Cinta Aiden - Part 6

“Sudah malam, aku antar kamu pulang.” Setelah melepaskan pagutannya, Aiden bicara begitu saja dan langsung beranjak.

Lely mengumpat dalam hati, menyesali ulahnya yang langsung terbuai dengan rayuan pria itu. Sudah pasti Aiden menduga dia perempuan murahan karena di awal perkenalan sudah berani melakukan silaturahmi bibir.

Namun, di zaman sekarang sepertinya hal itu bukan hal atau sesuatu yang tabu. Lely meyakinkan hatinya kalau Aiden adalah laki-laki yang berpikiran terbuka dan modern.

“Aku belum pamit Pak Edwin dan Ibu Ayu.”

“Tidak usah, nanti malah lama lagi. Ini sudah malam dan di luar hujan.”

Selama dalam perjalanan, keduanya lebih sering bungkam. Mobil yang dikemudikan Aiden pun sudah berhenti di basement apartemen Lely.

“Apa aku harus menawarkanmu untuk mampir?” tanya Lely yang sudah melepaskan seatbelt.

Aiden terkekeh. Mungkin pasangan lain setelah ini akan turun dan menuju unit si wanita lalu mereka akan berakhir di ranjang. Bahkan pemikiran Lely bisa jadi seperti itu.

“Tidak, aku menolakmu bukan karena tidak tertarik ….”

“Tapi?”

“Rasanya hatiku tidak terketuk olehmu. Apalagi kamu masih berkeyakinan kalau kedepannya aku akan selalu hidup enak dan berlimpah harta.”

“Itu sebagai motivasi, kenapa kamu malah pesimis?”

“Aku penasaran dengan sikapmu terhadapku kalau aku hanya seorang OB atau security. Apa kita akan berciuman seperti tadi?” tanya Aiden.

Plak.

Tangan Lely berhasil bertandang di wajah Aiden dan anehnya pria itu malah terkekeh.

“Ada apa denganmu, kenapa malah menamparku?’

“Apa menurutmu aku gampangan karena status sosial?” tanya Lely dengan nada emosi.

“Aku tidak bicara begitu, tapi kamu sendiri yang mengartikan seperti itu.”

“Dengar Aiden, aku hanya seorang wanita sama seperti wanita pada umumnya. Bisa baper ketika lawan jenis cukup menawan dan lemah akan godaan.”

“No, tidak semua wanita seperti itu.”

Lely tertawa, “Aku penasaran wanita seperti apa yang akan berhasil mendapatkan hatimu.”

Aiden hanya mengedikkan bahunya. “Turunlah, semakin lama kita hanya akan terus berdebat. Tidak baik kalau di dengar Om Indra. Hubungan keluarga kami sudah lama terjalin, jangan sampai karena kita tidak cocok malah merusak hubungan yang sudah terjalin.”

“Bukan kita tapi kamu, semua karena kamu.”

Lely membuka pintu mobil dan menutup kencang saat dia sudah turun.

“Aish,” gumam Aiden sambil mengurut dadanya yang terkejut dengan ulah Lely.

...***...

“Ada kejadian apa semalam?” tanya Edwin. Tentu saja pertanyaan itu ditujukan pada Aiden.

“Sudahlah, kita bicarakan itu nanti. Biar mereka sarapan dulu,” tutur Ayu.

“Kalian tidak saling pukul atau ….”

“Tidak,” sahut Aiden menyela ucapan Melody. 

“Atau malah ada kemajuan, kalian saling muach,” ejek Melody sambil mengerucutkan bibirnya.

Aiden yang sedang menyeruput kopinya tersedak mendengar ejekan Melody. Semalam memang ada yang terjadi antara Aiden dengan Lely tapi itu terjadi bukan karena Aiden terbiasa melakukan hal itu. Dia hanya ingin tahu respon Lely dan konsep hubungan yang dianut oleh gadis itu.

“Melody,” tegur Ayu.

“Besok ada peresmian di kantor Papa, jangan sampai tidak datang.”

“Hm.” Aiden pun beranjak dan pamit, diikuti oleh Melody yang ingin ikut bersama.

 “Kak Aiden tertarik dengan Mbak Lely ‘kan?” tanya Melody saat mobil yang membawa mereka sudah meninggalkan kediaman Papanya.

“Tidak.”

“Halah, dusta.”

Aiden menoleh sekilas lalu kembali fokus pada kemudi dan jalan di depannya.  Bisa-bisanya Melody mengatakan dia berdusta, sedangkan hatinya tidak ada sedikitpun tergugah oleh perkenalan dengan Lely.

“Aku lihat loh,” ujar Melody.

“Lihat apa?” Aiden mengernyitkan dahinya.

Melody malah terkikik geli sebelum menjawab pertanyaan Aiden.

“Aku lihat kalian berciuman,” jawabnya.

Shittt, bagaimana dia bisa ada di sana. Seingatku tidak ada siapapun, Aiden membatin lalu berdehem untuk menghilangkan rasa gugup.

“Anak kecil ngintip-ngintip.”

“Anak kecil apanya, aku sudah dua puluh dua tahun dan sebentar lagi sarjana. Bukan anak kecil lagi tapi sudah bisa membuat anak kecil,” tutur gadis itu tanpa filter.

“Hei, mulutmu. Kalau Bunda dengar, aku jamin kamu dapat ceramah live lebih dari satu jam.”

Aiden menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang utama kampus Melody.

“Masuklah Kak, masih jauh gedung kelasku.”

“Nggak ada, nanti aku terlambat,” tolak Aiden.

Melody pun akhirnya turun meski dengan bibir mengerucut. Aiden sempat membunyikan klakson sebelum dia melaju.

Setibanya di kantor, Rosa memang selalu datang lebih awal darinya.

“Selamat Pagi, Pak.” Rosa menyapa saat Aiden melewati mejanya.

“Hm. Apa besok ada jadwal keluar?”

Rosa mengambil tabletnya dan mengecek jadwal tim marketing termasuk kegiatan dinas luar. “Ada rapat dengan Pak Irwan dan bagian operasional di gedung X sekaligus ada acara di sana.”

“Hm, ingatkan aku setelah itu langsung ke acara Papa.”

“Baik, Pak.”

Rosa tidak mengalihkan pandangan dari Aiden yang berjalan menuju ruangannya.

“Huft,” hela Rosa.

Dia khawatir jika Aiden bisa melihat ada perasaan dari dirinya. Setiap hari menemani pria itu dan melaksanakan apa yang diperintahkan memunculkan rasa berbeda. Rosa tidak bisa menolak perasaan yang semakin berkembang bahkan Aiden pun tidak bisa melarang orang lain menyukainya karena cinta hadir tidak bisa dipaksa apalagi terpaksa.

“Seharusnya aku resign saja, daripada tersiksa sendiri,” gumam Rosa.

Ponsel gadis itu berdering, menyadarkannya dari lamunan.

“Halo Mbak,” ujar Rosa.

“Halo Rosa, aku sudah ada di Jakarta,” ujar seorang wanita di ujung telepon.

“Oh, sudah sampai?”

“Iya, aku mau rapi-rapi dulu.”

“Iya Mbak, nanti aku mampir. Bibi dan Naila gimana?”

“Mereka ikut juga. Tidak mungkin aku tinggalkan di kampung,” seru wanita itu.”

“Oke Mbak nanti berkabar aja. kalau sudah senggang aku pasti berkunjung. Bye, Mbak Cantika.”

Deg.

Aiden yang berdiri tidak jauh dari Rosa yang sedang menelpon, langsung terpaku mendengar nama itu. Nama yang pernah hadir di hatinya dan ternyata membuatnya bertahan selama ini untuk menunggu gadis itu.

“Eh, Pak Aiden. Maaf pak tadi saya terima telepon, tidak tahu kalau ada Bapak.”

“Tidak ada, bawakan aku berkas yang kemarin diserahkan oleh Pram.”

“Baik, Pak. Saya ambil dulu.”

Aiden pun kembali ke ruangannya. Mendengar nama Cantika membuat pikirannya kembali ke masa itu, masa di mana dia asyik berteman atau bisa dikatakan cinta monyet saat masih usia remaja.

“Realistislah Aiden. Entah dimana dia sekarang. Bagaimana kalau dia sudah menikah bahkan bertemu dengannya di jalan belum tentu kalian masih saling mengenal,” gumam Aiden.

Sedangkan di tempat berbeda, seorang wanita sedang sibuk menata rumah sederhana yang baru ditempati. Wanita cantik dengan penampilan sederhana.

“Bunda,” panggil bocah perempuan yang berjalan terseok sambil menyeret bonekanya.

“Iya sayang.”

“Naila ngantuk,” ujar bocah itu sambil menguap.

Terpopuler

Comments

Agustina Kusuma Dewi

Agustina Kusuma Dewi

oh..gantian..x ini aiden dg janda
dl papa duda dpt ayu

2023-12-15

0

Purnama Pasedu

Purnama Pasedu

cantika dah nikah

2023-04-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!