Syahdunya Cinta Pertama
🌼Jika kalian membayangkan cerita ini adalah cerita yang murni membahas dunia keromantisan. Kalian salah besar. Jika kalian menginginkan cerita ini seperti cerita CEO, CRAZY RICH, SUGGAR DADDY dan konglomerat sebagainya, kalian semakin nyasar. Ini hanya cerita sederhana dari anak, ayah, keluarga yang amat sederhana. Berlatar tahun 2010 jadi jangan disamakan kecanggihan dunia media sosialnya dengan di tahun kita sekarang (2023) begitu juga dengan transformasi dan yang lainnya. Bukan hanya tahun, cerita ini juga berlatar sebuah perkampungan terpencil. Jadi, kalau kalian masih komplen karena bukan cerita yang sesuai dengan kalian cari, itu salah kalian sendiri bukan salah penulis. Penulis dari deskripsi dan genre sudah menjabarkan cerita dengan baik. Terima kasih, selamat membaca. Kunjungi Ig: Melaheyko untuk semua info karyanya 🌼
******
TAK ada yang mau hidupnya susah dan tak ada orang tua yang mau memberikan kesusahan kepada anak-anaknya, jika itu terjadi, itu takdir yang harus diterima dan dijalani. Mau protes kepada siapa ketika seorang anak tak punya barang-barang bagus seperti teman-temannya, pakaian yang baik seperti kerabatnya, makanan yang layak seperti tetangganya. Apa mereka perlu protes kepada orang tua mereka yang sebenarnya juga tak mau hidup seperti itu, lantas apa harus berseru pada Tuhan untuk menuntut keadilan? Padahal Tuhan jelas lebih tahu yang baik untuk hamba-Nya dan mengukur seberapa mampu hamba-Nya dia berikan kehidupan di dunia yang sementara.
Semua manusia berhak dan wajib memiliki keinginan dan mimpi, begitu juga dengan Kani yang selalu berharap bisa terbang dengan bebas untuk mencari kehidupan yang luas dan lebih baik. Sekali pun dia terpaksa meninggalkan bilik yang menjadi tempatnya lahir dan tinggal bertahun-tahun. Kani anak remaja yang seperti teman-temannya, ingin bergaya, ingin ini itu, tapi bedanya yang lain merengek pada orang tuanya, sementara dia diam menelan semua keinginannya. Mengukir janji dalam hati, akan dia cari sendiri tanpa perlu mengemis pada Ayahnya yang tegas dan Ibunya yang galak itu, dan tak perlu juga menunjukkan pada Dahlia yang selalu iri, atau pada Kenanga yang selalu mau, atau pada adik bungsunya Syamsir yang selalu merengek penasaran pada barang-barang di kamarnya setiap waktu.
Kani dan ketiga adiknya bersekolah di sekolah yang sama, tahun ini Kani akan menyelesaikan pendidikannya di sekolah menengah pertama, dia sudah tak tahan dengan satu keinginan untuk pindah dari sekolah tersebut. Dia sudah malas menjadi kuncen di sana bertahun-tahun.
Duduk menyendiri dengan buku yang menemani, tak ada uang untuk membeli makanan seperti teman-temannya, berbagai macam alasan dia lontarkan untuk membungkam teman-temannya yang sebatas mengajak, mendesak, tak ada niat mentraktir atau berpikir bahwa ia tak punya uang. Gadis dengan rambut diikat tinggi itu selalu setia di sana, beranjak hanya untuk ke toilet, sampai selalu menjadi bahan perbincangan para guru dan teman-temannya. Kani hanya bisa menelan ludah ketika meminta uang jajan dan Ibunya menghardiknya sambil mengatakan “Anak paling besar tak perlu memikirkan jajan, lihat adik-adik kamu” itu yang selalu dia dengar. Hanya bisa menahan sesak sambil meremas tangannya sendiri.
Beberapa menit lagi jam istirahat berakhir, Kani memutuskan berdiri, dia kebelet dan melangkah cepat sambil menunduk. Temannya Reva, Teti, dan Citra bertanya. Dia hanya menunjuk toilet yang bersebelahan dengan Aula dan Musholla dengan mata bulatnya. Kani terus melangkah, dia terkesiap saat dari belakang punggungnya tertabrak punggung besar dan keras, lapangan memang sedang ramai dengan anak-anak SMA yang sedang mengisi waktu istirahat dengan bermain bola.
“Aduh, maaf.” Laki-laki yang menabraknya berbalik badan, memastikan yang dia tabrak tak apa-apa, dia tak mau membuat masalah di hari pertama kepindahannya ke sekolah tersebut. Terpaku memandang Kani yang menyentuh punggungnya dengan tangan kiri. Kani juga terpaku melihat wajah yang baru dia lihat. Laki-laki dengan rambut ikal tebal, wajah simetris dan rahang yang begitu kokoh, dia belum pernah melihat lekukan wajah seperti itu dan kenapa, seorang laki-laki memiliki bulu mata berbaris cantik lentik begitu? Dia perempuan saja tak punya apalagi alis tebal hitam legam menyambung. “Kanir...” Pemuda itu berucap sambil menatap nama Kani di seragam dan Kani buru-buru menutupi namanya. Dia melengos begitu saja, tak menjawab walaupun pemuda itu sempat meminta maaf, Kani sudah tak tahan ingin ke toilet dan dia tidak sadar ada sepasang mata memperhatikannya dengan murid baru itu. Tatapan tak menerima.
Setelah masuk ke dalam kelas, Kani menoleh saat teman-teman sekelasnya membicarakan murid baru kelas 12 A bernama Amarendra, baru masuk hari ini, bikin heboh katanya. Kani hanya mengangkat alis tak terlalu peduli apalagi heboh seperti gadis lain, dia ingat dengan laki-laki tadi yang menabraknya sangat keras. Pasti yang itu dan hal tersebut dibenarkan kedua temannya, Reva dan Teti.
Jam pulang sekolah, Kani menyumbat telinganya dengan Headset. Sebuah benda bernama Walkman yang dibelikan Bapaknya sebulan lalu selalu dia bawa ke mana-mana. Benda selebar tiga jari itu muat di saku seragam atau dia sembunyikan di balik jaketnya. Walkman yang selalu menghadiahkannya lagu penghibur di waktu tertentu, sebuah radio, ada saluran yang bagus, ada yang sebaliknya, benda itu sedang heboh dibicarakan beberapa bulan ini. Banyak anak-anak remaja yang menginginkannya.
Kani mendelik berkali-kali karena murid SMA bernama Heri kini mendekat, Heri sudah menunggunya. Keduanya berjalan bersama. Kani mengangguk, melambai ketika Reva pamit begitu juga dengan Teti. Sementara Citra, ada di depan jauh di sana, menghindarinya karena ada Heri.
“Kau juga memuja murid baru itu?” tandas Heri dan Kani menoleh, tak paham. “Kau jelas sama dengan para gadis yang lain, tergila-gila dengannya.” Ia mendelik tajam.
Kani melepas satu Headset dari telinganya. “Apa yang kamu maksud, Her? Cemburu lagi? Memangnya aku ngapain?” Kani kesal dan Heri menyeringai, laki-laki itu yakin dengan sangkaannya.
“Jangan samakkan aku dengan gadis lain, beda kelas!!!” bentak Kani sengit, dia pergi, mempercepat langkah saat Heri mengejar dan Kani berlari kemudian merangkul bahu Citra. Heri mengeram dongkol dan berbelok karena beda arah. Gadis itu selalu saja menghindarinya.
Di sisi lain ada Amarendra, dia terus menatap kepergian Kani dan kepindahannya ke sekolah tersebut tak terlalu buruk. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya sekaligus membuat penasaran.
“Dia manis,” gumamnya sambil mengayunkan kaki mengayuh sepeda.
***
Kani terdiam melihat Reva hari ini membawa sebuah ponsel berwarna Pink, ukurannya besar. Citra dan Teti menyentuh saja tak boleh. Reva mengatakan itu hadiah ulang tahun dari ayahnya yang juga sudah tiga bulan tak pulang. Gadis cantik itu terus menggembar-gemborkan kegembiraannya menghabiskan waktu bersama dengan ayah dan ibunya kemarin, dengan ponsel baru itu. Reva seperti ketua geng di dalam pertemanan mereka, tak ada yang berani membantah ucapannya, apalagi menolak apa yang dia mau. Reva bisa dibilang paling menonjol untuk soal penampilan, barang-barangnya bagus dan mahal, dia selalu membeli barang-barang yang bahkan tak pernah dilihat teman-temannya di kelas. Kemudian Teti dan Citra selalu meminjam kecuali Kani yang merasa tak pantas memakai barang-barang bagus, apalagi jika itu milik orang lain.
“Kayak Hp Blueberry itu loh!” Citra menyeletuk, pujiannya berhasil membuat hidung Reva kembang-kempis.
“Black bukan Blue.” Teti menyembur membenarkan dan mereka tertawa. Kani hanya diam, meremas Walkman di saku jaketnya. Terlihat kecemburuan yang tersimpan dalam sorot matanya.
Mendadak Reva menoleh kepadanya, Kani menggeleng saat Reva mempersilakannya untuk melihat ponsel barunya. Reva dan Teti memang sudah membawa ponsel beberapa bulan ini, itu bukan hal yang aneh lagi di sekolah tersebut. Citra juga punya tapi orang tuanya tak memberi izin untuk dibawa ke sekolah.
“Apa kau punya ponsel? Aku lupa menanyakan ini. Mana nomornya, aku simpan sekarang.” Reva tersenyum dan siap menekan keyboard HP-nya. Kani menelan ludah, wajahnya memucat tegang apalagi Teti ikut-ikutan ingin menyimpan nomornya.
“Aku tak hafal nomornya, sama kayak Citra, aku juga dilarang bawa Hp. Hp aku di rumah mereknya sama kayak punya Teti cuman beda model.” Dengan mudah kebohongan itu meluncur dari bibir Kani. Reva dan Teti menurunkan kedua tangan mereka yang siap sedia dari tadi.
“Oke.” Reva percaya begitu juga dengan Teti.
Mereka berempat menoleh saat adik kelas lewat.
“Eh, Dahlia! Ada Kakakmu tak kau sapa?” seru Teti dan melirik Kani.
“Kebelet, Kak.” Dahlia beralasan dan masuk ke toilet.
“Bertengkar lagi?” bisik Citra dan Kani menggeleng. Kani dengan ketiga adiknya berangkat bersama dan pulang di jam berbeda, selama di sekolah, Kani hanya menatap singkat saat kebetulan adiknya muncul atau berpapasan dengannya. Di rumah, dia selalu berpesan agar semua adiknya tidak bersikap sok akrab dengannya apalagi berbuat aneh-aneh, jika bisa, bersikap saja tak kenal padanya. Dia tidak mau dipersulit.
Waktu masuk masih beberapa menit lagi, Reva mengeluarkan keripik pisang, mereka menikmatinya dan Kani menatap adiknya yang lewat lagi sambil berlari.
“Kalian mau masuk SMA di mana? Aku sudah ada rencana mau tetap di sekolah ini,” kata Reva dan semuanya tertarik untuk membahas itu.
“Aku mau pindah ke sekolah lain, malas jadi kuncen sejak SD di sini,” jawab Kani dan Citra mangut-mangut.
“Aku juga butuh suasana baru.” Citra manyun dan Teti yang terakhir mengemukakan keinginannya untuk pindah sekolah juga. Sama seperti Kani, dia sudah bosan dengan sekolah tersebut dan akhirnya mereka harus mengakhiri obrolan, sudah waktunya masuk.
Di kelas Dahlia berada, adik yang paling sering bertengkar dengan kakaknya itu terdiam memperhatikan teman-temannya memakai tas baru, dia tatap tas bekas milik Kakaknya yang sudah butut. Matanya kini mendelik karena semua barang yang dia pakai hampir semua milik Kani. Entah kapan dia memiliki barang baru, hanya untuknya, dia juga mau dan berniat untuk meminta kepada Ibunya dengan risiko kena marah.
Sore-sore sedikit gerimis, Dahlia mengemukakan keinginannya ingin alat-alat sekolah yang baru, sontak hal tersebut membuat Kenanga yang mendengar ikut-ikutan ingin juga. Sementara Kani yang sedari tadi sibuk mengupas kentang hanya diam mendengarkan adik-adiknya merengek. Ditambah Syamsir yang datang meminta jajan. Wajah Ibu mereka memerah karena marah, Bu Ismi namanya.
“Ibu pusing kalau kalian begini dan kamu, Dahlia! Tak ada yang salah memakai barang bekas punya Tetehmu.” Mata Bu Ismi melirik anak sulungnya. “Masih bagus dan bisa dipakai, jangan banyak mau, kalian tak lahir dari keluarga berada. Jangan samakkan kemampuan orang tua kalian dengan orang tua teman-teman kalian yang memiliki pekerjaan enak dan gaji besar. Setidaknya pikirkan bapak kalian. Berhenti merengek atau Ibu hukum. Sana! Bantu Teteh kalian memasak.”
Suara Bu Ismi masih rendah walaupun tegas, bibir Kani mencebik saat kedua adiknya mendekat.
“Jangan banyak gaya, kita orang nggak punya,” kata Kani sambil mengusap anak rambut ke belakang. Dahlia dan Kenanga Manyun, menahan tangis juga menelan semua keinginan mereka.
Ketiga anak perempuan di rumah bilik panggung sederhana itu sibuk memasak, Ibu mereka sedang menumbuk biji kopi yang sudah dijemur berhari-hari, Syamsir juga turun tangan membantu pekerjaan rumah. Dia diminta mengayak bubuk kopi yang sudah ditumbuk agar terpisah mana yang kasar dan lembut untuk diseduh.
Kenyamanan tidak didapat semua keluarga, bukan hanya keluarga Kani, masih banyak keluarga di luar sana yang hidupnya bahkan jauh lebih sulit.
Menu makan malam di rumah Kani hari ini terbilang agak mewah, kentang satu mangkuk yang dicampur satu biji telur, tak bisa dibulatkan untuk menjadi makanan bernama Perkedel dalam bentuk sempurna. Tapi mereka menikmatinya dengan guyuran sambal terasi goreng dan nasi pulen.
Kani sebagai anak tertua harus bisa memandu dan mencontohkan yang baik kepada ketiga adiknya, apalagi untuk urusan rumah pun dia mengerjakannya lebih banyak. Tak ada yang berleha-leha di rumah tersebut, semuanya harus kerja dan disiplin apalagi untuk bangun yang tak boleh kesiangan, jika tidak, akan seperti Kani yang sekarang sudah diguyur air satu gayung karena sudah berkali-kali dibangunkan dia tak bangun, telat salat subuh, membantu pekerjaan rumah, dan memasak.
Kani terperanjat sambil mengusap wajah dan rambut kusutnya yang basah. Ibunya sudah menatap dengan mata nyaris akan mencelos keluar saking murkanya.
“Jam berapa ini, Kani?” Berteriak galak sambil berkacak pinggang. Kani menunduk dan bahunya merosot saat Ibunya mendekat, dia takut kena pukul. Tapi ternyata tidak, Ibunya sedikit baik, hanya menyiramnya dan dia lekas keluar. Terbelalak melihat jam di bilik, adik-adiknya sudah sarapan semua, sedang memakai sepatu, sementara dia? Dia lekas menyambar handuk dari jemuran, masuk ke kamar kecil terburu-buru.
“Mau menunggu teh Kani?” Wajah Kenanga mengeluh kepada Dahlia. Dahlia menggeleng, mengusulkan untuk pergi duluan saja apalagi Syamsir yang suka berjalan lambat akan membuat mereka semua telat. Mereka bertiga pun pamit, Kani yang mendengar lekas-lekas membasuh tubuhnya. Dalam panik, matanya berair, pelajaran pertama Matematika, guru paruh baya akan menghukumnya jika begini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
apiii
Inget waktu kecil wkwk
2023-08-24
0
🌻 G°°Rumai§ha°° 🌵
Huhh aq paham gimana rasanya jadi kani..
2023-04-12
0
Sm03 💜💜💜💜💜💜💜
perjuangan keluarga yg benar² d mulai dri 0
2023-03-08
1