Ivan mengangkat belanjaan Shindy dan membayar semuanya.
"Emang apa sih kerjaan Rama sampai harus dirahasiakan seperti ini." gumam Shindy menatap heran ke arah Ivan
"Ayo." ajaknya singkat.
Shindy berjalan lebih dulu dan Ivan mengikuti dari belakang. Sekantong penuh makanan dan camilan diberikannya ke Shindy. Ivan kembali memegang kemudi dan melanjutkan perjalanan mereka.
"Ini saja yang kau beli?" tanya Rama
"Memangnya kenapa? Ini aja dibayarin kok sama temanmu!" ujar Shindy sengaja menekankan kata *Teman
"Dia bukan temanku." ketus Rama
Shindy menyadari bahwa Ivan mengamati mereka berdua dari kaca kecil di atasnya. Shindy tak bicara lagi. Mulutnya sedang sibuk mengunyah roti dengan selai serikaya kesukaannya. Shindy merasa heran, kenapa ketiga laki-laki ini tidak saling bicara atau bercanda seperti rekan kerja pada umumnya. Shindy hanya mengedikkan bahunya sambil melanjutkan makannya.
Singkatnya 12 jam telah terlewati begitu saja. Kali ini Shindy sudah masuk di pulau lain setelah setengah jam menghabiskan waktunya di atas kapal.
"Ram, kamu nggak lapar? Sedari pagi kita belum makan nasi." ujar Shindy lebih seperti keluhan
Ivan melirik ke arah Rama, seolah menunggu perintah darinya.
"Kau bisa masak?" tanya Rama
Shindy menggeleng. Bagaimana anak yang tidak pernah ke dapur itu bisa memasak?
"Biar aku yang masakkan. Sebentar lagi kita sampai di rumah tuan Tommy." sahut Ivan
"Sudah kuduga sepertinya, kalian cocok. Kenapa tidak menikah saja?" tanya Rama dengan raut tidak senang.
"Aku istrimu Ram!" ujar Shindy menegaskan siapa dirinya.
"Bukan lagi sekarang. Di pulau ini, lakukan apapun yang kau inginkan. Asal, lahirkan bayimu dengan selamat." ujar Rama tanpa menoleh ke arah Shindy
"Kenapa aku harus melahirkannya, jika kau sendiri tidak menginginkan bayi ini?" tanya Shindy mencoba memancing Rama
Rama menatap tajam ke arahnya. "Ada seseorang yang lebih menginginkannya daripada aku."
Ckiiiit... Mobil terhenti tiba-tiba.
"B*doh apa yang kau lakukan!" teriak Rama
"Itu hanya kucing Van! Kau hampir membunuh kita semua karena kucing s*alan itu." ujar Bowo menimpali
"Nyawa kucing itu sangat berharga. Dia sedang hamil besar. Kita tidak bisa menabraknya, karena kita akan membunuh anaknya juga!" terang Ivan dengan senyuman aneh
"Kucing? Kau menabrak kucing Van?" pekik Shindy mulai panik
"Banku sama sekali tidak menyentuhnya." Ivan menekan gas dengan kencang. Tubuh Shindy dan Rama terdorong pada sandaran mobil.
"S*alan kau! Kau benar-benar gila!" umpat Rama
"Setelah ini aku tidak akan memperkerjakanmu lagi!" tukas Rama yang dibalas dengan seringaian Ivan
"Aku bekerja pada Tuan Tommy bukan padamu Ram! Jangan lupakan itu."
Shindy menatap heran keduanya. "Ada apa dengan mereka?"
Mobil itu terparkir di sebuah rumah dengan dinding kaca yang tebal menghadap ke jalanan. Taman bunga luas di sisi-sisinya dan pagar besi yang tinggi dan tertutup sepenuhnya.
"Kita akan tinggal disini?" tanya Shindy melihat sekelilingnya.
"Menurutmu?" ujar Rama acuh dan membuka kunci rumah itu
Ivan mengeluarkan dua koper besar dari bagasi mobil dan membawanya masuk ke dalam rumah. Shindy yang masih tertinggal di luar berusaha mengimbangi langkah Ivan.
"Ini rumah Rama?" tanya Shindy
"Ini hanya fasilitas yang tuanku berikan pada suamimu." ujar Ivan
"Kau belum menjawabku Van. Apa pekerjaannya?" tanya Shindy
Ivan menghentikan langkahnya. Dua koper itu dijatuhkan ke lantai. Shindy menatap dalam kedua mata Ivan. Cokelat terang, mirip seperti mata Andrian.
"Woy! Cepat masuk!" teriak Rama dari dalam
Shindy mengerjapkan pandangannya dan berlari menuju ke arah Rama.
"Pekerjaan suamimu adalah seorang pengedar." gumam Ivan yang tidak sempat di dengar Shindy
"Ayo masuk Van. Kau harus masak sesuatu. Aku sudah lapar." seloroh Bowo menepuk bahu Ivan dari belakang.
Ivan mengangkat kedua koper itu kembali dan mengikuti Bowo masuk ke dalam rumah.
"Ram, dimana kamarku?" tanya Shindy sedikit kewalahan mengejar Rama di rumah besar itu.
"Ada empat kamar di rumah ini. tiga di atas dan 1 di bawah. Kau boleh memilih sesukamu Shin asal jangan pernah membuka ruang kerjaku!" ujar Rama
"Apa maksudmu kita tidak tinggal sekamar?" tanya Shindy menangkap maksud lain dari pernyataan Rama
Rame membalikkan badannya. "Kau yakin ingin tidur sekamar denganku?"
Shindy bergidik ngeri membayangkan bagaimana Rama menyakitinya tempo hari. Seketika kepala itu menggeleng.
"Jadi jangan banyak bicara dan bersikap seolah kau penting bagiku!" maki Rama.
Rama memberikan kode tangan pada Bowo yang membawa sebuah koper kotak berwarna hitam agar mengikutinya. Shindy berniat mengikuti Rama, namun Ivan mencegahnya.
"Kamarmu sebelah sini." ujar Ivan membalikkan arah jalan Shindy
Sebuah pintu bercat putih tampak di hadapannya. Ivan membukanya dan memasukkan koper milik Shindy ke dalam kamar. Shindy merebahkan diri di ranjang besar berseprei putih dalam kamarnya. Ivan membuka kelambu abu dan pantulan cahaya matahari menerangi ruangan yang sedikit gelap itu.
Ivan menatap Shindy yang terbaring dengan memejamkan matanya. Gadis ini tampak cantik di matanya. Bibir tipis dan dagu lancip membuatnya terlihat imut. Tanpa sadar Ivan tersenyum. Sepersekian detik. Ekspresinya kembali kaku.
"Boleh ku tanya sesuatu?"
Shindy membuka matanya. "Apa?"
"Apa kau sedang hamil?" tanya Ivan
Shindy hanya mengangguk.
"Kau hamil anak Rama?" Ivan mencoba memastikan lagi
"Iya, tapi dia tidak mau mengakuinya. Jika papaku tidak memaksanya, dia tidak akan mau menikahiku." ujar Shindy mengenang kejadian yang dia alami beberapa hari lalu
"Kau beruntung." ujar Ivan dengan ekspresi sedih di mukanya. "Setidaknya kau tidak dibunuh seperti kakakku." lanjutnya dalam hati
"Van.. Ivan.." panggil Shindy pada Ivan yang tampak melamun
"Aku bertanya! Kenapa kau bilang aku beruntung?" tanya Shindy
Ivan tampak gelagapan. "Lupakan. Aku harus ke dapur." ujar Ivan berjalan meninggalkannya
"Tunggu Van!" Shindy bangkit dan menghadang Ivan
"Hanya kau yang bisa ku ajak bicara, jadi tolong jawab aku. Kenapa kau seperti menyembunyikan sesuatu tiap bicara denganku? Apa kau tahu yang sebenarnya tapi kau tidak mau memberitahunya?" tanya Shindy
"Apa yang kau sembunyikan? Apa kau juga punya rahasia seperti Rama?." ujar Shindy
Ivan menatap tajam ke arah Shindy. Ekspresinya datar persis seperti Rama. Seketika Shindy merasa takut. Perlahan memundurkan tubuhnya.
"Tidak masalah jika kau.."
"Aku akan memberitahumu, setelah aku memastikan, kau ada di pihak siapa?" potong Ivan sambil melanjutkan langkahnya.
"Kenapa aku harus memilih? Bukankah kalian ada di satu pihak?" tanya Shindy heran
"Yang kau lihat bukan segalanya Shin. Aku dengan misiku. Dan Rama dengan keegoisannya sendiri. Kau akan tahu nanti, siapa yang dapat kau percayai disini." kalimat menggantung itu menutup pembicaraan Ivan dan Shindy
"Harusnya aku tidak pernah bertanya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments