariku. Di mana salahku Cantika?”

“Sudah lima belas tahun berlalu, kenapa dia masih bisa mengenaliku," ujar Cantika mengingat perkataan Aiden saat mereka bertemu kembali.

Ponsel Cantika berdering, ternyata panggilan dari Ibunya.

“Iya, Bu.”

….

“Asma Naila kambuh? Langsung bawa ke rumah sakit saja, aku menyusul ke sana,” seru Cantika lalu mengakhiri panggilannya.

Cantika ragu ingin membuka pintu ruangan Edwin, bagaimanapun dia masih baru bekerja di sana dan sekarang akan minta dispensasi untuk ke rumah sakit.

“Tapi Naila butuh aku,” gumam Cantika.

Tiba-tiba pintu terbuka dan Edwin menatap aneh pada Cantika yang berdiri di depan pintu.

“Ada apa?” tanya pria itu.

“Ma-maaf Pak, saya harus ke rumah sakit. Naila, eh maksud saya putri saya sakit.”

“Ya pergilah, siapkan saja berkas yang tadi di atas mejamu nanti akan ada yang mengurusnya,” ujar Edwin.

Cantika bergegas mengerjakan perintah Edwin lalu mengkondisikan meja kerjanya dan  segera pergi menuju ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, tepatnya di UGD Naila masih dalam pemeriksaan. Hanya ada Ibu Cantika yang menunggu.

“Seharusnya kamu itu nurut, jadi nggak tersiksa begini. Disuruh enak kok nggak mau,” tutur Ibu Ayana.

Cantika hanya menunduk, cemas menunggu kondisi Naila dan harus mendengarkan ocehan Ibunya.

“Memang kenapa kalau Ayahnya Naila menjadikan kamu istri kedua, kamu tidak capek-capek kerja. Fokus urus Naila dan buat suamimu hanya peduli denganmu.”

“Bu, kita sudah bahas ini berkali-kali dan aku masih tetap pada keputusanku.”

“Cantika, kita realistis saja. Hidup di Jakarta tidak murah dan Ibu sudah memberikan jalan untuk mempermudah hidup kita tapi kamu malah cari yang sulit.”

“Keluarga pasien Naila.”

Cantika bergegas menghampiri perawat yang memanggilnya.

“Saya Sus, saya Ibunya.”

“Mari ikut saya.”

Cantika menemui dokter yang melakukan pemeriksaan pada Naila. Berharap tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan dari bocah itu.

“Kondisi Naila sudah stabil tapi nafasnya masih sesak, sementara dibantu dengan oksigen. Silahkan urus untuk rawat inapnya,” titah dokter yang tidak mungkin ditolak oleh Cantika demi kebaikan dan kesembuhan Naila.

Bersyukur karena esok weekend, jadi Cantika tidak khawatir harus mengajukan dispensasi lagi pada Edwin.

.

.

“Jadi, kita perpisahan di mana nih?” tanya Pram yang saat ini berada di ruangan Aiden, begitu pula dengan Mai.

“Terserah kalian, lagian kita masih di kota yang sama. Lebay banget sih,” ejek Aiden.

“Ya nggak gitu dong, lo mau pindah kerja dan kebersamaan kita bakal terbatas nih.”

“Night Club biasa, gimana?” tanya Mai.

Aiden melirik sekilas Mai dan Pram. Tidak perlu ditanya karena Pram sangat setuju dan Aiden sebenarnya enggan tapi demi kebersamaan dia pun setuju saja.

“Ah, kebetulan,” ujar Pram saat Rosa datang.  “Lo ikut ya, malam ini kita mau ke kelab. Farewell party nya bos jutek lo.”

Rosa bingung menjawab ajakan Pram, karena Aiden sendiri tidak mengajaknya.

“Hm, saya ….”

“Kalau lo nggak bisa ya udahlah,” sahut Mai.

Aiden menyerahkan dokumen pada Rosa, karena memang itulah tujuan dia memanggil Rosa lalu mengarahkan tugas lainnya.

Sudah lewat dari jam pulang, Aiden terkejut karena Rosa masih ada di mejanya.

“Kamu belum pulang?” tanya Aiden.

Rosa mencebik, ternyata Aiden benar tidak mengajaknya ke acara bersama rekan lainnya. Gadis itu merasa kalau Aiden memang tidak mengharapkan kehadiran Rosa dan menyadari kalau diantara mereka tidak ada hal yang spesial.

“Iya, ini juga mau pulang,” sahut Rosa dengan wajah cemberut.

Aiden mengernyitkan dahinya saat melihat wajah Rosa yang cemberut.

“Ayo, aku antar.”

“Nggak usah, Pak Aiden kan sibuk mau pesta perpisahan,” ejek Rosa yang sudah mengenakan tasnya. “Saya duluan, Pak.”

“Ck, saya nggak antusias, itu usulan mereka dan aku sengaja tidak ajak kamu. Tempat itu tidak pantas untuk kamu.”

Rosa membalik badannya menatap Aiden.

“Maksudnya nggak pantes gimana?”

Aiden menghela nafasnya, mendengar pertanyaan Rosa dengan nada tidak biasa. Sepertinya gadis itu merajuk, entah karena tidak dilibatkan atau memang karena mereka akan terpisah.

“Kelab malam, kamu pikir orang ke sana mau ngapain? Tadarus atau dengarkan ceramah. Pastinya untuk minum, dansa dan … yang jelas itu nggak cocok untuk kamu.”

Rosa dan Aiden sudah berada di dalam mobil dan mulai meninggalkan pelataran kantor. Rosa mengatakan dia tidak akan pulang ke rumah tapi menyebutkan nama rumah sakit.

“Siapa yang sakit?”

“Anaknya sepupu aku. Sedang dirawat sejak tadi siang,” jawab Rosa.

Aiden hanya mengangguk pelan kemudian kembali fokus pada jalan dan kemudian. Tidak lama mereka tiba di rumah sakit, Aiden akan mengantarkan sampai kamar rawat inap yang Rosa tuju tapi dilarang oleh gadis itu.

“Teman-teman Pak Aiden pasti sudah menunggu.”

“Ya sudah, besok aku jemput ya.”

“Jemput?” tanya Rosa.

“Hm, hitung-hitung perpisahan sama kamu.”

“Boleh nggak kalau aku berharap tidak ada perpisahan?” Rosa menatap Aiden menunggu jawaban pria itu.

“Maksud aku perpisahan kerja. Di luar itu kita masih bisa bertemu.”

Lagi-lagi Rosa tidak mendapatkan jawaban yang pasti.

“Nanti kabari aku, dijemput di sini atau di rumah,” ujar Aiden.

“Iya. Pak Aiden hati-hati, jangan kebanyakan minum nanti ada yang menjebak,” tutur Rosa.

“Menjebak bagaimana?”

“Ya bisa aja ada yang menjebak Pak Aiden, besok pagi bangun sudah ada di kamar hotel bareng perempuan dan nggak sadar udah ngapain aja.”

“Kamu terlalu banyak nonton drama atau baca novel sih?” tanya Aiden sambil terkekeh.

...***...

Rosa sudah mengirimkan pesan kalau dia masih berada di rumah sakit, jadi Aiden bisa menjemputnya di sana.

“Jadi kamu dan atasanmu itu pacaran?” tanya Cantika sambil menyuapi Naila sarapan.

“Aku juga nggak ngerti mbak.”

“Nggak ngerti gimana?”

“Masih abu-abu, dia belum kasih kepastian. Hanya bilang kalau dia sedang berusaha membuka hatinya, kalau terbuka untuk aku kalau untuk orang lain. Dia resign dari perusahaan dan sekarang ajak aku untuk perpisahan, nyebelin ‘kan?”

Cantika tersenyum mendengar keluhan Rosa.

“Mbak sendiri gimana?”

“Gimana apanya?” tanya Cantika yang belum mengerti arah pertanyaan Rosa.

“Pria dari masa lalu Mbak itu loh?”

“Entahlah Ros, malah beberapa hari ke depan aku akan bertemu dia setiap hari. Bahkan aku harus pastikan ruang kerjanya nyaman.”

“Ya udahlah kak, terima aja kalau pria itu masih mengharapkan kakak. Tinggal ceritakan mengenai Nahla, kalau dia serius cinta aku rasa nggak akan masalah ada Naila diantara kalian.”

“Nggak semudah itu Ros, Ayahnya Naila masih desak Ibu untuk menikahi aku.”

 

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

MASA LO MAU DIJADIKN ISTRI KDUA. TU ADA AIDEN YG NUNGGUIN LO SLAMA 15 THN..

2023-06-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!