Tok-tok-tok!
Safina mengetuk pintu kamar saudaranya dengan ritme yang cukup cepat.
Dug-dug-dug!
Kembali Safina menggedor pintu kamar itu, saat tak mendapati jawaban dari dalam kamar.
Hoeeekk….hoeeekk….hoeeek!
Terdengar suara seseorang yang sedang memuntahkan sesuatu dari dalam kamar mandi. Namun tak lama kemudian.
Ceklek!
Pintu terbuka, seorang wanita cantik yang tengah mengenakan kebaya brokat berwarna putih, keluar dari kamar mandi.
“Fir, are you oke?” tegur Safina yang telah berada di dekatnya.
Beberapa detik yang lalu, Safina memaksa masuk karena tak ada jawaban dari si empunya kamar. Ternyata sang pemilik kamar tengah berada di kamar mandi sehingga tak dapat mendengar bunyi ketukan pintu di kamarnya.
“I’am fine,” jawab Safira lirih, meskipun wajah pucatnya sangat jelas terlihat.
“Aduh-duh ... ini kenapa calon pengantin wajahnya pucat begini sih? Kemarilah, biar aku benahi riasanmu!” ujar Safina seraya menarik pelan tangan Safira dan menyuruhnya duduk di depan kaca rias.
Safina kemudian mulai menata ulang riasan Safira agar tidak terlihat berantakan. Beberapa menit kemudian, Safina memapah saudaranya untuk menuju ruang keluarga, tempat di adakannya akad nikah.
Safira dan Safina bukanlah saudara kembar. Namun Karena mereka lahir di hari, tanggal dan tahun yang sama, maka sang nenek pun memberikan nama yang hampir mirip.
Ayah Safira dan ayah Safina, mereka adalah kakak beradik. Namun, sayangnya kedua orang tua Safira telah meninggal dalam sebuah kecelakaan. Hingga pada akhirnya, Safira pun tinggal bersama oma, om dan tantenya yang tak lain orang tua Safina.
“Aah Fira, cucu Oma ... kenapa lama sekali, Nak?" tegur Oma Halimah, nenek kandung dari Safira dan Safina.
“Maaf, Oma.” Hanya itu yang keluar dari mulut Safira yang mungil.
“Ya sudah, tidak apa-apa. Ayo, Oma antar menuju kursi akadmu. Adam sudah menunggumu di sana,” ujar Oma Halimah seraya memapah Safira ke meja akad.
Tiba di sana, Safira langsung duduk berdampingan dengan pria tampan, berkulit putih bersih. Pria yang sudah hampir dua tahun menjadi kekasihnya. Pria itu bernama Adam Djaelani, seorang Pilot.
Adam tersenyum begitu mendapati calon istri yang sudah duduk di sebelahnya. Begitu juga Safira yang membalas senyuman calon suaminya dengan senyum yang teramat indah. Sesaat kemudian, Oma Halimah memasangkan kerudung putih di atas kepala kedua mempelai.
“Sudah siap semuannya?” tanya bapak penghulu.
“Insya allah siap, Pak!” jawab Adam.
Berbeda dengan Safira yang hanya mengangguk seraya tersenyum, menjawab pertanyaan pak penghulu tadi.
“Adam Djaelani, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau kepada Safira Anandhita binti Abdul Latief dengan maskawin seperangkat alat shalat beserta uang tunai sebesar seratus juta dibayar tunai!”
“Saya terima, nikah dan kawinnya Safira Anandhita binti Abdul Latief dengan maskawin seperangkat alat solat beserta uang seratus juta diba–”
Bugh!
Belum selesai kalimat akad terucap dari mulut sang mempelai pria, tiba-tiba Safira terjatuh dari kursinya.
“Fira!” teriak panik orang-orang yang tengah menyaksikan akad pernikahan Safira dan Adam.
Seketika Adam, Oma halimah, Safina dan kedua orang tua Adam menghampiri dan mengerumuni Safira yang tengah tergeletak di lantai, tak sadarkan. Adam segera meraih kepala Safira dan meletakannya di atas kedua pahanya.
“Fira! Fir! Bangun, Sayang!” ucap Adam seraya menepuk pelan pipi calon istrinya.
Safira masih memejamkan mata.
“Fira Sayang, jangan bikin semua orang panik. Ayo sadarlah, Yang!” Kembali Adam menepuk pelan pipi Safira, mencoba menyadarkan gadis yang teramat dicintainya.
“Ayo, cepat bawa ke kamarnya, Nak Adam!” perintah Oma Halimah. “Jo, cepat panggil Dokter Teguh!” Oma Halimah memberikan perintah kepada Jodi, putra bungsunya yang tak lain adalah ayah kandung Safina.
Dengan sigap, Adam segera memangku Safira dan membawanya ke kamar. Tiba di kamar, Adam merebahkan tubuh Safira di atas ranjang. Dengan tatapan cemas, dia mengelus-elus telapak tangan Safira untuk memberikan kehangatan.
Bukan tanpa alasan Adam melakukan itu semua. Dalam keadaan pingsan, Adam bisa merasakan kalau tangan Safira sangatlah dingin.
Tak berapa lama, Dokter Teguh yang merupakan dokter keluarga Oma Halimah, tiba di kamar Safira.
“Ayo-ayo, semuanya keluar!” perintah Oma Halimah. “Biar Dokter Teguh bisa tenang memeriksa Safira,” lanjutnya.
Semua orang keluar dari kamar Safira. Mereka memutuskan untuk menunggu hasil pemeriksaan Dokter Teguh di luar kamar Safira. 20 menit kemudian, Dokter Teguh keluar dari kamar Safira. Namun, wajahnya terlihat sangat tertekan.
“Bagaimana Teguh, apa yang terjadi pada cucu saya? Sakit apa sebenarnya cucu saya?” cecar Oma Halimah.
“Maaf Nyonya, bisakah saya berbicara dengan Anda secara pribadi?” Bukannya menjawab, Dokter Teguh malah meminta waktu untuk berbicara empat mata dengan Oma Halimah.
Oma Halimah tampak mengernyitkan dahinya. “Ada apa, Teguh? Apa penyakit yang diderita cucu saya sangatlah parah?” tanya Oma Halimah lagi.
“Mari, Nyonya. Sebaiknya kita bicara di ruangan Nyonya saja!” ajak Dokter Teguh.
Oma Halimah mengangguk. Dia pun mengajak Dokter Teguh ke ruang pribadinya.
“Ada apa, Teguh? Kenapa kamu mengajak saya untuk berbicara secara pribadi? Apa yang sebenarnya terjadi kepada cucu saya?” cecar Oma Halimah terlihat cemas.
“Sebelumnya saya minta maaf, Nyonya. Tapi ada kemungkinan jika nona Safira, emm ... nona Safira saat ini tengah berbadan dua,” ucap lirih Dokter Teguh.
“A-apa?! Ti-tidak mungkin Teguh! Tidak mungkin jika cucu saya sedang mengandung!” pekik tertahan Oma Halimah.
“Itulah, Nyonya. Saya sendiri merasa ragu, tapi dari hasil pemeriksaan saya, kondisi nona Safira memang seperti tengah berbadan dua,” lanjut Dokter Teguh seraya menghela napasnya. "Saran saya, sebaiknya Nyonya memeriksakan keadaan nona Safira ke obgyn,” sambungnya.
Dengan wajah memerah, menahan amarah, Oma Halimah keluar dari ruangannya. Dia kemudian kembali ke kamar Safira.
Brakk…!
Oma Halimah membuka pintu kamar Safira dengan kasar.
Safira yang tengah terduduk lemah sesaat setelah dia sadar, sangat terkejut mendengar suara gebrakan di pintu kamarnya. Tanpa banyak bicara, Oma Halimah segera menarik tangan Safira dan menyeretnya keluar kamar.
“Ibu, apa yang Ibu lakukan? Fira baru saja sadar. Ibu hendak membawa dia ke mana?” tanya Riska, menantunya.
Oma Halimah tidak menjawab pertanyaan sang menantu. Dia masih terus menyeret Safira menuruni anak tangga hingga melewati tamu-tamu yang masih setia menunggu acara akadnya.
“Oma, Fira mau dibawa ke mana?” tanya Safina seraya berlari untuk mengimbangi langkah neneknya.
“Ujang! Siapkan mobil!” Hanya itu yang keluar dari bibir Oma Halimah.
Tak berapa lama, sebuah mobil mewah terparkir di halaman rumah. Oma Halimah segera mendorong tubuh Safira untuk masuk ke dalam mobil. Sesaat kemudian, wanita tua itu menyuruh sopir pribadinya untuk segera melajukan mobil menuju rumah sakit.
Sementara itu, di belakang, dengan didampingi Safina, Adam pun memasuki mobilnya. Sepersekian detik kemudian, pria bertubuh tegap itu melajukan kendaraannya untuk mengejar mobil Oma Halimah.
Tiba di rumah sakit, Oma Halimah masih menyeret Safira menuju poli obgyn. Dia kemudian meminta seorang dokter obgyn untuk memeriksa Safira.
“Alhamdulillah! Selamat ya Bu, cucu Anda memang sedang mengandung. Saat ini, usia kandungannya mulai menginjak 9 minggu,” tutur dokter kandungan.
Jedar!
Bagaikan tersambar petir di siang bolong, baik Oma Halimah maupun Safira, keduanya merasa kaget mendengar pernyataan dari dokter kandungan tersebut.
“Ha-hamil! Sa-saya hamil?!” kata Safira, tak percaya.
Oma Halimah kembali menarik tangan Safira keluar dari ruangan obgyn. Tiba di luar, Oma Halimah sedikit terkejut ketika mendapati Adam dan Safina sedang berdiri di luar.
“Hubungi ayahmu! Bubarkan semua tamu undangan!” perintah Oma Halimah kepada Safina.
“Ta-tapi, Oma?” tanya Adam, heran.
Oma Halimah menghampiri Adam. “Nak Adam, maafkan Oma yang tidak bisa menjaga cucu Oma sendiri. Pulanglah! Katakan kepada orang tua kamu, jika pernikahan ini dibatalkan. Oma tahu, Oma telah membuat kamu dan keluargamu menanggung malu dengan gagalnya pernikahan kalian. Namun, Oma tidak bisa lebih menanggung malu lagi, karena harus menyerahkan wanita bekas untuk menjadi istri kamu," tutur Oma Halimah.
Jleb!
Wanita bekas?! batin Safira sembari menoleh ke arah neneknya.
Ya, tanpa Oma Halimah sadari, ada hati yang terluka akibat ucapannya. Safira pun hanya bisa menundukkan kepalanya dalam ketidakmengertian. Dia sendiri merasa heran, bagaimana mungkin dia bisa hamil jika dia merasa tidak pernah melakukan hubungan badan dengan laki-laki mana pun.
Tiba-tiba saja ....
“Hummpphh!” Safira membekap mulutnya dengan kedua tangan. Sejurus kemudian, dia segera berlari menuju toilet rumah sakit.
“Hooeeekkk….hooeeekkk….hooeeekkkk!”
Kembali Safira memuntahkan cairan bening yang terasa masam di mulutnya. Entah berapa lama dia muntah. Kepayahan telah menderanya. Kerongkongannya telah begitu kering, mulutnya terasa pahit. Hingga sesaat setelah merasa perutnya sudah tidak bergejolak lagi, Safira membuka kran air dan membasuh mulutnya.
Ya Tuhan ... benarkah aku hamil? batin Safira, menatap wajah sayunya di depan cermin wastafel.
Setelah mendapatkan sedikit kekuatan, Safira pun keluar dari toilet. Di depan koridor toilet, Safina telah berdiri dengan tatapan cemas.
"Kamu enggak apa-apa, Fir?" tanya Safina.
Safira mendongak. Senyum tipis tersungging di kedua sudut bibirnya. "Aku baik-baik saja, Fin," sahutnya.
"Sini aku bantu," lanjut Safina seraya merangkul kedua pundak Safira dan memapahnya.
Entah apa yang terjadi kepada sepupunya itu.
🌷🌷🌷
Di kediaman Oma Halimah.
Plakk!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi putih nan mulus milik Safira.
“Katakan, siapa yang telah menghamili kamu ?” teriakan Oma Halimah menggema di ruang keluarga.
Safira hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Plak!
Kembali Oma Halimah menampar Safira, hingga kali ini, Safira pun jatuh tersungkur di lantai. Oma Halimah berjalan menghampiri Safira. Tangannya mencengkeram kedua rahang cucu sulungnya.
“Katakan, Fira! Siapa laki-laki itu! Siapa laki-laki yang telah menyentuhmu?” tanya Oma Halimah, geram.
“Ma-maaf, Oma, ta-tapi Fira benar-benar tidak tahu siapa laki-laki itu,” jawab lirih Safira.
Oma Halimah mendorong wajah Safira hingga tubuh Safira terjengkang ke belakang.
“Omong kosong apa ini Safira!” ucapnya. “Memangnya berapa banyak laki-laki yang telah meniduri kamu sampai kamu tidak tahu siapa ayah dari janin kamu, hah?!” kembali Oma Halimah berteriak.
Safira menggeleng-gelengkan kepalanya, “Tidak Oma, bukan begitu! Sumpah Demi Allah, Safira merasa, Safira tidak pernah melakukan perbuatan terkutuk itu. Fira masih punya iman, Oma. Fira nggak mungkin berbuat zina!” balas Safira berusaha membela diri.
“CUKUP SAFIRA ANINDHITA!” teriak Oma Halimah semakin keras. “Sampai kapan kamu akan mengelak, heh? Masih bisa kamu mengelak? padahal buktinya sudah ada di hadapan kita semua. Apa kamu pikir, kamu itu Siti Maryam, yang bisa hamil tanpa disentuh!” geramnya.
Safira diam. Apa yang diucapkan Oma Halimah memang benar. Sekuat apa pun dia mengelak, tapi janin yang berada dalam kandungannya, merupakan bukti nyata jika Safira pernah melakukan hubungan badan dengan seorang pria. Tapi siapa pria itu? Bahkan Safira sendiri tidak pernah ingat kapan, di mana dan bersama siapa dia melakukan hubungan terlarang itu.
“Diaaaah !” teriak Oma Halimah.
Seorang ibu paruh baya, datang tergopoh-gopoh menghampiri Oma Halimah.
“Iya, saya, Nyonya !” ujar Bik Diah, asisten rumah tangga di kediaman Oma Halimah.
“Sudah kamu bereskan semua pakaiannya?” tanya Oma Halimah, dingin.
“Su-sudah, Nyonya," jawab Bik Diah.
“Keluarkan sekarang juga, dan lempar keluar rumah!” titah Oma Halimah.
“Ba-baik, Nyonya," sahut Bik Diah.
Perempuan paruh baya itu pun kembali ke atas dan memasuki kamar Safira. Tak lama kemudian, Bik Diah menuruni anak tangga seraya menarik sebuah koper besar di belakangnya. Membuat si pemilik koper mengernyitkan kening.
"Ma-mau Bibik apakan koler Fira?" tanya Safira.
Bik Diah tidak menjawab, hanya tatapannya saja terlihat sendu. Tiba di anak tangga terakhir Bik Diah terlihat menitikkan air mata.
"Maafkan Bibik, Non," ucapnya seraya berlalu melewati Safira begitu saja. Tiba di teras depan Bik Diah menyimpan koper Safira di sana.
Oma Halimah kembali menyeret Safira keluar rumah.
“Enyah kamu dari sini, Fira! Jangan pernah injakkan kakimu di rumah ini lagi! Aku tidak sudi mengakui kamu sebagai cucuku lagi. Pergi!” usir Oma Halimah seraya mendorong tubuh Safira hingga terjerembab ke belakang.
Mulut Safira hanya bisa menganga. Dia benar-benar tidak percaya mendapatkan perlakuan buruk dari keluarganya. Neneknya tengah mengusirnya, tapi tak ada satu pun keluarga yang membelanya saat ini. Termasuk sepupunya.
Safina, sepupu yang selalu dia bela, hanya mampu diam melihat perlakuan neneknya terhadap Safira. Dengan berat hati, Akhirnya Safira pergi dari rumah yang selama 23 tahun ini dia tempati.
Tiba di luar gerbang, Safira membalikkan badan. dia menatap sayu bangunan tua yang sudah menjadi tempat berlindungnya selama ini. Janur kuning yang tengah melambai-lambai tertiup angin, menjadi saksi bisu kepiluan yang harus dia alami. Dia tidak pernah mengerti, kenapa Tuhan mengujinya sehebat ini?
Menyadari nasibnya yang sudah tak memiliki keluarga, Safira akhirnya melangkahkan kaki menyusuri jalan raya. Beruntungnya, perumahan tempat Safira tinggal, merupakan perumahan para kaum elite. Hingga tak satu pun warga perumahan yang berniat untuk menanyakan kegaduhan di rumah besar Oma Halimah.
🌷🌷🌷
Sekitar pukul 14.00, Safira tiba di TPU tempat di mana kedua orang tuanya dimakamkan. Dia kemudian bersimpuh di atas kuburan ayah dan ibunya yang berdampingan.
“Ayah, Ibu ... kenapa kalian tega meninggalkan Fira sendirian di dunia ini! Ke-kenapa saat terjadi kecelakaan itu, kalian tidak membawa Fira juga? Agar Fira bisa ikut bersama kalian. Fira nggak sanggup, yah, bu. Ba-bagaimana sekarang Fira harus menjalani kehidupan ini, Yah, Bu? Fira enggak punya siapa-siapa lagi. Fira sebatang kara, sekarang. Huhuhu ….”
Safira menangis tersedu-sedu di depan makam kedua orang tuanya.
“Fira bersumpah, bu! Demi Tuhan, Fira tidak pernah melakukan hubungan terlarang itu. Fira sendiri tidak tahu, kenapa Fira bisa hamil, bu. Sekarang, apa yang harus Fira lakukan? Fira tidak menginginkan anak ini, bu. Gara-gara anak ini, pernikahan Fira sama mas Adam hancur. Fira membencinya, bu! Fira sangat membenci anak ini!” ucap Safira seraya memukul-mukul perutnya dengan kedua tangannya.
Safira terus menangis di atas pusara kedua orang tuanya. Hingga akhirnya, Safira merasa lelah dan terkulai di samping pusara sang ibu. Tubuhnya mulai lemas. Tiba-tiba saja, perut Safira kembali bergejolak. Wanita bertubuh semampai itu pun segera berlari ke tepi bukit untuk memuntahkan isi perutnya.
"Hoeeek....hoeek....hoeeek"
Tak henti-hentinya Safira muntah. Namun, sebanyak apa pun yang dimuntahkannya, hanya cairan bening saja yang keluar dari mulut Safira. Setelah puas mengeluarkan isi perutnya, Safira kemudian bersandar di bawah sebuah pohon akasia yang cukup besar.
Kedua matanya menatap lurus anak sungai yang mengalir di bawah bukit. Pandangan Safira menyusuri anak sungai tersebut hingga bermuara pada sebuah sungai yang cukup lebar dan panjang. Arus sungai itu terlihat begitu deras.
Entah apa yang merasuki pikiran Safira. Hingga sedetik kemudian, Safira mulai beranjak dari tempat duduknya. Perlahan, Safira berjalan menuruni bukit yang cukup terjal. Tiba di bawah, dia mulai berlari kecil menuju sungai tersebut.
Pergerakan Safira semakin melemah. Dengan langkah terseok-seok karena merasakan lelah di tubuhnya, Safira akhirnya tiba di tepi sungai. Dia menatap riak air yang semakin lama semakin deras dan berbuih.
Sejenak Safira memejamkan kedua matanya. Jantungnya berdegup sangat kencang. Namun, pikirannya benar-benar gelap. Dia merasa sudah tidak memiliki jalan keluar lagi untuk persoalan yang sedang dihadapinya saat ini
“Ayah, ibu ... tunggu Fira,” gumam Safira seraya menjatuhkan tubuhnya di atas riak air yang semakin menggumpal.
“Eh, awas!"
Byur!
Teriakan seseorang tidak mampu mencegah tubuh Safira yang sudah terhanyut dan tergulung riak air sungai.
Sementara, sekitar seratus meter dari tempat Safira menjatuhkan tubuhnya ke sungai, seorang pria paruh baya berteriak keras untuk berusaha mencegah apa yang akan dilakukan Safira.
Namun, sayangnya pikiran Safira telah gelap. Telinganya seakan tuli hingga tak mampu mendengarkan apa pun lagi. Safira pun menceburkan dirinya ke dalam sungai.
"Hup!"
Dengan sigap, pria paruh baya itu berlari mengikuti arus sungai yang tengah membawa tubuh Safira menjauh. Setelah beberapa meter terseret arus, tiba-tiba tubuh Safira tersangkut di dahan pohon tumbang yang mengarah ke sungai.
Pria paruh baya itutu segera melompat dan berenang ke tengah untuk menarik tubuh Safira. Setengah jam berjuang melawan arus air sungai, akhirnya pria tua itu berhasil menarik tubuh Safira ke tepi sungai.
Perawakannya yang masih tegap, tentunya tidak merasa kesulitan untuk menggendong tubuh semampai Safira. Dengan sekali angkat, Pria itu pun memangku Safira ala bridal Style dan membawanya ke rumah.
Tiba di rumahnya, pria paruh baya itu merebahkan tubuh Safira di atas kasur kecil. Setelah itu, dia keluar untuk menemui tetangganya.
Tok-tok-tok!
"Iya, sebentar!"
Terdengar teriakan seorang wanita dari dalam rumah yang pintunya sedang diketuk oleh pria paruh baya tersebut. Tak lama kemudian, pintu rumah sederhana itu terbuka lebar.
"Bapak?" seru seorang wanita yang usianya sudah memasuki setengah abad. "Kenapa Bapak basah kuyup begitu?" tanyanya.
"Ceritanya panjang, Cum. Datanglah ke rumah dan bawalah salah satu pakaian terbaik kamu. Seseorang sedang membutuhkan bantuan kamu di rumahku!" titah pria paruh baya itu.
"Baik, Pak."
Sesaat setelah orang yang diperintahkan menyanggupi perintahnya, pria itu pun kembali ke rumah.
Di dalam kamar, Bik Cucum mengambil salah satu pakaian terbagus yang dia miliki. meskipun merasa heran dengan perintah majikannya tapi Bik Cucum tetap pergi ke rumah majikannya.
Tiba di rumah, Bik Cucum diperintahkan untuk memasuki kamar. Sejenak, dia terpaku melihat seorang gadis terbaring dengan pakaian yang basah kuyup. Sedetik kemudian, Bik Cucum pun mulai bisa mencerna apa yang diperintahkan majikannya tadi.
"Tolong ganti pakaiannya, Cum!"
🌷🌷🌷
Tengah malam, Safira mulai membuka matanya. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang tampak asing. Kedua matanya menangkap bayangan seorang pria yang tengah tertidur dengan posisi duduk di atas sofa kecil.
Safira pun mulai bergerak. Sayangnya, pergerakannya menimbulkan bunyi decitan ranjang yang baut-bautnya mulai longgar. Hingga pria paruh baya itu pun mengerjapkan matanya.
“Kau sudah sadar, Nak?” tanyanya penuh kelembutan.
“Si-siapa Anda?” tanya Safira, cemas. “Di-di mana aku? A-apa yang terjadi padaku?” imbuhnya.
“Namaku Rahadi, tapi kamu bisa memanggilku Pak Hadi. Saat ini, kamu sedang berada di rumahku. Tadi siang, aku menyelamatkan kamu dari tindakan bodoh yang ingin mengakhiri hidupmu,” jawab Pak Hadi.
“Kenapa kau menyelamatkan aku? Kau tidak berhak menyelamatkan hidupku! Aku mau mati! Akuu tidak ingin hidup lagi! Aku ingin bertemu dengan kedua orang tuaku. Biarkan aku mati!” teriak Safira, histeris. Dia mulai bangun dan beranjak dari atas ranjang.
"Cukup, Nak! Tenanglah!" kata Pak Hadi mencoba menekan kedua bahu Safira agar Safira kembali duduk di ranjangnya.
"Tidak! Aku tidak mau hidup lagi! aku ingin mati saja!" Kembali Safira berteriak sembari terus meronta.
"Apa kamu pikir, mati bisa menyelesaikan permasalah yang kamu hadapi, hah!" teriak Pak Hadi.
"Lepaskan aku! Biarkan aku mati! Biarkan aku menyusul kedua orang tuaku, setidaknya hidupku tidak akan menjadi gunjingan orang jika aku mati!"
Plak!
Karena tidak bisa menenangkan Safira, pria paruh baya itu pun menampar gadis muda yang tengah histeris.
“Dengar, Nak! Aku memang tidak pernah tahu apa yang menjadi masalahmu, tapi aku tanya satu hal padamu. Apa dengan kematianmu, kamu bisa menyelesaikan masalah? Apa Tuhan akan meridhoi orang yang bunuh diri, hah ?” tanya Pak Hadi penuh penekanan.
Safira menangis. Dia sudah tidak punya kekuatan untuk melawan dan memberontak. Mungkin memang benar apa yang telah dikatakan pria paruh baya itu. Mengakhiri hidup bukanlah jalan yang terbaik.
"Aaargh!"
Tiba-tiba Safira berteriak keras. Sedetik kemudian, dia mulai menangis meraung-raung. Pak Hadi yang menyadari jika gadis yang ditolongnya tengah menghadapi beban berat, seketika merangkul tubuh gadis itu. Jiwa mulai tergelitik untuk memberikan perlindungan terhadap gadis itu.
"Menangislah, Nak! Tumpahkan semua beban di dalam hatimu. Bapak percaya, selalu ada jalan untuk setiap kesulitan," ucap Pak Hadi, mencoba memberikan kekuatan untuk gadis yang tidak berdaya itu.
Safira terus menangis. Dia memang tidak mengenal pria paruh baya itu. Namun, entah kenapa pelukannya terasa begitu hangat. Seperti pelukan seorang ayah yang selalu ingin melindungi putrinya. Cukup lama Safira menangis, hingga kumandang azan magrib menguraikan pelukan mereka.
"Ingatlah, semuanya pasti akan baik-baik saja," tegas Pak Hadi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!