Keesokan harinya, Dahlia sedang memegang ponsel dan duduk di teras Musholla. Dia sedang menunggu temannya di toilet. Kebetulan ada Reva dan Citra, melihat apa yang dipegang Dahlia, Reva pun iseng mendekat.
“Itu Hp kamu?” tanya Reva dan Dahlia mendongak, menggeleng. “Aku minta nomor kakak kamu, dong. Biar gampang kasih kabar kalau ada apa-apa.” Reva mengeluarkan ponselnya dan Dahlia bangkit.
“Ini Hp temen aku, Teh. Bukan punyaku,” kata Dahlia dan Reva dengan Citra saling tatap. “Aku di rumah atau yang lain nggak punya Hp, termasuk Teh Kani.” Dahlia melanjutkan dan kening Reva mengerut.
Dahlia pamit saat temannya sudah selesai, mengembalikan ponsel yang dititip padanya sementara Reva dan Citra masih saling memandang.
“Aku sudah menebak, Kani bohong,” kata Reva kesal.
Citra menggeleng, berusaha menenangkan. “Pasti ada alasannya, aku sudah tahu jadi biasa saja. Waktu ibuku ke rumah Kani karena malam itu aku belum pulang, ibunya Kani menjelaskan kalau di rumah mereka yang punya ponsel cuman bapaknya Kani.”
“Kenapa kamu nggak bilang!” Reva menyentak dan Citra kaget.
“Itu hal sepele, kan?”
“Sepele apanya, sih. Kani bohong, dia selalu bilang punya Hp begini-begitu tapi nyatanya...dasar pembohong,” geram Reva dan Citra bungkam.
Ketika sudah pulang sekolah, saat Kani dengan adik-adiknya sedang menonton televisi, tiba-tiba Dahlia ingat dengan apa yang ditanyakan Reva. Kemudian dia menatap Kani lekat, apa kakaknya itu berbohong kepada teman-temannya di sekolah? Dan di rumah sangat mendesak ayah mereka untuk sebuah ponsel tanpa mau memedulikan situasi apa pun. Akhirnya Dahlia mendekat, bertanya.
“Teteh memangnya bilang sama teman-teman Teteh di sekolah punya Hp? Tadi aku tanya tentang nomor ponsel, aku bilang kalau kita semua nggak punya Hp termasuk Teh Kani. Teteh bohong atau gimana?” ujar Dahlia dan Kani terbelalak mendengarnya.
“Siapa yang tanya? Kenapa kamu jawab begitu.” Kani marah dan Dahlia takut. “Harusnya kamu bilang kita punya apalagi aku, ish!” Kani kesal dan Dahlia bingung.
“Teteh bohong?” tanya Dahlia hati-hati. “Kenapa nggak jujur saja? Kenapa harus bohong, mengaku punya Hp sama saja dengan tak mengakui kehidupan kita yang sulit ini.”
“Kamu nggak usah ikut campur, ini urusanku! Lain kali kalau ada yang tanya-tanya mending kamu mingkem. Membuat rumit keadaan saja!” hardik Kani sambil berdiri, masuk ke kamar dan Dahlia menghela napas.
“Kenapa, Teh?” Kenanga yang penasaran iseng bertanya.
“Enggak, ingat ini, Kenanga. Jangan pernah bohong, sekecil apa pun kebohongan pasti akan melahirkan kebohongan yang lainnya karena kebohongan itu harus ditutupi. Kita susah, ya, jujur saja jangan banyak drama yang malah bakalan bikin kita sulit di kemudian hari, kasihan bapak sama ibu kalau tahu kita bohong dengan keadaan rumah, sepatutnya kita bersyukur karena masih banyak di luar sana yang hidupnya lebih susah,” ungkap Dahlia dengan suara serak, miris dengan sikap Kani. Si Pemimpi yang lepas kendali dengan angan-angannya, menghalalkan segala cara untuk terlihat istimewa pada mereka di luar sana yang sebenarnya tidak pernah peduli.
Kenanga diam, melirik kamar di mana Kani mengurung diri, bingung harus bagaimana jika teman-temannya besok bertanya.
*****
SEOLAH Kani manusia paling salah, Reva mendesak Kani agar jujur walaupun Kani sudah menambal kebohongannya yang hampir bocor dengan kebohongan baru, itu tak membuat teman-temannya percaya dan diam kecuali Citra yang tak tega melihat Kani terus didesak agar mengakui kebohongannya.
“Aku memang punya.” Kani tetap bersikukuh.
“Mengaku saja, Kani. Kamu hanya memiliki Walkman itu, kan? Bukan Hp. Kenapa harus bohong, sih, sama teman sendiri?” Kini Teti yang berujar tegas dan Kani diam menatapnya.
“Aku sudah bilang, dia nggak punya Hp. Dia tukang bohong.” Rere yang mendengar ikut campur dan membuat Kani semakin tersudut. Beruntung, di kelas hanya ada beberapa murid saja, semuanya sudah keluar untuk menikmati jam istirahat mereka. Namun, separuh murid kelas tersebut mendadak kembali sementara Kani belum mampu meyakinkan teman-temannya ditambah dengan Rere yang terus menjadi bensin dalam percakapan serius tersebut.
“Aku nggak bohong, nanti akan aku bawa dan menunjukkannya pada kalian semua.” Kani tetap pada pendiriannya, lebih tepat pada khayalannya. Dalam hati, dia terus memaki ketidakberdayaan sang Ayah untuk membelikannya sebuah ponsel.
Reva dan Teti mendelik sinis, tak menyangka Kani begitu mengeyel padahal sudah ketahuan.
Hening, semua orang di kelas diam karena ingin mendengarkan perdebatan tersebut tentang apa sampai Kani diinterogasi, dia mencuri? Banyak yang mengira begitu karena di kelas tersebut akhir-akhir ini sering banyak yang kehilangan uang.
“Enggak heran kalau Kani bohong tentang Hp, entah apalagi yang dia ceritakan pada kalian, sebatas kebohongan yang ditutupi kebohongan lain. Orang tua Kani tak akan mampu membelikannya sebuah ponsel, beda dengan orang tua kita. Berapa, sih, gaji seorang kuli bangunan? Iya, kan, Kani?” Rere menyeringai dan Kani menatapnya tajam, matanya menyalak murka, dadanya terasa menyempit, sesak mendengar orang tuanya dibawa-bawa. Dihina.
Teti terlihat tidak tega melihat wajah memerah Kani, bukan itu yang dia mau, kenapa Rere mengungkit pekerjaan orang tua? Itu menyakitkan dan Kani hanya bisa mengepalkan tangan.
“Apa kamu merasa derajatmu tinggi, Re?” tegas Kani menimpali dan Rere tersenyum penuh bangga.
“Jelas, bapakku kerja di butik, penjahit dengan bayaran mahal, nggak kayak bapak kamu. Aku cuman bicara sesuai fakta, kok! Kenapa, nggak terima?” sewot Rere menyahut dan Kani yang sudah ingin mendebat lagi diam saat bahunya disentuh Citra.
“Dasar tukang bohong!” Reva memaki kemudian berlalu, tak punya pilihan lain bagi Teti untuk mengintil begitu juga dengan Citra. Kani menunduk, antara kesal dan hancur bercampur malu, kenapa bisa sepupunya bicara begitu? Itu benar, tapi apa sangkut paut dengan pekerjaan Bapaknya?
Di sekeliling, mereka diam tak tega, dan Kani akhirnya memutuskan untuk pergi dari kelas, sengaja menabrak bahu Rere kasar sampai gadis itu mengaduh.
“Kenapa kamu begitu, Kani?” tegur Rara yang baru masuk dan Kani tak peduli. Malas dia jelaskan ucapan busuk apa yang dilontarkan Rere padanya tentang Ayahnya. Merendahkannya sekaligus keluarganya di dalam kelas.
Saat jam istirahat habis, semuanya masuk ke dalam kelas kecuali Kani. Guru menanyakannya tapi semua tak tahu. Kani tidak pernah seperti itu sebelumnya. Dia bolos.
Waktunya pulang, semua berbondong-bondong keluar melewati pintu gerbang sekolah. Yana yang membawa tas Kani terkesiap saat seseorang menarik tas tersebut.
“Ini tas Kani, bukan?” tanya Amarendra dan Yana mengangguk. Amarendra melirik kanan-kiri, ke depan belakang tapi tak melihat gadis itu.
“Dia tak masuk setelah jam istirahat,” kata Yana dan Amarendra melepaskan tangannya.
“Bolos, apa ada masalah?” Amarendra terkejut.
“Untuk pertama kalinya, akan aku berikan tasnya besok walaupun kami bertetangga tapi ibunya akan marah besar jika tahu Kani bolos.” Yana mengeratkan cengkeraman pada tali tas selempang itu. “Anak-anak bilang dia bertengkar dengan teman satu Gengnya. Mungkin dia marah jadi malas masuk.” Yana menjelaskan lagi dan Amarendra membiarkannya pergi.
Jika marah, Amarendra tak terlalu cemas tapi jika sedih? Entah apa yang dilakukan gadis itu selama dua jam pelajaran yang dia lewatkan. Amarendra memarkirkan sepedanya di dekat kebun, dia berlari untuk mencari Kani.
Belakang sekolah, perpustakaan, setiap kelas yang sudah kosong, Aula, semuanya dia periksa dan saat memasuki kawasan hutan bambu di sebelah sungai, dia melihat Kani, gadis itu sedang duduk di atas batu sambil mendekap erat kedua lututnya di depan dengan rambut terurai. Dia terlihat hancur.
“Kenapa dia di sini?” gumam Amarendra sambil mengatur napasnya yang tersengal, keringat memenuhi wajahnya dan akhirnya dia turun untuk menyeret gadis itu lekas pulang, tidak menyendiri di tepi sungai seperti orang tidak waras.
Semakin dekat, Amarendra mendengar suara sesenggukan, dia akhirnya diam dan Kani yang sadar ada seseorang mendekatinya pun menoleh. Amarendra terkejut melihat wajah jelita itu sembab, dia menangis untuk waktu yang begitu lama. Amarendra duduk di sebelah Kani, memandangi arus deras air sungai yang berwarna jernih itu.
“Kenapa bolos? Kenapa di sini? Semuanya sudah pulang kecuali kita, ayo, aku antar. Tak akan aku tanya atau aku desak agar kamu bercerita, jika kamu percaya, kamu pasti akan menceritakannya sukarela.” Amarendra mendongak, menatap langit yang begitu cerah tapi mendung di sebelahnya membuatnya tak selera melihat keindahan atau merasakan sejuknya angin yang berembus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
.
bohong itu salah tp bukan hak kita utk menghakimi org lain
2023-03-09
1