Cinta Aiden - Part 8

Rosa menatap Aiden menunggu pria itu melanjutkan ucapannya.

“Tapi … aku ingin mengenalmu lebih dekat bukan sebagai rekan kerja,” ungkap Aiden.

Apa aku tidak salah dengar, coba ulangi sekali lagi.

Rosa membatin dan dia dengar dengan jelas apa yang disampaikan oleh Aiden. Rasanya dia ingin berteriak kegirangan atau bahkan langsung memeluk pria tampan di hadapannya.

Sabar, Rosa. Jual mahal sedikitlah, batinnya lagi.

“Maksudnya mengenal bagaimana?”

Aiden berdecak, “Tidak perlu aku perjelas, kamu tahu apa yang aku maksud.” Aiden kembali mengenakan seat belt dan melajukan kendaraannya.

“Pak Aiden, ulangi lagi aku tidak dengar.”

Aiden fokus pada kemudi dan jalanan di depan, sementara Rosa duduk agak menyerong menghadap Aiden.

“Pak Aiden, aku tidak paham apa yang Bapak maksud,” ujar Rosa lagi .

“Diamlah Rosa, kita bukan anak remaja lagi. Kamu tahu apa yang aku maksud. Kita bisa saling mengenal lebih jauh tapi tetap profesional ketika bekerja.”

Rosa mengulum senyumnya, seumur hidup saat ini adalah momen paling membahagiakan mendengar keinginan Aiden bahkan lebih membahagiakan dari momen kelulusan sarjananya.

Mobil yang membawa keduanya sudah berhenti tepat di sebuah rumah sederhana, tempat Rosa dan Ibunya tinggal.

“Kamu tinggal di sini?” Aiden memperhatikan tempat tinggal Rosa.

“Hm,” sahut Rosa sambil melepaskan seat belt.

Aiden ikut turun dan mengantarkan gadis itu sampai ke pagar.

“Pak Aiden mau … mampir,” ajak Rosa ragu-ragu.

“Mungkin lain kali, aku sudah lelah.”

Ada seorang wanita paruh baya keluar dari rumah menggandeng bocah perempuan.

“Rosa, baru pulang?”

Rosa dan Aiden menoleh.

“Iya Bu.”

“Ini siapa? Kenapa tidak diajak masuk,” ujar Ibu Rosa.

Aiden mengangguk sopan dan menolak tawaran Ibu itu dengan alasan harus segera pulang.

“Eh ada Naila,” sapa Rosa.

“Iya, Naila dan Bundanya datang tadi sore.”

“Masuklah, sepertinya ada tamu,” titah Aiden.

Rosa melambaikan tangan saat mobil Aiden perlahan menjauh. Setelah menutup pagar rumah, gadis itu bergegas ke dalam.

“Mbak Cantika,” panggil Rosa ketika memasuki rumah.

“Cie sama siapa tuh,” ejek Cantika yang sempat melihat lewat kaca jendela Rosa diantarkan oleh seorang pria.

“Itu atasan aku, kami ada acara di luar, terus inisiatif antar pulang.”

“Masa sih,” goda Cantika.

“Mbak, apaan sih,” sahut Rosa dengan wajah merona.

...***...

Aiden, Mai dan Pram sedang berdiskusi di ruangannya. Saat Rosa masuk mengantarkan berkas, Aiden sedang mendengarkan penjelasan Mai dengan mengusap dagunya.

“Rosa, pesankan makan siang,” titah Aiden. “Dua porsi,” ujarnya lagi.

“Baik, Pak.”

“Loh kok Cuma dua? Kita ‘kan bertiga,” jelas Pram.

“Siapa yang memesan untuk kalian, aku pesan untuk diriku sendiri. Kalian makanlah di luar.”

“Dasar kebangetan. Ros, lo betah punya atasan kayak gini?”

Rosa hanya tersenyum simpul mendengar ejekan Pram.

Betahlah, malah makin jatuh cinta.

Rosa bergegas keluar, tidak ingin reaksinya terlihat oleh Pram atau bahkan Mai. Aiden sudah mengatakan agar dia bersikap profesional.

Tidak lama kemudian Pram dan Mai pun keluar dari ruangan Aiden.

Pria itu sempat berhenti di meja Rosa, “Lo hati-hati ya, makin hari Aiden makin nggak jelas dan aneh. Mending lo lapor ke HRD, minta mutasi bagian kalau memang ada peluang.”

Rosa tertawa mendengar ocehan Pram.

“Pak Pram bisa aja deh,” sahut Rosa.

Makan siang pesanan Aiden pun datang, Rosa membawanya ke dalam dan meletakan di meja sofa

“Duduklah!” titah Aiden yang masih fokus pada berkas di atas mejanya.

Rosa duduk di salah satu sofa sambil memandang sekeliling ruangan Aiden. Pria itu menghampiri dan duduk di sofa berhadapan dengannya. Mengeluarkan box makan siang miliknya dan memberikan porsi lainnya kepada Rosa

“Ini untuk saya, Pak?”

“Menurutmu? Apa ada orang lain?”

“Tapi ….”

“Makanlah, belum saatnya kita makan siang di luar dan membuat orang berspekulasi tentang kita.”

Lagi-lagi Rosa serasa ingin berteriak kegirangan, dia pun mengulum senyum. Dengan kata lain, Aiden akan mengajaknya makan siang bersama di luar  saat waktunya tiba.

Aiden yang fokus pada menu dihadapannya, sedangkan Rosa menikmati bukan hanya makanannya tapi wajah Aiden. Sesekali dia mencuri pandang pada pria dihadapannya.

Bukan hanya makan siang bersama, sore itu Aiden mengantarkan Rosa pulang. Gadis itu sempat menolak walaupun hatinya tidak sepakat dengan bibirnya, tapi Aiden tetap pada keputusannya mengantar Rosa pulang.

“Pak Aiden, saya jadi enak kalau diantar pulang lagi. Eh maksud saya jadi gak enak,” ungkap Rosa.

Aiden sempat menoleh lalu kembali fokus pada kemudi dan jalannya di depan.

“Menurutmu, aku pria seperti apa?” tanya Aiden mengalihkan topik pembicaraan.

“Hm, cuek, baik, perfeksionis, agak arogan dan menyebalkan,” gumam Rosa menyebutkan penilaiannya.

“Separah itu ya.”

“Eh, itu menurut saya Pak. Jangan diambil hati, bisa jadi orang lain akan berpendapat beda.”

Aiden tidak ikut turun, setelah Rosa keluar dari mobil dia kembali melaju. Tidak juga langsung pulang tapi berhenti di minimarket. Duduk di kursi panjang dengan mie cup dihadapannya, kebetulan di luar sedang hujan.

Meja di mana dia berada bisa menghadap kaca dan bisa memandang lalu lalang di depan minimarket tersebut.

“Tunggu sayang, Bunda masih di jalan. Hujan, jadi Bunda berhenti dulu.”

Aiden menikmati mie nya, sambil mendengarkan ucapan wanita yang sedang bicara lewat telepon tidak jauh dari dia duduk.

“Tunggu Bunda ya sayang, dah Naila.”

Terdengar hela nafas wanita itu, Aiden masih asyik dengan kudapannya. Terdengar dering ponsel milik wanita itu.

“Halo … iya betul saya Cantika.”

Deg.

Aiden terpaku, seakan waktu berhenti berputar dan hanya ada deru nafasnya serta bunyi detak jantungnya.

“Cantika,” gumamnya. Perlahan dia menoleh, wanita itu masih bicara dengan ponsel di tempelkan di telinga. Tapi wajahnya tidak terlihat karena sedang menoleh ke samping. Tepatnya sedang membuka tas dan entah sedang mencari apa.

Aiden tidak melepaskan pandangannya, penasaran dengan wajah wanita itu.

Jangan bodoh Aiden, sudah lima belas tahun kalian berpisah. Tidak mungkin wajahnya masih sama seperti dulu, semua berubah dan kamu tidak akan mengenalinya. Lagi pula Rosa tidak kalah cantik, tetaplah pada usahamu menerima Rosa.

Ada pergolakan dalam batin Aiden, tapi dia masih yakin dengan Cantika dan wanita di sampingnya bernama Cantika.

“Hm, iya,” ujar wanita itu yang kemudian beranjak meninggalkan minimarket setelah mengakhiri komunikasinya.

Aiden pun ikut beranjak, mengikuti langkah wanita itu.

“Mas, itu bekas makannya di rapikan dulu," tegur saah satu penjaga mini market.

Aiden kembali ke meja tadi. Meraih cup dan botol yang tadi dia tinggalkan lalu membuangnya ke tempat sampah kemudian ke luar mengejar wanita tadi.

“Tunggu,” ujar Aiden.

Wanita itu sudah berada di atas ojek online. Aiden hanya melihat wajah itu dari samping di mana ada tahi lalat dekat telinga membuat Aiden yakin kalau wanita itu adalah Cantika dari masa lalunya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!