Kani menunduk dan tak mau mengiyakan walaupun itu benar. Kani lekas membantu Amarendra mendorong sepedanya ke atas, keluar dari kebun tersebut. Banyak teman sekelas Amarendra yang bertanya, Amarendra bilang baik-baik saja dan tak mau menjelaskan lebih rinci, dia lekas membawa Kani pergi, menuju Toko Grosir karena itu adalah tujuan utama mereka. Sesampainya di sana Kani masuk sendiri, Amarendra menunggu sambil menatap punggung tangannya. Tangan kirinya perlahan merogoh saku celana, ponselnya bergetar, panggilan masuk dari Bunda. Ia menerima, menjawab salam dan melirik Kani masih di sana.
“Gimana kabar anak Bunda?” begitu riang Bundanya seperti biasa.
“Baik, Bunda gimana?” Amarendra tersenyum tipis.
“Sama, masih di mana? Ini jam kamu pulang sekolah, kan? Tadi Kakak bilang sama Bunda sudah transfer, uangnya diirit-irit, ya. Maaf, Bunda bulan ini nggak bisa pulang.” Suaranya terdengar berat saat memberitahu tak bisa pulang untuk menemui anaknya itu.
Amarendra diam sebentar, sedih, tapi mau bagaimana lagi.
“Enggak apa-apa, Bund. Nanti aku telepon kakak buat bilang terima kasih. Masih kerja, Bund?”
“Ini Bunda lagi di toilet, harus begini supaya bisa menelepon kamu. Kalau malam kadang Bunda capek, pulang langsung tidur.”
Amarendra tersenyum dan dia tak masalah, meminta Bundanya untuk sebisa mungkin memberi kabar atau membalas pesannya, tak apa tak bisa berjumpa, yang penting masih bisa berkomunikasi, Amarendra sudah senang.
“Maren.” Kani dari belakang memanggil. Amarendra berbalik, masih memegang ponsel yang dia tempelkan di telinga kiri. “Aku beli obat...” Kani tak melanjutkan kalimatnya saat Amarendra menekan bibirnya sendiri agar gadis itu diam.
“Maren, itu siapa? Nak...Obat apa?” Bundanya terperanjat kaget dan Amarendra menatap Kani.
“Aku jatuh, Bund. Dia temanku, namanya Kani. Aku tak apa, luka kecil saja, bukannya Bunda harus bekerja lagi? Jangan sampai terkena masalah, aku tak rela kalau Bunda terus kena marah Bos Bunda yang tak berperikemanusiaan itu.” Amarendra berbicara sangat pelan dan Kani mendengarkan. Bundanya tak bisa membantah, dia akan kena masalah jika terlalu lama di Toilet. Panggilan usai dan Amarendra menurunkan lengannya.
“Mana belanjaan kamu, Kani?” Amarendra bertanya sebelum Kani lebih dulu bertanya tentang Bundanya.
“Masih dihitung, ini ada obat merah sama kain kasa, obati dulu lukamu. Di sana.” Tunjuk Kani ke sebuah Pos di tepi jalan pertigaan tersebut. Keduanya melangkah bersama kemudian duduk. Amarendra merasakan perih ketika sapu tangannya dia buka, benar, lukanya cukup dalam. Kani merintih melihat luka itu, sesekali membuang muka karena takut dan tak tega. Dia memaksakan diri memegang tangan Amarendra, mencuci darah itu dengan air yang dia beli sampai bersih tapi tetap saja darah menetes saat dia tak sengaja menekannya. Kani lekas membasuhnya lagi, meneteskan obat merah, dia balut dengan kain kasa, itu untuk sementara, dia mencerocos agar nanti Amarendra membalutnya dengan benar di rumah. Amarendra tersenyum dan sedari tadi dia terus memandangi wajah Kani dengan teliti.
Setelah selesai, keduanya diam. Kani menghela napas dan menoleh.
“Aku bisa pulang sendiri, pulanglah. Obati lukamu dengan baik, jangan dibiarkan.” Kani menatap dan Amarendra memperhatikan tangannya.
“Aku antar seperti biasa, kamu kira tanganku patah atau bagaimana sampai mengira aku tak mampu mengantarmu?” Dia menyeringai dan Kani mendelik.
“Aku hanya takut lukanya tertekan lagi dan darahnya menetes, minta jemput pada siapa saja, rumahmu masih jauh.”
“Ya...rumahmu juga sama, Kani.” Amarendra mengeyel dan Kani mendesis. Dia bangkit dan pergi untuk mengambil belanjaannya, tak lama dia kembali sudah melihat Amarendra berhadapan dengan Kalingga. Kalingga melihat Kani sekilas dengan pemuda itu, mangkanya dia berhenti dan menanyai Amarendra, wajah Amarendra tak ramah, dia tak nyaman diinterogasi seolah-olah dia laki-laki berandalan yang akan melakukan hal tolol atau tidak beradab pada Kaniraras.
“Mas Lingga?” Kani terus melangkah dan keduanya menoleh. “Dia temanku, namanya Amarendra.” Kani mendekati Amarendra yang menekuk wajahnya dalam-dalam, pemuda itu kesal.
“Teman? Sejak kapan kamu berteman dengan laki-laki, yang aku tahu hanya Yana, jelas teman sekelas tapi dia...dia mengganggumu?” Kalingga begitu sinis dan Amarendra mengangkat wajahnya, keduanya saling melemparkan tatapan siaga. “Pulang, Kani. Naiklah.” Kalingga berbalik dan naik ke atas motornya. Tapi Kani, menatap Amarendra dalam-dalam. Ragu meninggalkan.
“Aku dengannya, Mas. Dia juga terluka, setidaknya kita tunggu siapa saja menjemputnya.” Kani berbicara dengan hati-hati, gugup dan dia belum pernah melihat Kalingga sesinis itu sebelumnya. “Maren.” Kani menyentuh bahu Amarendra hangat.
“Kani, naik!” tandas Kalingga menyentak. Kani melepaskan tangannya dan Amarendra mengarahkan lengannya pada Kalingga. Mempersilakan gadis itu pergi, dia malas ribut dengan Kalingga yang begitu mengotot, mengira dia mengajak Kani keluyuran, membuat pengaruh buruk pada gadis lugu itu. “Kani, aku bilang sama ibu, bapakmu, nanti ya!” Kalingga terpaksa mengancam karena Kani begitu sulit menjauhi anak itu. Membuatnya emosi saja.
Amarendra mengangguk kecil, mengarahkan tangannya lagi-lagi dan tak mau berbicara sedikit pun. Kani tak mau ada keributan, dia menarik belanjaannya hati-hati dan Kalingga mengambil alih beberapa yang bisa dia gantung di depan. Kani naik, memangku dus berisi telur, matanya tak beralih dari Amarendra yang juga menatapnya. Sampai motor matic kuning itu melaju, Kani masih saja menoleh dan Kalingga menegurnya. Sementara Amarendra, dia diam dengan wajah mendadak kusut setelah Kani jauh meninggalkannya.
“Kamu pacaran sama dia, Kani. Serius?” tanya Kalingga setelah mereka jauh. Ketidaksukaan jelas terdengar nyata dalam ucapannya.
“Teman, Mas.” Kani mendelik saat tatapannya dengan tatapan Kalingga beradu di kaca spion.
“Dia lebih tua, aku khawatir, laki-laki itu tak bisa kamu jadikan teman, sebatas kenal tak masalah. Jangan berdekatan berlebihan, kamu nggak takut di apa-apain gitu sama dia?” Dia berbicara tanpa jeda, sesekali nada rendah dan lebih banyak menyentak dan malah sibuk memperhatikan rambut Kalingga yang tertiup angin, menerpa kulit wajahnya, menggelikan dan ia merasa Kalingga tak perlu secemas itu. Amarendra tak seperti yang lain. Ingin sekali dia jelaskan tapi takut kena sembur, sekarang diam adalah pilihan terbaik.
Tak terasa mendengarkan ceramah Kalingga akhirnya mereka sampai, Kani diantar sampai depan rumah dan Bu Ismi memperhatikan. Sempat mengajak Kalingga mampir dan Kalingga menolak dengan lembut kemudian pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
.
cie yg cembokur
2023-03-09
0