“Jadi Abang?” tanya Safira yang tubuhnya mulai terasa lemas ketika mengetahui jika anaknya telah tahu tentang kebenaran yang dia sembunyikan.
"Sebenarnya sejak dua tahun yang lalu, Abang sudah tahu kalou Kakak Fira adalah ibu kami. Namun, Abang tidak ingin memaksakan diri untuk bertanya. Jika memang sampai harus disembunyikan, Abang yakin Kak Fira punya alasan yang cukup kuat untuk tidak mengakui kami," jawab Rana panjang lebar.
Sakit! Tentu saja hati Safira sakit mendengar jawaban anaknya. Tanpa terasa, bulir bening pun sudah turun deras di kedua pipi putih milik Safira.
"Ma-maafkan Ka-kak karena dulu tidak ingin mengakui kalian sebagai anak, tapi sekarang Kakak sadar, kalian adalah darah daging Kakak. A-apa sekarang ka-lian mau mengakui kakak sebagai i-ibu kalian?" tanya Safira, lirih.
“Tidak ada alasan bagi kami untuk tidak mengakui Kakak sebagai ibu kami. Abang dan Adrk sadar, jika surga itu ada di bawah telapak kaki ibu," jawab Rana, masih dengan nada datarnya.
“A-anakku!” panggil lirih Safira seraya merentangkan kedua tangannya.
“Mommy!”
Tiba-tiba Lara berteriak seraya menghambur ke dalam pelukan Safira. Begitu juga dengan Rana yang dengan santainya, berjalan mendekati Safira.
Dengan penuh rasa haru, Safira merangkul kedua anak yang masih berusia lima tahun itu. Air matanya semakin deras mengalir. Isak tangis kebahagiaan, terdengar dari ibu dan anak perempuannya. Hanya Rana saja yang masih berusaha tegar.
Anak lelaki tidak boleh menangis. Jika sampai menangis, aku pasti cukup lemah untuk menjadi pelindung bunda dan adek. Tidak! Aku tidak ingin menjadi laki-laki lemah. Karena itulah aku tidak boleh menangis. Aku tidak boleh cengeng! Monolog Rana di dalam hatinya.
Cukup lama mereka berpelukkan untuk melepaskan keharuan. Hingga akhirnya, Lara berkata.
"Mommy, Lara senang kalo ternyata Kak Fira adalah mommy-nya Lara. Apa Mommy tahu, Lara selalu ingin menjadi seperti Mommy. Anna bilang, Lara cantik kayak Mommy. Sekarang Lara senang jika Lara memang secantik Mommy," tutur Lara, menatap lekat ke arah wanita yang baru saja mengikrarkan diri sebagai ibu kandungnya.
Safira tersenyum. "Iya, Nak. Kamu memang cantik seperti Mommy," timpal Safira penuh haru.
Rana mengernyitkan dahinya. "Dek, kenapa kamu panggil mommy, kita panggil bunda saja," usul Rana.
“No!" tolak Lara dengan tegas. "Ish, apa Abang enggak sadar kalau wajah kita itu mirip orang bule? Anna, 'kan sama kayak kita, bule. Dia panggil ibunya mommy. Jadi, Lara juga mau panggil Mommy," ucap Lara memberikan alasan.
"Aish, kamu ini! Panggil bunda, 'kan lebih enak, Dek. Lebih terkesan cantik dan anggun. Sama seperti paras Bunda yang elok," puji Rana kepada ibunya.
Safira menautkan kedua alisnya. Gombalan Rana memang tidak sesuai dengan wajahnya yang terlihat dingin dan datar.
Astaga! Apa dia mewarisi gen ayahnya? batin Safira, menatap wajah tampan putranya.
"Enggak! Pokoknya Lara mau panggil Mommy!" tegas Lara.
"Ish, Dek ...."
“Sudah-sudah. Apa pun panggilan kalian untuk Kakak, yang penting kalian tahu jika Kakak adalah mommy Lara dan bundanya Rana,“ timpal Safira menengahi perdebatan kedua anaknya.
Sekali lagi mereka saling berpelukan. Mata Opa Hadi terasa hangat melihat pemandangan di hadapannya.
Terima kasih ya Allah. Terima kasih atas kesempatan ini, batin Opa Hadi.
🌷🌷🌷
Semenjak mengakui jati dirinya sebagai ibu kandung bagi anak kembar itu, Safira merasakan sebuah kelegaan dalam hatinya. Dia benar-benar bisa bernapas dengan lega, karena semua beban yang mengimpitnya, seolah menguap begitu saja. Hidup Safira kini terasa sangat berwarna. Apalagi Safira merasakan jika putrinya memiliki banyak persamaan dengan dirinya di waktu kecil.
Ya. Lara adalah duplikat masa kecilnya Safira. Senyumnya, gaya bicaranya, keceriaannya, bahkan gaya berpakaian dan tatanan rambut kesukaannya pun sama persis dengan Safira. Terkadang Safira sendiri merasa heran. Entah kenapa dia harus membutuhkan banyak waktu untuk mengenali dan mengakui anak kandungnya sendiri.
Sedangkan Rana, hmm..., Safira sendiri merasa heran, Rana mewarisi sifat siapa. Dari keseluruhan kebiasaan anak lelakinya, satu pun tak ada yang mirip dengan Safira. Rana berwajah sangat tampan, tapi terkesan datar dan cukup serius. Sikapnya sangat dingin dan cuek. Kalau bicara pun, sangatlah irit.
Rana anak yang sangat tertutup. Dia tidak pernah menceritakan semua permasalahan yang dihadapinya, sekalipun itu dengan Opa Hadi sebagai sesama lelaki. Namun, meskipun demikian, Rana terlihat sangat menyayangi dan melindungi adik dan ibunya.
“Kalau besar, Adek mau jadi apa?” tanya Safira saat mereka sedang bercengkerama di sebuah gazebo di taman depan.
“Adek ingin jadi pelukis yang terkenal di dunia. Seperti Pablo Picassi. Itu tuh ... pelukis asal Spanyol. Boleh, 'kan Mommy?” pinta Lara memandang Safira dengan tatapan mata yang berbinar.
Safira tersenyum seraya membelai lembut rambut putrinya. "Tentu saja boleh, Sayang."
Meski Safira sendiri heran darimana bakat melukis putrinya berasal, tapi dia tidak akan pernah mematahkan semangat anak-anaknya dalam mengembangkan bakatnya.
“Kalo Abang sendiri, cita-cita Abang mau jadi apa kalau sudah besar?" tanya Safira kepada anak laki-lakinya yang tengah asyik menyusun sebuah mini town dengan permainan lego.
"Abang mau bikin gedung-gedung pencakar langit, Bun. Tapi sebelum itu, Abang mau bikin mansion yang megah buat Bunda sama ayah,” jawab Rana sambil tetap memainkan Legonya.
Tangan mungilnya yang lincah, dalam sekejap mampu menyulap benda-benda kecil itu menjadi sebuah bangunan yang cukup indah.
Deg-deg-deg!
Jantung Safira berdegup kencang ketika Rana mengucapkan kata ayah.
Apa mereka akan menanyakan siapa ayahnya padaku,saat ini? batin Safira.
“Ayah? Emang kita punya ayah, Bang?” tanya polos Lara.
“Ish kamu ini, Dek! Apa kamu pikir, kita lahir dari batu?" dengus Rana kesal.
Mulut Safira menganga seketika, mendengar ucapan bocah berusia 5 tahun itu.
Ba-bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan jika mereka bertanya tentang ayahnya? batin Safira menduga-duga.
Dan ternyata, dugaan Safira sangatlah tepat. Kalimat pertanyaan itu lolos juga dari mulut mungil milik Lara.
“Terus siapa ayah kita, Mom?” tanya Lara dengan wajah polosnya.
"Eh … anu … itu ... di-dia, emh ... dia ...."
Safira hanya mampu tergagap mendengar pertanyaan putri bungsunya.
“Sudahlah, Dek! Jangan ganggu Bunda dengan pertanyaan yang tidak bisa Bunda jawab." tukas Rana. "Abang janji, Abang akan cari ayah buat kita, ya,” imbuhnya seraya membereskan mainan lego.
Untungnya, Lara bukan anak yang selalu bertanya sesuatu hal yang akan melukai orang-orang yang dia sayangi.
Melihat ekspresi tergagap sang bunda, Rana yakin jika sang bunda pun tidak memiliki jawaban atas pertanyaan Lara.
“Sudah sore. Sebaiknya kalian mandi sana! sebentar lagi kita akan shalat magrib berjamaah” perintah Safira kepada kedua anaknya.
Sepasang anak kembar yang memiliki mata berwarna biru pun, segera beranjak dari gazebo. Meninggalkan ibunya yang masih ingin melamun dan mencoba mengingat-ingat peristiwa nahasnya malan itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 314 Episodes
Comments
Yuliana Purnomo
kalau emang Kenzo,, ayah' nya kembar,, gimana kejadian nya sih
2024-02-27
3
Putri Minwa
hahaha, lara ada benarnya juga ya
2023-10-23
0
Soumena Mishy
ternyata Safina yg menghancurkan Fira
definisi saudara kejam tu
2023-10-04
4