Tok.. Tok.. Tok..
Ketukan pintu terdengar berulang-ulang, memaksa Shindy untuk bangun dari tidurnya. Kedua matanya bengkak. Wajahnya tampak pucat tanpa rona merah di pipi seperti biasanya. Ya, terlalu banyak menangisi nasib. Dengan malas Shindy membukakan pintu.
"Diminum Non. Nyonya yang meminta saya untuk membuatkan ini." ujar Bi Ningsih
Shindy tersenyum, masih ada yang peduli dengannya dan bayi yang dikandungnya.
"Terima kasih Bi." ujar Shindy mengambil segelas susu yang disodorkan Bi Ningsih
"Segera habiskan Non. Nona sudah ditunggu di ruang tengah sama Tuan." ujar Bi Ningsih
"Oke Bi. Sebentar lagi saya kesana." ujar Shindy menutup kembali pintu kamarnya.
Setelah menenggak habis minuman itu. Shindy bergegas masuk ke kamar mandi. Pak Anton tidak suka menunggu. Baru selesai mandi dan berganti pakaian, ketukan kembali terdengar di pintunya. Sudah pasti papanya meminta seseorang untuk memanggilnya lagi.
Shindy melangkah ke arah pintu dan membukanya.
"Non, sebaiknya segera ke ruang tengah. Tuan sudah menunggu lama." ujar Pak Parmin
"Iya Pak." Balas Shindy singkat dan menutup pintu di belakangnya.
Di ruang tengah, tampak Pak Anton, Bu Wulan, Pak Beno dan juga Rama. Tidak seperti kemarin, Rama sudah menggunakan pakaian bersih dan duduk di sebelah Pak Beno. Rama tampak tampan walau lebam di tubuhnya masih terlihat. Baginya Rama jauh lebih tampan daripada Andrian. Hanya di mata Shindy tentunya.
Shindy sedikit membungkukkan badan dan melewati Pak Beno juga Rama. Dia duduk di sebelah calon suaminya. Tatapan Rama dingin. Dengan wajah kaku yang sulit diartikan. Shindy mencoba mengabaikannya dan bertanya. "Ada apa memanggil Shindy kemari Pa?"
"Kenapa lama sekali!" tanya Pak Anton
"Shindy.. Baru bangun Pa. Jadi Shindy mandi dulu tadi." terang Shindy
Pak Anton menyodorkan dua map kuning pada mereka.
"Isi ini! Lengkapi berkasnya dan tanda tangani!" titah Pak Anton
Shindy mengambil bolpoin yang diberikan Pak Anton, dibukanya map yang berisi berkas pengajuan pernikahan. Shindy pernah mengisi ini sebelumnya. Hanya saja tidak dalam tekanan seperti sekarang.
Sementara Rama hanya diam. Sama sekali tidak berniat melihat isi dari map di depannya.
"Heh! Isi itu!" bentak Pak Anton
Tampak Rama mendengus dan membuka kasar map di depannya. Tak ingin babak belur seperti kemarin, Rama pun akhirnya menuruti Pak Anton.
Suara bel rumah berbunyi beberapa kali. Dengan tergopoh Bibi Ningsih berlari untuk membukakan pintu.
"Tuan, Pak Mudin sudah datang. Saya memintanya menunggu di ruang tamu." ujar Bi Ningsih saat kembali
Pak Anton berjalan ke arah Shindy dan Rama. Menarik kedua map di hadapan mereka dan memeriksanya. Setelah semua datanya diisi dengan benar. Pak Anton membawa berkas itu untuk di serahkan ke Pak Mudin.
Tampak Bu Wulan juga berdiri, bukan mengikuti Pak Anton tapi berjalan ke belakang.
"Ayo, kita tunggu papamu di ruang makan. Ajak dia juga." ujar Bu Wulan melirik sekilas ke arah Rama
"Ayo kita makan Ram." ujar Shindy
Rama tak merespon dia hanya berdiri dan mengikutiku. Tentunya dalam pegangan Pak Beno. Benar-benar tidak ada kesempatan kabur untuknya.
Aroma ayam bakar madu kesukaan Shindy membuat perut Shindy semakin lapar. Ditambah oseng tauge udang dengan saus tiram khas masakan Bu Wulan. Shindy hanya bisa menelan ludahnya.
"Kamu sedang hamil, pasti mual dan sulit untuk makan. Jadi, mama masakin ini buat kamu." ujar Bu Wulan
Meski tatapannya dingin, sebenanya Bu Wulan masih memperhatikan putrinya. Memang dulunya Bu Wulan sangat menyayangi Shindy. Tak jarang Bu Wulan bertengkar dengan Pak Anton hanya karena membelanya. Namun sejak tragedi itu sikapnya berubah.
Pak Anton ikut bergabung ke meja makan.
"Makanlah. Kalian berdua tidak boleh sakit! Besok kalian akan dinikahkan. Tidak ada resepsi! Hanya ijab sah di rumah ini." tegas Pak Anton
Mereka pun makan dalam diam. Rama menyantap makanannya tanpa minat. Entah apa yang dia pikirkan, dia tampak jengkel. Shindy mengambilkan beberapa potong udang untuk Rama, karena dia tahu Rama suka udang. Rama hanya menoleh sekilas ke arah Shindy lalu menyendokkan udang ke mulutnya. Shindy tersenyum, akhirnya Rama makan juga.
"Shindy, setelah ini, ikut mama belanja untuk acaramu besok. Ajak juga calonmu." pinta Bu Wulan seolah enggan menyebut nama Rama
"I..iya Ma." Shindy menoleh ke arah Rama yang tak menanggapi Bu Wulan
"Beno! Ajak Pak Min ikut bersamamu! Jaga dia jangan sampai lolos!" perintah Pak Anton
"Dia nggak akan kabur Pa. Berkasnya sudah dibawa Pak Mudin kan, jadi kami pasti akan menikah besok." bela Shindy merasa kasihan dengan Rama yang harus dikawal kemana-mana
"Kamu tahu apa! Bisa saja kan dia mencari kesempatan disaat kalian lengah!" ujar Pak Anton
"Kamu nggak ingin pergi kan Ram?" tanya Shindy
Rama menoleh ke arah Shindy. Dia tersenyum. Bukan. Dia menyeringai. Bibirnya mendekat ke telinga Shindy.
"Kita akan pergi sebagai suami istri dan tinggalkan rumah orang laknat ini bersama-sama." bisik Rama dengan nada lembut yang dibuat-buat. Kalimat itu harusnya membuat Shindy bahagia namun, Shindy menangkap maksud lain dari Rama.
"Apa yang Rama rencanakan?" batinnya membuat keningnya berkerut
"Ayo bersiap. Kita akan segera berangkat " ajak Bu Wulan menyudahi sarapannya.
Shindy menarik tangan Rama. "Ikut aku Ram. Kita harus bicara."
Rama mengikuti Shindy masuk ke dalam kamarnya. Begitu pula Pak Beno.
"Tunggu di depan saja Pak. Saya mau bicara berdua." Shindy menutup pintunya
"Jangan ditutup non. Saya takut terjadi apa-apa sama non Shindy." pinta Pak Beno.
Shindy menoleh sekilas ke arah Rama yang berdiri tak jauh darinya.
"Pegangi saja pintunya Pak. Tidak saya tutup rapat." pinta Shindy lalu masuk ke kamarnya
"Ram, apa maksud perkataanmu tadi?" tanya Shindy
Rama tersenyum Shindy.
"Shindyku sayang, kenapa kamu jadi bodoh begini? Apa karena lelaki kemarin?" tanya Rama meremehkan
"Apa maksudmu! Bodoh apanya! Aku hanya bertanya, maksud ucapanmu tadi. Kamu nggak mungkin kan, tiba-tiba setuju menikah dan ngajak tinggal bareng, keluar dari rumah ini? Padahal kemarin, kamu nolak dengan keras untuk menikah! Apa tujuanmu?" tanya Shindy penuh selidik
"Ternyata kamu cukup pintar juga ya? Hahaha tapi tetap saja kamu mudah dibodohi." balas Rama
PLAK..
Shindy menampar keras ke arah Rama. Rama tertawa meledek.
"Jangan main-main denganku sayang. Atau kau tanggung sendiri akibatnya!" ancam Rama mencekal pergelangan tangan Shindy
"Lepasin." Shindy mencoba meronta
"Dengar baik-baik. Pernikahan ini kamu yang memintanya, bukan aku yang ingin menikahimu. Jadi bersikap baiklah padaku. Karena aku bisa saja membuangmu kapanpun aku mau." ujar Rama mendorong kasar tubuh Shindy
Shindy terjatuh di kasur. Rama masih menatapnya tajam.
"Shin, ayo kita pergi sekarang." suara Bu Wulan terdengar
"I.. iya ma." balas Shindy begitu pintu terbuka
"Kau ikut juga!" ujar Bu Wulan pada Rama
Shindy menggandeng lengan Bu Wulan. Sedikit merasa takut dengan ancaman Rama. Sementara Rama berjalan lebih dulu bersama Pak Beno. Rama sedikit menoleh ke arah Shindy.
"Shin kemarilah." panggilnya.
Shindy mengernyit heran. Baru saja dia mengancamnya, kenapa sekarang memintanya mendekat. Shindy maju selangkah.
"Mari bersenang-senang dan nikmati permainan ini." ujar Rama sengan seringaian licik di wajahnya.
Shindy terhenti. Kecemasan mulai terlihat di wajahnya. "Bagaimana jika Rama berbuat macam-macam saat aku hanya berdua dengan Mama?" gumamnya
"Pak Parmin nggak ikut Ma!" tanya Shindy tiba-tiba
"Sudah di mobil Non." sahut Pak Beno
Shindy sedikit lega, meski jauh di dalam hatinya masih ada keraguan. Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi. Semoga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments