Shindy melebarkan matanya. Terkejut dengan keputusan yang dibuat Bu Wulan.
"Haruskah Ma? Haruskah Shindy menyakiti Andrian dengan membatalkan pernikahan ini?" tanya Shindy
"Semua tergantung kamu Shin. Kamu bisa membatalkan penikahan ini atau mengorbankan anakmu!" ujar Bu Wulan
Jelas itu bukan pilihan. Jika dia batalkan, sudah jelas dia akan membesarkan anak ini sendiri. Rama tidak mau tanggung jawab. Dia pun akan diusir paksa dari rumah karena kehamilannya. Sedangkan jika Shindy menggugurkan anaknya, jelas dia tidak akan sanggup kehilangan. Belum lagi, jika nanti dia akan sulit mempunyai anak lagi. Shindy termangu cukup lama. Segala resiko hanya akan ditanggung sendiri.
"Pikirkan baik-baik Shindy. Atau jika memang kamu tidak sanggup memilih keduanya. Panggil Andrian kesini, jika dia mau menerima darah dagingmu maka percepat pernikahan ini! Jika tidak minta Rama datang untuk bertanggung jawab." jawaban itu terdengar dingin.
Tidak ada lagi Bu Wulan yang lembut dan selalu membelanya. Bu Wulan meninggalkan Shindy sendiri di ruang tengah. Shindy menangis penuh penyesalan. Namun nasi sudah menjadi bubur. Hancur lebur tak bersisa. Tidak akan kembali menjadi utuh seperti dulu. Shindy melangkah gontai masuk ke kamarnya. Dikuncinya pintu itu dari dalam. Shindy menangis sejadi-jadinya.
"Aku bodoh! Kenapa aku harus menanggapi Rama yang sudah membuangku! Harusnya aku tahu, dia tidak pernah mencintaiku! Dia hanya menjadikanku pelampiasan. Aku harus bagaimana?" ujar Shindy bermonolog di dalam kamarnya
Drrrt.. Drttt. Ponsel Shindy bergetar beberapa kali, tanda ada pesan masuk.
[Sayang, makan siang bareng yuk! Ini aku otw ke rumahmu.] ~Andrian
Shindy membuka pesan dari Andrian. "Aku harus jujur ke Andrian soal semuanya. Bagaimanapun keputusannya, aku akan menerimanya. Lebih baik aku kehilangan Andrian karena semua ini, daripada aku harus menipunya untuk menerima bayiku."
[Aku tunggu di depan 😍] ~Shindy
Shindy berjalan ke kamar mandi di kamarnya. Mencuci muka dan berganti pakaian. Tak lupa memoles wajahnya dengan bedak dan make up. Sedikit ditebalkan pada bagian memar yang ada di wajahnya agar Andrian tidak curiga.
Shindy mengambil tas kecilnya dan memasukkan ponsel ke dalamnya. Shindy keluar dari kamar dan menuju keruang tamu. Tiba-tiba ponselnya berdering.
~Rama
"Shindy! Kesini kamu sekarang." bukan suara Rama yang terdengar, melainkan suara berat Pak Anton.
"Pa.. Papa." balas Shindy terbata
"Cowok br*ngs*k ini sudah di tangan papa! Kamu susul kesini, ajak sekalian mamamu!" perintah Pak Anton tak terbantahkan
Bagaimana tidak, relasi bisnis Pak Anton sangat luas. Tidak sulit baginya untuk menemukan kediaman Rama. Mengingat mereka masih tinggal satu kota dan banyaknya bawahan yang bisa Pak Anton suruh.
"Pa.. Papa dimana?" suara Shindy bergetar ketakutan. Mengingat penolakan sadis dari Rama yang sudah menghajarnya, Shindy tidak bisa membayangkan kemarahan Rama saat ini.
"Apartemennya! Papa tunggu!" tut tut
Shindy memasukkan kembali ponselnya. Mendadak perutnya terasa sakit. Mencengkeram di bagian bawah. Mungkin karena banyak tekanan, Shindy mengalami kram di perutnya.
"Bi... Bibi Ningsih." panggil Shindy lemah
Seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh menghampirinya.
"Panggilkan mama. Bilang dia harus ikut Shindy nyusul papa sekarang." ujar Shindy berusaha duduk dan meredam sakitnya.
"Baik non." Segera Bibi Ningsih berlari ke arah kamar Bu Wulan
Shindy meringis kesakitan, ketika rasa menusuk itu terus datang. Shindy tak bisa menahannya. Air keluar dari pelupuk matanya. Shindy mencoba menarik napas berkali-kali namun kondisinya tak kunjung membaik.
"Kenapa kamu Shin?" tanya Bu Wulan yang baru tiba di ruang tamu
"Sakit Ma. Perut Shindy sakit " keluh Shindy
"Bi Ningsih tolong ambilkan minyak di kotak P3K." perintah Bu Wulan sambil duduk di sebelah Shindy
Disandarkannya tubuh Shindy ke sofa. Sambil mengusap pelan perutnya yang masih rata. Shindy menggigit bibir bawahnya, sakit yang dia rasakan tidak tertahankan. "Apa aku keguguran? Kenapa rasanya sakit sekali? Apa Shindy akan kehilangan bayi ini Ma?"
"Jika saja iya, tentu akan lebih mudah mengambil keputusan." balas Bu Wulan sambil terus mengusap perut Shindy
"Ini Nyonya." Bi Ningsih menyodorkan sebotol kecil minyak kayu putih
Dengan telaten Bu Wulan mengoleskan minyak secara merata ke seluruh perut Shindy. Keringat dingin mulai bercucuran di pelipisnya. Shindy merasa ada remasan-remasan halus di perutnya. Seketika Shindy berteriak kesakitan.
Drrrt.. Drrrt.. Ponsel Shindy kembali berbunyi. Kini nama Papa muncul di layarnya. Tampak sekali Pak Anton tak sabar lagi menunggu putrinya datang.
"Halo Pa." sapa Bu Wulan
"Kenapa lama sekali?" maki Pak Anton
"Perut Shindy tiba-tiba sakit pa. Jadi harus mama obati dulu." ujar Bu Wulan
"Menyusahkan! Kalau begitu biar aku bawa saja pria s*alan ini!" tut tut..
Telepon kembali dimatikan.
Tin tin.. Suara klakson mobil terdengar dari luar pagar rumah.
"Tolong bukain Bi. Siapa tahu itu papanya Shindy." ujar Bu Wulan
Bibi Ningsih, berlari dan membuka pagar untuk mobil sedan silver yang berhenti tepat di depan pagar.
"Den andrian. Masuk Den. Nona Shindy lagi sakit." ujar Bibi Ningsih begitu pagar terbuka
"Sakit apa Bi?" tanya Andrian penasaran
"Nggak tahu Den, tiba-tiba perutnya kram." ujar Bibi Ningsih
"Terus dimana dia Bi?" tanya Andrian lagi
"Di ruang tengah Den." ujar Bibi Ningsih mengajak Andrian masuk
Andrian mengikuti Bibi Ningsih. Kondisi Shindy masih sama. Wajahnya tampak memerah karena menahan sakit. Sementara Bu Wulan tampak terkejut melihat kedatangan Andrian.
"Andrian, kamu kesini?" tanyanya gugup
"Iya Ma. Shindy kenapa?" tanya Andrian sembari mengecek suhu badan Shindy dengan punggung tangannya
"Perutku sakit An!" ujar Shindy lirih hampir tak terdengar
"Kita bawa ke rumah sakit aja ya Ma." ajak Andrian
"Nggak usah! Jangan." tolak Bu Wulan panik seolah tengah menutupi sesuatu
"Tapi Shindy lagi kesakitan Ma. Udah nggak apa-apa, biar Andrian yang antar." tawar Andrian
"Sudah mama bilang nggak usah. Ini.. Cuma nyeri haid biasa kok. Kita bawa Shindy ke kamar saja!" ujar Bu Wulan
Sebenarnya Andrian merasa heran, tidak biasanya Bu Wulan menolak seperti ini, apalagi jika itu demi kepentingan anaknya. Andrian pun segera membopong tubuh lemas Shindy dan membawanya masuk.
Ranjang berwarna pink dengan aksen boneka-boneka kecil di bagian atasnya, menambah kesan feminim sosok Shindy. Andrian membaringkan tubuh jenjang Shindy dan meluruskan kakinya.
"Apa kita panggilkan dokter saja Ma? Kebetulan Andrian punya dokter pribadi yang bisa dipanggil kesini." tawar Andrian lagi
Tampak Bu Wulan menghela napas.
"Sudahlah Andrian. Nggak perlu khawatir, ini hanya sakit perut biasa." ujar tante Wulan tampak tenang
Dahi Andrian mengernyit, ditatapnya Shindy yang meringis sambil memegangi perutnya. Andrian duduk di sisi ranjang dan mengelus pelan perut Shindy
"Sakit banget ya Shin?" tanya Andrian
Shindy mengangguk. Perlahan sakit di perutnya berangsur membaik. Benar, bayinya butuh kasih sayang. Mungkin tadi bayinya merasakan tekanan yang sama seperti dirinya. Shindy menatap wajah teduh Andrian. Dalam hatinya ada ketidaktegaan yang mendalam. Dia sudah menghianati lelaki sebaik Andrian.
Brak... Suara keras pintu yang dibanting pun terdengar. Bersamaan dengan teriakan lantang Pak Anton dari ruang tamu.
Andrian terlonjak kaget. Tidak biasanya calon mertuanya seperti itu.
"Tunggu disini Andrian. Jaga Shindy biar mama yang keluar!" ujar Bu Wulan tampak panik
Andrian berniat mengikuti Bu Wulan namun Shindy mencegahnya.
"Jangan pergi. Temani aku An." pinta Shindy
Andrian kembali duduk di sisi ranjang. Sambil mengusap kepala Shindy. Meski sejujurnya dia sangat penasaran dengan teriakan Pak Anton, namun demi Shindy dia mengabaikannya.
"Sudah lebih baik?" tanya Andrian menatap wjah cantik gadisnya
Shindy hanya mengangguk dan tersenyum kecil.
Diluar..
Pak Anton menyeret kasar Rama dengan kedua tangan terikat. Dilemparkannya tubuh itu ke lantai. Rama pun meringis kesakitan.
"Pa, jaga emosi. Andrian ada di dalam!" pekik Bu Wulan
"Lebih cepat dia tahu, lebih baik Ma! Papa sudah sangat malu dengan kelakuan mereka berdua!" ujar Pak Anton
"Kenapa papa membawanya kesini, bagaimana jika tetangga tahu. Kita akan sangat malu Pa." ujar Bu Wulan
"Lelaki ini menolak untuk menikahi Shindy! Dia menjatuhkan harga diri Shindy!" ujar Pak Anton
"Kita bisa membahasnya secara kekeluargaan kan? Mumpung Andrian juga disini, kita bisa meminta maaf secara langsung." pinta Bu Wulan
"Beno! Lepaskan ikatannya dan pegangi dia." perintah Pak Anton dan dengan cepat Pak Beno melaksanakannya.
Bu Wulan kembali ke kamar Shindy untuk memanggil Shindy dan Andrian.
"Shindy, Andrian keluarlah sebentar. Papa mau bicara hal yang penting." wajah Bu Wulan tampak resah
Shindy pun memegang erat lengan Andrian. Jujur dia takut, apa yang akan terjadi setelahnya.
"Ma, apa Andrian juga harus ikut?" tanya Shindy ragu
Langkah Bu Wulan terhenti, dia pun menoleh. "Dia wajib tahu semuanya!"
"Tahu apa Shin?" tanya Andrian
"Kita.. Kesana dulu saja An." ungkap Shindy tertunduk
Dengan hati-hati dipapahnya tubuh Shindy ke ruang tamu. Tampak Rama dengan wajah penuh lebam dan darah yang mengalir dari kedua hidungnya sedang dipegangi Pak Beno. Kedua matanya menatap nyalang ke arah Shindy.
"Itu siapa Shin?" tanya Andrian
"Duduk sini dulu An." ujar Bu Wulan mempersilakan Andrian duduk di sofa yang kosong
Tatapan Pak Anton tampak tidak bersahabat.
"Andrian, sebelumnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas nama Shindy." ujar Pak Anton
Andrian menatap ke arah kekasihnya.
"Jadi, ada kejadian yang tidak kita harapkan. Shindy telah hamil anak Rama, mantan kekasihnya." terang Pak Anton
Andrian menarik lengannya, ditatapnya dengan lekat wajah Shindy yang tak berani menatapnya.
"Apa itu benar Shin?" tanya Andrian
Shindy hanya menunduk tak bergeming.
"Apa benar, kamu hamil anak orang lain?"
Terlihat Shindy memejamkan matanya. "Iya, aku hamil."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments