Haryawan mendengus ketika ingat apa yang dikatakan Pak Muji bahwa Kani tak suka ponsel itu, meminta diganti, yang lebih bagus, jelas lebih mahal juga. Haryawan sesekali melirik Pak Muji yang terbatuk-batuk, napasnya terlihat sangat berat. Pak Muji bahkan sering demam. Bukan kali ini Haryawan bekerja di tempat yang sama dengan Pak Muji, dia menyadari kesehatan pria itu menurun dalam setahun ini. Beberapa hari ini bahkan Pak Muji terlihat tak nafsu makan. Jelas kentara karena Pak Muji yang selalu makan dengan tahu atau tempe itu sering melewatkan makan malam atau pagi, bisa jadi karena sudah kenyang dengan rasa lelahnya.
“Kalau anakmu seperti anak Pak Muji, gimana?” celetuk Jarwo.
“Aku pecut, Pak! Nyusahin,” kata Haryawan dengan tatapan kesal dan Jarwo tersenyum. Merasa beruntung karena tak mendesak untuk menjodohkan anaknya dengan anak Pak Muji. Cantik saja tak cukup untuk perempuan, pikirnya.
Pak Muji yang melihat kawan-kawannya saling berbisik hanya tersenyum, mengelap peluh, kemudian duduk beristirahat sejenak. Pak Muji merasakan sakit di dadanya, sejak pagi, dia memutuskan untuk tidak mengisap rokok walaupun teman-temannya menawari, dia menolak dengan alasan sedang batuk, tak enak tenggorokan.
Pak Muji termenung, terbayang wajah kusut dan ketus Kani gara-gara ponsel. Pria paruh baya tersebut memahat janji dalam hati untuk mengembalikan senyuman manis putrinya dengan Ponsel terbaik yang sudah dia incar walaupun harganya nyaris satu jutaan. Haryawan sempat memberi saran agar tak memaksakan diri, tapi Pak Muji hanya memikirkan anaknya, tidak dengan lelah yang dia rasa.
***
“Teteh disuruh masak sama Ibu.” Kenanga berbicara sambil memberikan kantong plastik hitam berisi bahan-bahan memasak.
“Memang ibu ke mana?” Kani malas melakukan apa yang diminta Ibunya.
“Nggak tahu.” Kenanga mengangkat bahu kemudian pergi. Kani menghela napas dan mengikat rambutnya.
Dia mulai memotong tempe, disusul sayuran untuk membuat sayur asam. Adik-adiknya yang takut kelaparan lebih memilih makan dahulu dengan nasi goreng hambar buatan Dahlia tadi. Yang penting perut mereka terisi dan Syamsir tidak ribut mengeluh.
Kenanga mencuci piring bekas makannya dan Syamsir, disusul Dahlia yang menyuruh, hal tersebut membuat Kani menyentak sengit.
“Cuci sendiri, itu bekas kamu.” Kani melotot.
“Cuma sekali, gantian juga, kok. Iya kan, Kenanga?” Dahlia menjawab sambil mencuri pandang dengan Kenanga agar anak itu mengangguk. Tapi karena Kenanga telat menjawab, Kani menyadari bahwa Dahlia malas dan hanya beralasan. Dia mendesak agar Dahlia melakukannya sendiri atau tak dia bagi sayur asam buatannya. Dahlia tak punya pilihan lain, sambil bersungut-sungut dia melakukannya.
Setelah Ibu mereka pulang, Kani melihat kesedihan di sorot mata Ibunya. Ada niat untuk bertanya tapi akhirnya karena dia tak berani, dia diam pura-pura tak melihat.
“Kani.” Bu Ismi memanggil dan Kani menoleh perlahan. “Beli telur sama minyak goreng besok ke toko Haji Murat.”
Kani mendekat dengan wajah kesal.
“Di warung memangnya tak ada? Itu jauh.” Dia mengeluh dan Ibunya menatap lekat. Kani mundur dan menunduk, takut kena pukul atau kena caci. Kena cubitan maut Ibunya yang paling dia takutkan, itu menyakitkan dan selalu meninggalkan bekas.
“Biar Ibu saja kalau begitu.” Bu Ismi berdiri dan Kani bingung, saling menatap dengan Kenanga. Setelah Ibu mereka masuk kamar, Kenanga merapat.
“Ibu kenapa, Teh?”
“Enggak tahu.” Kani menyesal karena menolak, akhirnya dia memutuskan untuk menurut dan besok pagi akan mengatakannya.
***
Kani menunduk dan terus merapikan rambutnya, dia baru berganti seragam olahraga, tak jauh darinya beberapa anak SMA nongkrong, tak memperhatikannya tapi dia risi karena di dalam Aula banyak teman-temannya yang masih berganti pakaian. Kani tidak bisa pergi walaupun malas karena ada Heri, dia harus berjaga di luar, takut mereka iseng mengintip.
“Dia manis.” Murid SMA kelas dua memuji Kani, Kani diam, berdiri membelakangi.
“Dia tidak memiliki daya tarik apa pun, lihat penampilannya... kampungan. Dibandingkan dengan Reva, beda jauh, lah!” tandas Arif mencela dan Kani menghela napas, berusaha tetap tenang.
“Jangan lupakan satu hal bahwa dia juga bersikap sok jual mahal dan sok cantik!” geram Heri ikut-ikutan memaki, dia masih dendam karena hubungannya kandas dengan cara yang memalukan ditambah Kani dekat dengan laki-laki seperti Amarendra, dia semakin merasa direndahkan.
“Kau benar, kemarin kamu menyukainya adalah sebuah kesalahan.” Arif menyeringai kemudian tertawa. Heri tersenyum dan terus menatap punggung tegap Kani.
Setelah teman-temannya keluar, Kani pergi dan menyentuh rambut serta dagunya. Perlahan dia menunduk, melihat tubuhnya yang memang biasa saja. Tapi Arif, Heri dan mereka laki-laki yang di sana tak berhak mengomentari penampilannya atau penampilan siapa pun apalagi sampai dibandingkan, itu menyakitkan, menoreh harga dirinya.
“Kani.” Rosi berlarian mendekatinya dan Kani menoleh malas. “Nanti malam Minggu ada acara di rumah, datang, ya. Satu kelas juga aku undang, kok. Kamu nginep aja sama kayak Rara, Rere, Citra dan yang lain juga.” Rosi begitu riang berbicara dan Kani menggeleng.
“Aku nggak bakalan dapat izin, aku datang kalau acaranya siang-siang tapi kalau malam, aku nggak bisa, Ros.” Kani tidak mau mengambil risiko, dia juga malas menginap di rumah orang lain, tapi Rosi terus merengek. “Aku nggak bisa, Ros. Nggak ada pengaruhnya juga kalau aku nggak datang.”
Rosi cemberut dan melirik Reva.
“Ya sudah, tetep datang, ya. Nggak apa-apa nggak menginap juga.” Rosi membujuk lagi dan Kani mengangguk kecil. Setengah hati mengiyakan.
Ketika waktunya pulang, Kani menatap catatan belanjaan yang ditulis Ibunya. Dia berjalan sambil melirik kelas 12 A dan dari dalam kelas tersebut Amarendra melihat Kani lewat.
Kani terus melangkah dan dia sempat melihat Dahlia. Dahlia menawarkan diri, dia ingin ikut karena malas pulang sendirian, Kani tidak mau karena dia lebih suka sendirian.
Kani terus melangkah, menunduk, mendongak, melirik kanan-kiri yang terhampar luas persawahan. Kani tersenyum saat mendengar suara sepeda.
“Kamu mau ke mana?” Amarendra bertanya, turun, mendorong sepedanya agar bisa bersebelahan dengan gadis itu.
“Aku diminta belanja sama Ibu, mau menawarkan tumpangan?” Kani menoleh dan Amarendra tersenyum lebar lalu naik ke atas sepedanya dan disusul Kani. Baru beberapa menit sepeda melaju, hendak berbelok, Heri dari belakang muncul dengan mengendarai motornya kebut-kebutan. Sengaja dia pepet sepeda itu. Keduanya jatuh ke kebun di sebelah jalan. Amarendra tak bisa mempertahankan diri saat Heri menyenggol setang sepedanya kuat.
Kani mengaduh dan Amarendra lekas berdiri, menyingkirkan sepedanya, bertanya Mana yang sakit dengan wajah teramat khawatir.
“Tanganmu.” Kani panik melihat punggung tangan Amarendra terluka, berdarah, membentur sudut fondasi pembatas jalan yang sudah rusak itu, bagian bongkahannya yang runcing menusuk. “Maren...” Kani menjerit, matanya membulat sekaligus berair.
“Kita perlu menahan darahnya.” Kani melirik kanan-kiri, tak menghiraukan Amarendra yang memintanya tenang berulang kali. “Heri begitu karena kamu membawaku.” Kani merasa bersalah dan Amarendra mengernyit.
“Ini hanya luka kecil, tenanglah.” Amarendra berusaha meyakinkan dan Kani terus menatap punggung tangannya. Amarendra lekas membalut dengan sapu tangannya yang berwarna biru, Kani terlihat tenang saat darahnya tertahan walaupun merembes di antara serat-serat kain sapu tangan tersebut. “Kamu takut darah, Kani?” Amarendra bertanya sambil menarik sepedanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
.
si Heri dsar berandalan sekolah
2023-03-09
0
.
kita sama Kani, ga dpt izin kalau ke acara malm²
2023-03-09
0
haa
kasian pak muji,, semoga sehat terussss, jangan sampe meninggal ya kak mel 😅
2023-03-09
1