Di sebuah kota yang dijuluki sebagai Kota Kembang, seorang gadis duduk terpaku di bangku sebuah taman. Dadanya terasa sesak. Akan tetapi, dia tidak mampu meluapkan amarahnya.
"Kenapa, Mas? Kenapa kamu tega memperlakukan aku seperti ini?" gumamnya lirih.
Sejenak, dia teringat akan pertemuan yang dia lakukan dengan calon suaminya dua hari yang lalu.
"Maaf, Fina. Jujur aku belum siap untuk melanjutkan hubungan ini," jawab Adam saat sang tunangan mempertanyakan kelanjutan hubungan mereka.
"Ta-tapi kenapa, Mas? Dua tahun lebih kita membina hubungan pertunangan. Aku rasa itu waktu yang sangat cukup untuk saling mengenal sifat kita satu sama lain. Mau sampai kapan kita terus bertunangan, Mas? Apa Mas tidak ingin segera menghalalkan aku?" Lirih Safina yang sudah tidak sanggup lagi menahan emosinya.
Hening. Adam sama sekali tidak bisa menjawab pertanyaan tunangannya. Jangankan untuk menikahi, bahkan sampai detik ini pun, Adam masih tidak percaya jika dia telah bertunangan dengan perempuan lain.
"Apa semua ini karena Safira?" duga Safina.
"Jangan libatkan orang lain dalam hubungan kita, Fin," sangkal Adam.
"Jika Mas memang tidak ingin aku melibatkan orang lain, tolong beri jawaban yang masuk akal. Kenapa sampai detik ini, Mas tidak ingin melanjutkan hubungan kita ke jenjang yang lebih serius lagi? Apa Mas memang sebenarnya tidak berniat untuk menikahi aku?" seru Safina semakin emosi.
"Besok aku ada jadwal penerbangan. Aku pergi dulu!"
Tanpa merasa bersalah, Adam meninggalkan Safina di taman belakang rumahnya.
"Aargh! Brengsek!" jerit Safina yang sontak membuat para pengunjung taman menoleh padanya.
🌷🌷🌷
Pukul 08.00 waktu setempat, semua orang meninggalkan rumah minimalis itu. Opa Hadi bersama cucu laki-lakinya, pergi ke pabrik kayu. Lara dan Bik Cucum, pergi ke sanggar dan Safira tentunya berangkat ke kantor mengendarai mobilnya sendiri.
Perjalanan dari rumah menuju pabrik kayu milik Opa Hadi, membutuhkan waktu selama 40 menit. Tiba di sana, Opa Hadi langsung menuju area pabrik untuk meninjau para pekerjanya yang sedang membuat meja, kursi dan rak buku pesanan perusahaan milik Ken Grup. Barang-barang tersebut akan dihibahkan untuk sebuah sekolah swasta di bawah naungan yayasan Mutiara Bunda.
Ken Grup adalah salah satu perusahaan yang menjadi donatur tetap di yayasan tersebut. Dan salah satu sekolah satu atap yang dinaungi yayasan itu, adalah CERIA Kindergarten, sekolahnya Rana dan Lara.
“Paman, apakah benda-benda itu masih dipakai?” Tunjuk Rana pada beberapa batang kayu jati kecil yang menumpuk di sudut ruangan pabrik.
“Tidak, Nak," jawab orang yang dipanggil paman oleh Rana.
“Boleh aku memintanya?” tanya Rana lagi.
“Silakan, tapi untuk apa, Nak?” Paman itu penasaran dengan niat Rana yang menginginkan batang kayu yang tak terpakai tersebut.
“Hehehe,... hanya untuk bermain-main saja," jawab Rana, asal.
Setelah mendapatkan izin dari pekerja opanya, Rana mulai mengambil kayu-kayu tersebut dan mengumpulkannya di luar. Setelah itu, dia kembali ke dalam pabrik untuk mengamati para pekerja yang melakukan pekerjaannya. Mulai dari proses sawmill, kilndry dan assembly. Tak satu pun luput dari tatapan tajam mata Rana.
Setengah jam kemudian, Rana meminta izin untuk memasuki ruang kerja opanya. Di sana, Rana mengeluarkan peralatan tempurnya dari dalam tas. Dia mulai menuangkan apa yang ada dalam imajinasinya ke dalam sebuah sketsa gambar. Lepas itu, Rana mulai mengotak-atik tablet pemberian opanya.
Jari-jemarinya begitu lincah menari di atas tablet itu. Satu jam bergelut dengan tabletnya, Rana pun akhirnya tersenyum tipis melihat hasil karyanya.
Rana berjalan ke arah kulkas mini yang ada di sudut ruangan opanya. Dia kemudian mengambil sebotol air mineral dan mereguknya. Seperempat jam membaringkan tubuhnya di atas sofa tamu, Rana pun kembali keluar dengan menenteng tablet di tangannya.
Rana memasuki area pabrik. Dia meminta izin kepada para karyawan opanya untuk meminjam peralatan mesin yang dia butuhkan. Rana kemudian mulai asyik dengan pekerjaannya, tanpa menghiraukan para pekerja yang sesekali melirik ke arahnya.
Peluh mulai bercucuran di kening Rana. Namun, itu tak membuat dia patah semangat. Sesekali, bocah kecil itu terlihat mengerutkan kening, memperhatikan hasil karyanya yang dirasa kurang sempurna. Tak jarang, senyum Rana pun mengembang ketika menemukan solusi untuk menyempurnakan hasil karyanya.
Waktu sudah menunjukkan jam makan siang. Opa Hadi pun kembali ke ruang kerjanya untuk mengajak Rana makan siang. Tiba di ruangannya, Opa Hadi terkejut karena tidak mendapati Rana. Opa Hadi memanggil orang kepercayaannya.
Pria berusia 40 tahunan itu memberi salam dan membungkuk di hadapan Opa Hadi.
“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya pria yang ternyata kepala bagian produksi.
“Apa kamu melihat cucuku di pabrik?” Opa Hadi balik bertanya.
“Iya, Tuan. Tadi saya melihat jika tuan muda sedang berada di tempat penyimpanan bahan baku," jawab Imran.
Opa Hadi mengerutkan keningnya. Sedang apa Rana di sana? batinnya.
“Maaf, Tuan. Apa perlu saya panggilkan tuan muda?" tawar Imran.
“Ah tidak usah. Biar aku saja yang ke sana," jawab Opa Hadi.
Opa hadi segera keluar dari ruangannya. Setelah berjalan sekitar 10 menit, dia sudah sampai di gudang tempat penyimpanan bahan baku. Opa Hadi memasuki gudang dan mengedarkan pemandangannya ke sekeliling gudang. Namun, dia tak menemukan bocah berambut kecoklatan itu.
“Abang! Bang! Kamu di mana?” tanya Opa Hadi, mulai berkeliling seraya berteriak memanggil cucunya.
“Abang di sini, Opa!” sahut Rana dari salah satu ruangan yang sudah tidak dipakai.
Opa Hadi segera mendatangi sumber suara. Tiba di sana, dia melihat Rana yang masih asyik berkutat dengan pekerjaannya.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Nak? Ayo, kita makan siang dulu!” ajak Opa Hadi dari ambang pintu.
"Sebentar Opa, tanggung!” jawab Rana tanpa melihat kepada opa-nya.
Opa Hadi semakin penasaran. Dia kemudian mendekati cucunya. Opa Hadi sangat terkejut begitu dia melihat miniature sebuah villa yang telah dirangkai cucunya dari kayu-kayu bekas.
“Apa kamu yang mengerjakan ini semua?” tanya Opa Hadi.
Rana mengangguk. Namun, ada gurat tak percaya di kening opanya.
“Kamu yakin, kamu hanya membuat ini seorang diri?” tanya Opa Hadi lagi.
“Memangnya Opa lihat, di sini ada orang lain selain Abang?”
Rana malah balik bertanya. Jujur saja, dia merasa tidak suka kakeknya meragukan kemampuannya.
“Bu-bukan begitu maksud Opa, Bang. Dengar, untuk menghaluskan dan membuat kayu-kayu itu berbentuk, membutuhkan berbagai macam alat. Dan untuk anak seusia kamu, Opa tidak yakin jika kamu mampu mengendalikan alat-alat canggih yang besarnya jauh melebihi besar badan kamu," tutur Opa Hadi panjang lebar.
Rana hanya tersenyum tipis. “Monster apa pun mampu aku taklukkan dengan otakku, Opa!” Hanya itu yang keluar dari bibir mungil bocah kecil berusia 5 tahun tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 314 Episodes
Comments
Jaenal Aripin
paling suka baca KL ada anak jenius
2024-06-13
0
Astrid Bakrie S
Hebat Rana
2024-04-10
1
Oi Min
sampai kapan Safira bsa mnerima twins tor??
2024-03-20
1