Shindy baru selesai mengemasi barangnya. Kemurungan tak beranjak dari wajahnya. Kedua matanya sembab, bahkan sisa air matanya masih terlihat.
"Kau sudah siap istriku?" sapaan yang paling dia benci pun terdengar.
"Apa kau tidak melihatnya Ram? Semua barangku sudah masuk ke dalam sini." terang Shindy menepuk pelan kopernya
"Ayo kita pergi!" ajakan Rama terdengar seperti perintah bagi Shindy
"Bawa koperku Ram!" ujar Shindy
Rama berbalik. " Aku? Membawanya?"
"Siapa lagi! Aku wanita Ram, dan aku sedang hamil. Aku tidak boleh mengangkat yang berat-berat." ujar Shindy
"Lalu apa gunanya papa tercintamu membayar p*mb*ntu di rumah ini?" tanya Rama berlalu tanpa berniat membantu Shindy
"Pak Min!" teriak Shindy
Istri Bu Ningsih itu datang dengan setengah berlari. "Tolong bawakan koperku ya!"
"Baik Non."
Shindy pun menyusul Rama keluar. Bu Wulan dan Pak Anton sudah menunggu di teras depan.
"Hati-hati ya Nak. Kabari jika kamu butuh sesuatu." ujar Bu Wulan seraya memeluk Shindy
"Shindy sayang Mama." ucapan itu tulus dia katakan. Sejak kecil, Bu Wulanlah yang selalu menyayanginya.
"Pa Shindy pergi dulu ya." pamit Shindy
"Iya." balas Pak Anton singkat
"Kami pergi dulu ya, bapak ibu mertua." pamit Rama dengan menahan senyum. Seolah perpisahan ini hanyalah sebuah lelucon baginya
Pak Anton dan Bu Wulan tak merespon ucapan Rama.
"Pak Min. Pastikan Shindy masuk ke dalam rumah dengan baik-baik saja ya." pinta Bu Wulan
"Baik Nyonya."
Shindy masuk ke belakang kemudi. Di sebelahnya ada Rama suaminya. Mobil hitam itu keluar halaman, menuju ke pusat kota. Apartemen Rama ada di pusat kota, terletak di deretan perkantoran dengan bangunan tinggi menjulang. Hanya setengah jam perjalanan mereka sampai.
Pak Parmin menurunkan kopernya dan ikut masuk ke dalam apartemen. Mereka bertiga melewati lobi dan naik ke dalam lift. Rama menekan angka 3. Karena kamarnya ada di lantai 3.
Setelah menyusuri lorong tampaklah no 206 yang Rama tinggali. Rama menempelkan cardlock di pintunya. Seketika pintu terbuka.
"Ini kopernya Den." ujar Pak Parmin menyerahkan koper Shindy
"Itu miliknya bukan milikku. Jadi suruh dia bawa sendiri!" ujar Rama tanpa menoleh
Shindy menatap tak percaya.
"Apa perlu saya bawakan masuk Non?" tanya Pak Parmin
"Nggak perlu Pak. Sudah sampai sini saja mengantarnya. Terima kasih ya." ujar Shindy sambil menarik masuk koper besarnya
Pintu apartemen tertutup otomatis. Dengan sedikit keberatan, Shindy menarik kopernya ke dalam kamar. Shindy menatap sekelilingnya. Baju kotor berserakan. Beberapa botol Wine kosong dibiarkan begitu saja di atas meja. Lantai keramik yang sepertinya tidak pernah dibersihkan terasa lengket di kaki Shindy.
"Besok saja aku bereskan. Aku capek banget." gumam Shindy meletakkan kopernya di ujung kamar.
Rama masih di dalam kamar mandi. Shindy menyusuri kamar Rama. Ada kaca besar yang mengarah langsung ke jalan. Shindy bisa menatap lalu lalang kendaraan dari sana. Memang ini bukan pertama kalinya Shindy kesini. Namun saat itu dia sedang mabuk, jadi tidak begitu mengamati tempat ini.
Sebuah tangan memeluknya dari belakang. Hembusan napas terasa di belakang tengkuknya. D*c*pan terdengar dari belakang telinganya. Shindy m*l*nguh merasakan s*ns*si yang Rama berikan. Shindy berbalik ke arah Rama.
"Apa maumu Ram?" seketika Shindy tersadar.
"Aku akan membahagiakanmu malam ini. Karena aku sedang baik jadi, mari kita lakukan." ujar Rama menggendong tubuh Shindy dan menghempaskannya ke ranjang.
Tubub kekar itu m*n*ndih Shindy. Tautan lembut bibir mereka menambah panasnya suasana. Tanpa sadar, tangan Shindy m*r*ba dada bidang Rama dan membuka handuk mandi yang Rama kenakan. Rama meng*c*p leher Shindy dan meninggalkan bekas kemerahan disana. Semakin turun, kancing kemeja Shindy terlepas satu per satu. Sesuatu kembali terjadi di dalam kamar itu.
Rama mengakhiri aktivitasnya dan menarik diri dari Shindy. Meninggalkannya begitu saja. Tanpa memeluk atau berc*mb* mesra seperti yang biasa pasangan lain lakukan. Seolah Shindy hanya wanita p*m*as saja untuknya. Shindy memunguti satu per satu pakainnya di lantai dan masuk ke dalam kamar mandi. Mengguyur tubuh lengket itu dengan air hangat dari kucuran shower. Setelah tubuhnya terasa segar, Shindy pun tertidur.
"Ram.. Rama." panggil Shindy tatkala dia membuka mata pagi itu.
Suaminya pergi sejak semalam dan belum kembali lagi. Shindy segera bangun. Mengingat banyak hal yang harus dia lakukan hari ini. Shindy membersihkan seluruh apartemen Rama. Mencuci baju suaminya. Menguras kamar mandi dan juga menatap bajunya dari dalam koper.
Shindy masuk ke dalam ruang ganti tempat pakaian Rama biasa diletakkan. Shindy mengelilingi tempat itu sejenak.
"Kok ada jarum suntik? Ini punya siapa ya?" tanya Shindy mengambil beberapa jarum suntik bekas pakai dengan cairan berwarna bening di botol kecil.
"Ini apa ya? Ngapain Rama nyimpan ginian?" tanya Shindy pada dirinya sendiri
"Aku buang aja kali ya. Gak ada fungsinya juga."
Shindy memasukkan semua benda itu ke dalam kantong plastik dan membuangnya ke tempat sampah bersama botol wine yang berserakan di meja.
"Akhirnya, kalau gini kan kelihatan kayak rumah. Nggak kayak kemarin. Mandi dulu ah."
Brak.. Brak..
Suara gaduh dan barang berjatuhan terdengar dari luar kamar mandi. Shindy yang panik pun segera mengakhiri mandinya. Shindy memakai piyama mandi dan masuk kembali ke dalam kamar.
"Kamu nyari apa sih Ram? Kok kamu berantakin semuanya. Aku udah capek loh bersihin rumah kamu seharian ini!" pekik Shindy begitu tahu barang-barang sudah berceceran di lantai
"Dimana jarum suntik yang aku taruh di meja ruang ganti?" tanya Rama dengan nada marah
"Aku buanglah! Lagian buat apa sih kamu nyimpen barang kayak gitu?" balas Shindy
"Aaarrgh." Rama mengerang marah
"Benda itu lebih berharga darimu b*doh!" teriak Rama tepat di muka Shindy
Shindy mengerjap. Terkejut dengan respon berlebihan dari Rama. Rama membanting tubuh Shindy ke atas kasur. Aura gelap menyelimuti Rama. Amarahnya memuncak seolah bersiap menerkam Shindy saat itu juga.
"Mau apa kamu Ram?" tanya Shindy yang mulai kepanikan
Rama berlutut di atas ranjang, melepas sabuk dari celananya. Dalam sekali tarikan sabuk itu sudah tergenggam di tangannya. Rama membuka tali piyama yang Shindy kenakan. Tubuh polos Shindy kembali terlihat. Shindy mencoba mundur menjauhi Rama. Dengan kasar, Rama menarik kedua kaki Shindy mendekat ke arahnya.
"Apa yang kau lakukan Ram?" tanya Shindy meronta berusaha melepaskan diri.
Rama mencekal kedua tangannya. "Lain kali bersikaplah sedikit lebih pintar. Jangan pernah menyentuh barangku!
CTAR.... Sabuk itu mendarat bertubi-tubi di tubuh Shindy. Shindy menggigit bibir bawahnya menahan sakit. Bekas kemerahan yang panjang dan menjalar di tubuhnya menjadi bukti perbuatan yang Rama lakukan. Shindy menangis dengan keras. Tak sanggup menahan pedih dari luka yang Rama berikan.
Puas meny*ks* Shindy, Rama melemparkan sabuknya asal. Tangan besarnya menarik kasar dagu Shindy untuk menghadap ke arahnya.
"Ini baru permulaan Shindy Paramitha. Dan kau hanya numpang tinggal di rumahku. Jadi, jangan bersikap semamumu seolah kau adalah tuan rumahnya. Satu lagi, barang yang kau buang lebih berharga dari hidupmu ini! Jika kau berani membuangnya lagi, nyawamu ada dalam genggamanku. Mengerti!"
Shindy mengangguk pasrah. Rama mengambil sabuknya dan memakainya kembali. Rama keluar kamar entah pergi kemana, Shindy tidak peduli. Shindy meluapkan tangisannya sendirian. Baru sehari tinggal bersama Rama, hidupnya sudah menderita. Bagaimana bisa dia bertahan sampai bayi ini lahir, jika besok saja dia tidak tahu masih hidup atau tidak?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments