Keesokan harinya, Safira bangun agak sedikit terlambat. Semalam, pukul 4 dini hari dia baru bisa memejamkan matanya. Karena itu, selepas shalat subuh, Safira kembali tidur. Pada akhirnya, Safira bangun kesiangan.
Tiba di kantor, Safira sudah disibukkan oleh pekerjaannya.
“Permisi, Bu! Ini agenda Ibu untuk hari ini," kata Sarah, sekretaris Safira.
Safira meraih notebook yang diserahkan sekretarisnya. Dahinya sedikit berkerut melihat schedule poin tiga yang berada di notebook itu.
“Haruskah kita makan siang di luar?” tanya Safira seraya menyerahkan kembali notebook tersebut kepada sekretarisnya.
“Iya, Bu. Tuan Yosef sendiri yang meminta kita melakukan penandatanganan kontrak sambil makan siang,” jawab Sarah.
“Hhhh ....”
Safira hanya mampu menghela napasnya. Jika bukan karena pekerjaan, dia enggan sekali untuk berbasa-basi melakukan hal yang tidak penting menurutnya.
Padahal hari ini aku berencana untuk mengajak bapak dan kedua anakku makan siang di luar. Ah, untunglah aku belum mengajak mereka. Kalau sudah, mau ditaruh di mana muka aku. Bapak pasti akan menganggap aku hanya ingin mempermainkan perasaan anak-anak saja, batin Safira.
“Baiklah, kamu boleh pergi, Sar!” perintah Safira kepada sekretarisnya.
Setelah sekretarisnya menghilang dari balik pintu, Safira pun kembali berkutat dengan laptop dan catatan kecilnya. Orderan barang-barang furniture semakin banyak. Safira kemudian mulai merekapnya untuk laporan akhir bulan ini.
Matahari terus merangkak, hingga tanpa terasa azan dzuhur dari sebuah masjid yang bersebrangan dengan kantor Safira, mulai terdengar berkumandang. Safira segera menghentikan pekerjaannya. Dia keluar dan pergi menuju mushola yang berada di lantai tempat ia bekerja. Safira hendak melaksanakan shalat dzuhur.
Selepas shalat, Safira kembali lagi ke ruangannya. Di depan ruangan tampak sekretarisnya yang sudah rapi hendak mengetuk pintu ruangannya.
“Sudah waktunya ya, Sar ?” tanya Safira.
Sarah terkejut mendapati atasannya yang sedang berdiri tak jauh di belakangnya.
“Eh, iya, Bu," jawab Sarah.
"Baiklah, aku simpan mukena ini dulu, tunggulah di lobi. Sebentar lagi aku turun," perintah Safira.
“Baik, Bu. Kalau begitu, saya duluan. Permisi!" pamit Sarah sambil membungkukkan badan.
Safira mengangguk. Sesaat kemudian, dia masuk ke ruangannya untuk menyimpan mukena dan mengambil tas tangannya. Semua berkas yang dibutuhkan telah dibawa oleh sekretarisnya. Sedikit memoleskan bedak di wajahnya, Safira pun kemudian turun.
Membutuhkan waktu sekitar 20 menit perjalanan dari kantor menuju restoran yang akan dijadikannya tempat bertemu dengan klien. Tiba di restoran, Safira segera memarkirkan mobil. Tak lama berselang, mereka memasuki restoran Chinese yang cukup mewah.
“Permisi Mbak, VVIP room atas nama Yosef Wicaksana di sebelah mana ya?” tanya Sarah kepada salah seorang pelayan yang berada di meja kasir.
“Oh, dengan Ibu Safira dari Rafila Furniture?” Sang pelayan malah balik bertanya.
Sarah tersenyum seraya mengangguk.
“VVIP nomor tiga, Nona,” jawab pelayan itu.
“Ah, terima kasih, Mbak," sahut Sarah.
“Sama-sama, Nona,” balas pelayan itu dengan ramahnya.
Setelah mendapatkan informasi, Sarah kemudian mengajak Safira untuk pergi ke VVIP room nomor tiga.
Tok-tok-tok!
“Permisi!” ucap Sarah seraya mengetuk pintunya.
“Masuk!” jawab seseorang di dalam ruangan.
Ceklek!
Sarah membuka pintu ruang VVIP itu. Tampak seorang pria berusia sekitar 45 tahunan yang berada di ruangan itu sendirian.
“Maaf, Tuan. Kami terlambat,” ujar Sarah begitu tiba di hadapan pria itu.
“Tidak apa-apa. Kebetulan kami juga baru sampai. Ayo, silakan duduk!” jawab sang pria seraya tersenyum penuh kharisma.
Sarah dan Safira duduk berhadapan dengan Tuan Yosef. Salah satu pemilik hotel mewah yang hendak memesan kerangka ranjang jati untuk fasilitas di hotelnya.
“Sebentar, ya. Sekretaris saya sedang pergi ke toilet dulu. Ayo, silakan pesan dulu makanannya, sambil menunggu sekretaris saya datang,” titah Tuan Yosef, ramah.
Tuan Yosef menekan dial service room. Tak lama kemudian tampak seorang wanita muda menghampiri mereka dan menyerahkan buku menunya.
Safira dan Sarah mulai memilih dan memesan menu yang akan mereka santap untuk makan siangnya.
“Aku pesan Char Kway Teow saja, Mbak," kata Sarah.
“Kalau Nona yang satunya lagi?” tanya pelayan.
“Hainan Chicken Rice," jawab Safira, datar.
“Baiklah. Mohon ditunggu sebentar, ya,” balas pelayan itu.
Setelah mengambil kembali buku menunya, pelayan tersebut pergi dari ruangan mereka. Beberapa menit kemudian, dia kembali untuk mengantarkan pesanan dan menghidangkannya di atas meja mereka.
Cuaca terasa sangat panas, karena itu Safira meraih ice lemon tea miliknya dan mulai meneguknya perlahan.
“Maaf menunggu lama,” kata seorang wanita seraya membungkukkan badan di belakang Safira.
“Uhuk-uhuk!"
Safira tersedak begitu mendengar suara yang tak asing di telinganya. Seketika Safira membalikkan badannya untuk melihat sang empunya suara.
“Adel!" pekik Safira, terkejut.
“No-nona Sa-fira!"
Wanita yang bernama Adel pun tak kalah terkejutnya melihat Safira yang tengah duduk bersama atasannya. Seketika wajahnya berubah pucat pasi. Perubahan wajahnya yang kentara, membuat Safira menaruh curiga terhadapnya.
“Ah, jadi Anda sudah mengenal sekretaris saya?” tanya tuan Yosef.
Safira langsung memalingkan wajahnya menatap rekan bisnisnya.
“Sekretaris Anda?” tanya Safira heran.
Hmmm, sejak kapan Adelia pindah ke negara ini. Bukan bermaksud merendahkan. Tapi sangat mustahil jika Adelia memiliki uang untuk pergi ke luar negeri. Kedua orang tuanya hanya seorang asisten rumah tangga di keluarga om Juna. Ah sudahlah, bukankah waktu begitu cepat berlalu, mungkin saja Adel memiliki nasib yang baik sehingga dia dapat pekerjaan di negeri ini, batin Safira tak ingin su'udzon.
“Bagaimana Nona Safira? Apa kamu mengenal sekretaris pribadiku?” tanya Tuan Yosef lagi.
Safira tersadar dari lamunannya.
"Ah ya, sekretaris Anda adalah teman kuliah saya dulu,” jawab Safira.
“Wah-wah-wah, ternyata dunia ini sempit sekali ya, Nona?” ujar Tuan Yosef.
Safira pun hanya tersenyum kecut mendengar gurauan Tuan Yosef. Pertemuannya dengan kawan sekampusnya membuat Safira mengingat kembali kejadian 6 tahun silam.
Saat itu, satu kelas sedang merayakan ulang tahun sang idol campus di sebuah club malam. Safira ingat betul jika Adelia adalah orang terakhir yang bertemu dengannya. Bahkan, dia juga yang telah memberikan segelas orange juice padanya. Setelah Safira menenggak minuman tersebut, Safira sudah tak ingat apa pun lagi.
Keesokan harinya saat dia terbangun, dia sudah berada di kamarnya. Dia bertanya pada Safina tentang apa yang terjadi padanya. Safina hanya bilang jika Safira diantar pulang oleh Adelia dalam keadaan sedikit mabuk. Meski Safira merasa janggal dengan semua kejadian itu, tapi dia tak pernah menaruh curiga terhadap siapa pun.
Rapat dimulai meski ada sedikit kecanggungan antara Safira dan kawan lamanya. Safira sangat senang bisa bertemu dengan orang yang dikenalnya di negara asing ini. Meskipun, benaknya masih bertanya bagaimana bisa Adel berada di sini.
Namun, sebaliknya dengan Adelia. Sepanjang rapat, sikapnya terasa berbeda. Kelihatan sekali jika Adelia gelisah dan gugup saat Safira memandangnya. Hal itu pun membuat Safira semakin curiga jika Adelia menyembunyikan sesuatu yang berhubungan dengannya.
Sebaiknya setelah selesai rapat, aku coba tanya Adelia tentang kejadian di ulang tahun Vino dulu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 314 Episodes
Comments
Muj Ran
nah betulkan ternyata Adel lah yg telah memberikan obat dalam minuman nya Fira
2024-03-24
2
Muj Ran
apakah Adel juga terlibat dalam kehamilan nya Fira ya...
2024-03-24
0
Nor Azlin
ini semua adalah rencana safina kerana dia mencintai Adam maka dia bersubahat sama Adelia buat menjebak safira ...dasar dua manusia iblis ni ...yang satu nya dibutakan kerana cinta & yang satunya dibutakan dengan uwang jutaan agar dia bisa kuliah di negara tetangga ...semoga kebenaran bisa diketahui melalui kejujuran Adilia juga deh...lanjutkan thor
2024-02-29
1