Cinta Aiden - Bab 1

“Tunggu aku,” seru Melody saat Aiden sudah lebih dulu turun dari mobil.

“Non Melodi, hati-hati,” ujar Pak Cipto yang khawatir karena kakak beradik itu tergesa keluar dari mobil.

“Nenek, aku datang,” ujar Melody. Sedangkan Aiden sudah asyik duduk di sofa berbicara dengan sang kakek.

“Bagaimana kabar adik kalian?” tanya Nenek.

“Biasa saja, seperti bocah pada umumnya,” sahut Aiden.

“Kalau kamu seperti anak pada umumnya nggak?” Kakek bertanya sambil tersenyum. Sejak kecil Aiden memang selalu bersikap lebih dewasa bahkan pikirannya melebihi usianya. Walaupun berada di tingkat akhir sekolah menengah pertama, tapi pikiran ide dan lainnya bisa setara dengan anak-anak SMA.

“Eh mau kemana?” tanya Nenek yang melihat Aiden sudah berdiri.

“Paling ke rumah Cantika,” ujar Melodi.

“Main bentaran aja, mengecek situasi,” sahut Aiden.

Aiden berjalan menuju tempat di mana dia bermain bersama dengan para temannya di daerah tersebut. saat melewati kediaman Cantika dia berhenti lalu berdiri di depan pagar. Rumah itu terlihat sepi seperti tidak ada kehidupan.

Dia mendorong pagar, yang ternyata terkunci.

“Pada kemana?” gumam Aiden.

Akhirnya Aiden melanjutkan menuju tempatnya bermain dan menanyakan ke mana Cantika.

“Cantika sudah pindah seminggu yang lalu,” ujar salah satu teman Aiden.

“Pindah? Kemana?”

“Nggak ada yang tahu, pidahnya juga mendadak. Aku yang tetangganya juga nggak menyangka dan nggak melihat pergerakan kalau dia akan pindah.”

Aiden mengeluarkan ponselnya mencoba menghubungi Cantika tapi tidak aktif.  Benaknya penuh tanda tanya dengan keberadaan Cantika. Sudah lama berteman tidak menyangka kalau gadis itu malah pergi tanpa berkabar.

Biasanya dia akan bahagia dan gembira ketika mendatangi kediaman kakek dan neneknya, tapi kali ini tidak. Bahkan berharap hari segera berganti dan minta dijemput lebih awal. Kekecewaan Aiden bak pria yang putus cinta. Kecewa dan putus asa, karena cinta monyetnya harus kandas.

Masa kini, di mana Aiden sudah lebih dewasa sebagai pria berumur dua puluh tujuh tahun dan memiliki pekerjaan yang menjanjikan.

“Aiden, kita sudah ditunggu di ruang rapat,” seru Mai, rekan kerja satu timnya.

“Hm.”

Rapat pagi itu membicarakan konsep yang diusung tim marketing mengenai dua produk baru. Aiden sebagai manager marketing tentu saja yang akan melakukan presentasi. Direktur selaku pemimpin rapat sudah menyinggung mengenai target penjualan produk tersebut.

Mai menyenggol kaki Aiden dengan kakinya karena pria itu hanya diam. Aiden menoleh sekilas lalu kembali diam. Bagaimana tim marketing tidak ketar ketir, Aiden tidak berkomentar saat divisinya mengadakan rapat tertutup mengenai konsep marketing mereka dan saat ini harus dijelaskan di depan pimpinan.

“Hm, untuk penjelasan konsep kami ….”

“Saya yang akan jelaskan,” sela Aiden memotong ucapan Mai.

Aiden yang sudah menyerahkan file pada operator memulai penjelasan dari penggalan video dan menunjukkan storyboard yang sudah dibuat. Mai menghela nafas lega saat Aiden dengan lancar menjelaskan semua yang ternyata sudah ditambahkan dan diperbaiki oleh pria itu.

“Kalian yakin, ide ini akan berhasil?” tanya Pak Irwan sang Direktur.

“Tergantung Pak,” jawab Aiden.

Irwan tampak geram dengan kelakuan Aiden yang belum berubah. Terkadang pria itu terlalu cuek dan berani seperti saat ini. Alih-alih menjawab dia malah menjawab singkat dan membuat orang lain harus bertanya lebih jauh.

“Tergantung bagaimana, maksudmu?”

“Tergantung kita mau sepakati pembuatan materi iklan seperti ini atau tidak. Termasuk saran tokohnya, saran tokoh kami untuk si Ibu adalah Desy Ratna Sari. Yang menunjukkan seorang Ibu cerdas, cantik dan mengayomi dan masyarakat sudah memiliki image sendiri pada tokoh tersebut. Kalau kita ganti tokoh Ibu dengan Ibu saya misalnya, tentu saja respon dari masyarakat akan berbeda,” jelas Aiden lagi.

“Semua hal sudah kami pikirkan betul, termasuk kalimat yang harus diucapkan oleh tokoh. Jadi esensi akan berbeda kalau diubah tidak sesuai dengan konsep yang dibuat.”

Cukup lama, rapat pun berakhir dan Aiden kembali ke ruangannya.

“Parah lo,” ujar Mai yang mengekor langkah Aiden dan duduk di depan meja pria itu.

“Apanya yang parah, aku tidak sedang sakit,” sahut Aiden yang langsung fokus pada layar komputer.

“Kebiasaan mendebat Pak Irwan, lama-lama lo bisa dipecat.”

“Tidak masalah, aku akan pindah ke perusahaan Papa kalau dipecat dari sini."

“Nanti malam, anak-anka ma kumpul. Lo ikut ya?”

Aiden menggelengkan kepala. Dari pada dia harus ikut Mai dan teman-teman kuliahnya dulu untuk bersenang-senang di kelab malam, Aiden memilih di rumah.

“Aiden, hidup itu dinikmati dong.”

“Aku sedang menikmati dengan caraku sendiri,” jawab Aiden. “Kamu kembali ke meja kerjamu, jangan pulang sebelum tugas hari ini aku terima,” perintah Aiden pada Mai.

Ponsel Aiden bergetar, ternyata pesan dari Papa Edwin.

[Malam ini, Resto X.]

[Melinda, Putri dari Dimas Mahendra. Jangan kecewakan Papa, berikan kabar baik]

Aiden menghela nafasnya, lagi-lagi sang Papa mengatur perkenalan dengan seorang wanita putri rekan bisnisnya.

Terpopuler

Comments

khalisa

khalisa

mampir thorrrrr

2023-04-02

0

Es Cendol

Es Cendol

hmmmm,, lanjutttt

2023-04-02

0

Defi

Defi

Hidup itu berbeda, menurut kita menarik belum tentu juga menarik buat orang lain.. Aiden kamu keren bisa bersikap sesuai dirimu tanpa terpengaruh dengan orang lain. semangat thor lanjut up 💪🌹

2023-04-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!