Cinta Aiden - Bab 4

“Hai, Bro,” sapa Pram yang bertemu dengan Aiden di lobby.

“Hm.”

“Sudah sehat nih? Nggak pengen nambah cuti?”

Aiden berdecak mendengar celoteh Pram dan mengabaikannya. Bergegas memasuki lift saat pintu kotak persegi itu terbuka, bergantian dengan karyawan lain.

“Nanti gue ke ruangan lo, ada urusan budget yang harus kita bahas untuk pembuatan iklan produk lalu,” tutur Pram.

Lagi-lagi Aiden hanya berdehem.

“Selamat pagi, Pak Aiden,” sapa Rosa saat Aiden melewati meja kerjanya.

“Pagi,” sahut pria itu sambil berlalu. Saat hendak membuka pintu bahkan tangannya sudah berada di handle pintu, Aiden menoleh ke arah Rosa.

“Jangan buatkan kopi, kepalaku masih agak pening,” titah Aiden yang direspon dengan anggukan kepala oleh Rosa.

Sesuai dengan ucapan Pram, pria itu sudah berada di ruang kerja Aiden padahal Aiden sendiri baru saja menghidupkan komputernya. Pram selaku manajer keuangan tentu saja terlibat dengan beberapa divisi termasuk divisi marketing.

Saat di tengah pembicaraan, Rosa datang membawakan air mineral untuk Aiden dan Pram.

“Loh, kok bening sih,” keluh Pram.

“Maaf, Pak Aiden yang minta.”

“Iya, jangan terlalu banyak minum yang keruh nanti otak kamu jadi butek,” ejek Aiden.

Rosa menawarkan lagi apa yang dibutuhkan Aiden serta meletakan map dokumen yang harus diperiksa oleh pria itu.

“Tidak ada, aku akan panggil jika butuh sesuatu.”

Pram memperhatikan interaksi yang terjadi antara Aiden dan Rosa, dia memegang dagunya seraya berpikir.

“Kamu kenapa? Tumben berlagak seperti orang cerdas.”

“Ah, dasar kampr*t. Emang gue cerdas kali, kalau nggak cerdas mana mungkin ini perusahaan percaya gue sebagai manager keuangan.”

Aiden menghela nafasnya mendengarkan kepongahan Pram yang sudah biasa pria itu lakukan.

“Lo perhatikan nggak?”

“Nggak,” sahut Aiden.

“Belum selesai,” keluh Pram. “Rosa, lo perhatiin Rosa nggak?”

“Kenapa aku harus perhatikan dia, kekasih atau istri aku juga bukan dan dia baik-baik saja.”

“Ah dasar nggak peka. Sebagai pria berpengalaman dengan para wanita, karena mantan-mantan gue bertebaran di mana-mana. Rosa ada hati sama lo dan itu bisa gue lihat dari tatapan matanya dan gesture tubuhnya,” tutur Pram.

Aiden hanya diam, justru dia menghindari hal ini. Setelah hubungan profesional dinodai dengan perasaan akan muncul masalah.

“Semoga dugaan kamu salah. Masih ada hal lain? Aku masih banyak pekerjaan. Usulan tadi tinggal kamu kirim langsung ke Pak Irwan, aku hanya menyesuaikan dengan kebutuhan,” ungkap Aiden.

Pram pun beranjak dari kursinya dan meninggalkan Aiden.

“Rosa,” panggil Aiden lewat interkom.

“Iya, Pak.”

“Sore nanti saya akan pulang cepat, tolong usulan dan berkas yang harus saya approve segera diantar,” titah Aiden.

“Oh, baik Pak.”

Aiden menyadari kalau Rosa cantik dan sederhana bahkan terlihat bersahaja. Berbeda dengan Mai yang terlihat seperti wanita karir sesungguhnya, apalagi Melinda. Berharap Bunda tidak bertemu dengan Rosa, karena sudah terbayang apa yang akan disarankan oleh wanita itu pada Aiden dengan Rosa.

Sore hari, bahkan masih satu jam dari waktu kerja berakhir. Aiden sudah meninggalkan ruang kerjanya.

“Aku duluan, kamu boleh pulang saat waktunya.” Aiden mengarahkan Rosa dengan raut wajah datar, tapi Rosa tetap merespon dengan senyum.

Sesuai dengan perintah Edwin, kalau Aiden harus menemui Melinda untuk minta maaf. Meskipun pria itu tidak merasa bersalah tapi dia tetap menemui Melinda.

Tidak sulit mendapatkan kontak wanita yang semalam meninggalkannya saat makan malam. Saat sudah berada di mobil, Aiden menghubungi Melinda.

“Halo,” sapa Melinda di ujung telepon.

“Bisa kita bertemu?”

Hening, kemudian terdengar helaan nafas. Sepertinya Melinda mengenal suara Aiden, yang mungkin saja menyebalkan baginya.

“Untuk apa? Setelah penghinaanmu semalam, untuk apa kita bertemu?”

“Ah, justru itu kita harus bertemu. Karena aku masih tidak paham di mana penghinaan yang aku lakukan terhadapmu,” tutur Aiden yang lagi-lagi membuat Melinda emosi.

Aiden hanya diam mendengarkan ocehan kemarahan Melinda.

“Jadi, di mana posisimu sekarang?”

Alih-alih menolak, Melinda malah menyebutkan posisi dirinya berada yang ternyata sedang berada di apartemen. Mungkin apartemen pribadinya.

Tanpa berprasangka buruk, Aiden mendatangi apartemen Melinda. Menekan bel dan berdiri tepat di depan pintu unit wanita itu.

“Kukira kamu datang agak malam, aku bahkan belum bersiap,” ujar Melinda yang saat ini mengenakan gaun tidur dengan tali spageti dilapisi kimono satin yang sengaja tidak diikat. Bahkan Aiden bisa melihat jelas kalau wanita itu tidak mengenakan pakaian dal4m.

“Masuklah,” titah Melinda.

Aiden pun melangkah melewati pintu dan menuju sofa dan duduk bahkan sebelum tuan rumah mempersilahkan.

“Anggaplah rumah sendiri,” ejek Melinda yang kemudian duduk bersebrangan dengan pria itu.

“Bisakah kamu kenakan pakaian yang lebih layak?”

Melinda berdecak.

“Jangan munafik, sebagai pria kamu pasti menikmati pemandangan ini.” Melinda sengaja menyilangkan kaki memperlihatkan kaki jenjang dan paha mulusnya. Bahkan jika dia berubah posisi dengan perlahan, bagian intinya jelas akan terlihat.

“Aku bukan munafik tapi … ya sudahlah.”

“Ada apa? Bukankah urusan kita sudah selesai?”

“Ahh, itulah yang aku tidak mengerti. Urusan kita sudah selesai tapi kenapa orangtua kita masih mempermasalahkan. Apakah kamu ingin mengulang kembali makan malam dengan lebih baik atau ….”

“Aiden,” pekik Melinda menyela ucapan pria itu. “Ucapanmu semalam sangat melukaiku, wajar kalau aku mengeluhkan itu pada Ayah dan mungkin dia peduli denganku maka menyampaikan pada orangtuamu. Apa mereka menginginkan kita melanjutkan hubungan atau bagaimana?”

“Nope. Aku sedang mencari istri bukan membeli kucing dalam karung,” keluh Aiden.

“Maksudmu, aku salah bersikap seperti semalam?”

“No, of course not. Kamu bebas berekspresi tapi tidak perlu emosi kalau memang apa yang aku sampaikan benar kamu lakukan. Seharusnya tidak perlu marah, klarifikasi saja kalau memang tidak benar,” tutur Aiden sengaja membuat Melinda semakin kesal.

Melinda sudah mengepalkan kedua tangannya. Apa yang harus diak klarifikasi kalau apa yang disampaikan Aiden memang pernah dia lakukan.

“Apa maumu?” tanya Melinda.

Aiden terkekeh kemudian mengusap kasar wajahnya. “Urusan kita sudah selesai, setelah kamu melemparkan serbet ke wajahku. Terlepas dari masa lalumu, kalau sudah bersikap kurang ajar kepadaku sungguh tidak dapat ditolerir,” tutur Aiden.

“Oke.”

“Aku rasa jelas, kamu sudah mengiyakan kalau semua selesai karena memang tidak ada yang kita mulai dan tidak ada yang bersalah di sini termasuk juga permintaan maaf," tutur Aiden.

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!