“Aiden,” panggil Edwin saat Aiden melangkah pelan menaiki anak tangga dan lampu ruangan yang menyala. Dia berpikir Papa dan Bundanya sudah tidur karena beberapa lampu sudah gelap.
“Ikut Papa,” titah Edwin.
Ayu mengekor langkah suami dan putranya menuju ruang kerja.
“Bagaimana pertemuan dengan Melinda?” tanya Edwin.
“Hm, seperti biasa,” sahut Aiden.
Edwin menghela nafasnya. “Kamu tidak berulah membuat gadis itu marah, seperti yang biasa kamu lakukan sebelumnya ‘kan?”
“Gadis?” tanya Aiden kemudian terkekeh.
Bahkan wanita itu hampir menjadi seorang Ibu, batin Aiden.
Edwin mengernyitkan dahinya, Ayu sudah bisa menduga kalau ada yang terjadi antara Aiden dan Melinda. Entah itu menyinggung atau Aiden berulah dengan mengatakan sesuatu yang membuat Melinda marah.
Tinggal menunggu apa yang akan Dimas Mahendra katakan saat menghubungi Edwin, esok hari. Yang jelas Ayu khawatir dengan kondisi Aiden.
“Ya sudah, istirahatlah,” titah Edwin karena tidak akan mendapatkan penjelasan apapun dari Aiden.
Aiden sudah beranjak tapi kembali menoleh.
“Apa aku boleh tinggal di apartemen?”
“Tidak.” Ayu dan Edwin menjawab serempak. Keduanya tidak mungkin memberikan kebebasan pada Aiden walaupun pria itu sudah dewasa.
“Aish, kalian kompak sekali.”
Aiden sudah membuka pintu kamarnya, saat pintu kamar yang berseberangan dengannya terbuka. Melody menyembulkan kepalanya di sela pintu.
“Hm, paling gagal lagi.”
Aiden hanya berdecak, mendengar ejekan Melody.
“Dasar bayi,” ejek Melody. “Zai dan Zen saja boleh keluar dari rumah ini, kak Aiden tidak bisa.”
“Mereka tinggal di pesantren, bukan keluar dari rumah,” sahut Aiden membahas adik kembar mereka yang masih duduk di bangku SMA.
“Bayi ada bayi,” ejek Melody sambil menjulurkan lidahnya. Aiden berbalik tapi Melody sudah menutup kembali pintu kamarnya.
...***...
Pagi itu, Aiden tidak turun bahkan sarapan sudah hampir selesai dan Edwin sudah siap berangkat.
“Kamu berangkat dengan Papa atau ….”
“Nanti siang,” sahut Melody.
“Kenapa Aiden belum turun juga?” tanya Edwin.
“Biar aku yang lihat ke kamarnya,” usul Ayu.
“Aiden,” panggil Ayu membuka pintu kamar putranya. Masih dengan lampu temaram, Ayu menuju jendela dan membuka hordeng membiarkan sinar mentari masuk.
Aiden masih dalam gelungan selimut bahkan tidak menyadari kehadiran Bundanya.
“Aiden, ini sudah siang,” ujar wanita yang masih terlihat cantik dan muda.
Aiden bergeming masih terbuai dengan mimpinya. Ayu menyentuh tangan Aiden untuk membagunkan tapi terkejut karena kulit tubuh Aiden yang terasa panas.
“Demam,” gumam Ayu lalu menyentuh kening Aiden dan benar saja suhu tubuh yang dirasakan oleh Ayu menandakan kalau pria itu sedang demam.
Ayu bergegas turun dan menyampaikan pada Edwin kondisi Aiden.
“Semalam dia sehat-sehat saja,” ujar Edwin.
“Berangkatlah, biar aku yang urus Aiden,” ujar Ayu. Edwin menghampiri istrinya, mencium kening saat akan memeluk wanita itu Melody berdehem mengurungkan niat Edwin.
“Nggak lihat di sini ada manusia jomlo, jangan umbar kemesraan yang nantinya bikin orang lain iri,” tutur Melody. Ayu hanya tertawa lalu mendorong tubuh Edwin agar beranjak pergi.
Sore hari, kondisi Aiden sudah lebih baik. Saat ini dia berada di ruang keluarga, bersandar di sofa sambil fokus pada gadgetnya. Mai dan Pram, rekan kerja Aiden datang menjenguk.
“Masuklah, Aiden ada di sini,” ujar Ayu mempersilahkan dua orang temannya menemui Aiden.
“Woi, gue pikir lo nggak bisa sakit. Aiden si manager arogan bisa tepar juga,” ejek Pram.
Mai langsung duduk di salah satu sofa dengan menyilangkan kaki dan melipat kedua tangan di dada.
“Gue nggak nyangka lo masih tinggal dengan orangtua,” ujar Mai.
Aiden mendengus kesal.
“Aku hanya butuh rehat, tanpa kalian datang juga akan sembuh bahkan kedatangan kalian bisa jadi malah tambah bikin pusing.”
“Nah ini, ini nih yang gue kangen dari Aiden. Pedes banget mulutnya,” sahut Pram.
Asisten rumah tangga membawakan minum serta cemilan untuk tamu Aiden, berbarengan pula dengan Melody yang baru pulang dari kampus.
“Kak Aiden, udah sehat belum? Eh, ada tamu,” ujar Melody yang baru menyadari ada kedua teman Aiden.
“Masuk sana, bukan urusan kamu,” titah Aiden.
“Bro, itu adik lo? Cantik ya,” tanya Pram.
“Loh, kok belum diminum?” tanya Ayu yang bergabung dengan duduk di samping Mai.
“Kamu rekan kerja Aiden?” tanya Ayu.
“Iya Tante, aku Mai dan dia Pram,” ujar Mai memperkenalkan diri.
Ayu menoleh ke arah Aiden dan menggerakan sudut matanya, Aiden mengerti maksud Ayu.
“Tidak Bun, aku nggak tertarik dengan Mai.”
“Penolakan langsung, mudah-mudahan aja Mai nggak bunuh diri setelah ini,” gurau Pram.
“Nggaklah, jodoh nggak akan kemana kok,” sahut Mai lagi.
“Hm, denger Aiden. Jodoh nggak akan kemana, bisa jadi kita kesana kemari cari jodoh untukmu malah ada di depan mata,” tutur Ayu.
...***...
Keluarga Edwin sudah berada di meja makan, tinggal menunggu Edwin yang masih berada di kamar.
“Papa mana? aku sudah lapar,” ujar Melody.
“Sebentar, tadi sedang menelpon.” Ayu mengatur hidangan di meja dan memastikan tidak ada yang kurang.
Aiden hanya diam, fisiknya masih belum nyaman walaupun demamnya sudah reda. Edwin pun akhirnya tiba dan duduk di kursi khusus untuknya, raut wajahnya sudah tidak biasa tapi semua abai dan fokus pada hidangan.
Setelah makan malam berakhir, Edwin mulai bicara.
“Kalau kamu memang tidak cocok dengan Melinda tidak perlu menghinanya,” ujar Edwin. “Papa tidak pernah mengajarkan kamu untuk menyakiti perempuan. Ingat, kamu dilahirkan oleh perempuan,” tutur Edwin dengan nada tegas.
“Menghina Melinda? Aku tidak melakukan itu, hanya menyampaikan kenyataan,” jawab Aiden. “Aku sudah dewasa dan bisa memilah mana ujaran penghinaan dan ….”
“Besok temui Melinda,” titah Edwin menyela ucapan Aiden.
“Untuk apa?”
“Minta maaf, walaupun kalian tidak ingin melanjutkan hubungan tapi jangan seperti ini," titah Edwin.
Aiden menghela nafasnya, tidak habis pikir bagian mana yang mengatakan dia menghina Melinda. Aiden hanya mengkonfirmasi kenyataan apa yang pernah terjadi dengan hidup wanita itu tapi dianggap menghina.
“Aiden, apa yang kamu katakan pada wanita itu?” tanya Ayu setelah Edwin dan Melody sudah kembali ke kamar masing-masing.
“Aku hanya menyampaikan fakta yang aku dengan untuk mengkonfirmasi kebenaran,” seru Aiden yang sudah mencari tahu siapa Melinda dari orang suruhannya.
“Kenapa Bunda menduga kalau fakta yang kamu dapatkan itu cukup buruk untuk Melinda.”
“Ya begitulah. Apa Bunda ingin aku menerima Melinda yang ….”
“Cukup, naiklah ke kamarmu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Agustina Kusuma Dewi
hmmmmm..
sabarrrr
2023-12-15
0