Hari yang ditunggu Kani tiba, dia rela bergadang sampai pukul dua belas malam, menunggu di kursi sementara Ibunya terlelap di atas tikar sambil dipeluk Syamsir. Ibunya bangun saat dia menepuk lengannya. Lekas menyalami tangan suaminya dan dia tatap wajah suaminya yang bingung dan lelah itu.
“Pak, Hp aku mana?” ujar Kani setelah meletakkan segelas air putih. Dia menagih dengan wajah ceria.
Bapaknya bahkan belum duduk, dan Kani pun mendapatkan tatapan tajam dari Ibunya, tapi itu tak cukup membuatnya bungkam.
“Hp yang seperti aku mau kan, Pak?” Kani berkata lagi dengan penuh semangat.
Bapaknya baru saja selesai minum kemudian menatapnya.
“Bapak belum bisa beli Hp, do’akan saja semoga segera ada rrezeki Bapak sudah bilang tunggu saja, Bapak nggak bisa janji beli Hp dalam waktu dekat,” balas Bapaknya lemah lembut sambil mengelap keringat dengan bajunya sendiri.
Wajah Kani mendadak mendung, tangannya terkepal.
“Aku maunya secepatnya, Pak. Aku kira Bapak pulang bawa Hp itu,” tandasnya kasar dan Ibunya mendekat, mencubit sikutnya.
“Kamu nggak lihat Bapakmu baru saja sampai?” tegas Ibunya dan Kani merengut.
“Tapi, Bu. Aku butuh Hp, aku sudah janji pada teman-teman mau bawa Hp ke sekolah, kalau Bapak nggak bawa Hp, ngapain pulang?” Mata Kani berair, dia kecewa, dan Ibunya nyaris memukulnya jika Pak Muji tak menahan. Kani berlalu menghentakan kaki ke atas lantai rumahnya yang terbuat dari papan kayu tersebut, sangat berisik, membuat suara lemari yang berderik pun terdengar, adik-adiknya terbangun karena mengira ada gempa. Sesampainya di kamar, Kani menarik meja kecilnya yang penuh dengan buku, wadah pena, lampu meja, lalu semuanya dia sapu sampai teronggok di lantai.
Ibunya yang gemas ingin menegur tapi Pak Muji menahannya.
“Apa sikap seperti itu perlu kita biarkan, Pak?” Bu Ismi tak terima. Dia sakit melihat wajah lelah suaminya kini, tersaput kecewa. “Ini akibat Bapak mengiyakan segalanya yang dia mau.”
“Sudah sepantasnya kita membahagiakan anak, Bu..,” kata Pak Muji terpotong saat Syamsir keluar dari kamar dan menatap bingung.
Bu Ismi diam dengan menahan amarah sementara suaminya sibuk mengajak bicara anak bungsunya untuk mengalihkan perhatian.
Esok, Kani pergi ke sekolah tanpa menunggu adik-adiknya, dia pergi tanpa sarapan, menghindari Bapaknya yang menyapa sekaligus ia memasang wajah tak ramah. Ibunya sampai tak tahan menahan rasa kesal dan akhirnya menangis sambil mengaduk-aduk nasi goreng.
Semua adik Kani hanya sibuk saling memandang penuh tanya. Sudah dua kali Kakak mereka melewatkan sarapan padahal memiliki penyakit lambung sejak lama.
Empat hari Pak Muji di rumah, sikap Kani terus saja hambar dan menjauhinya. Putrinya protes sekaligus menganggapnya ingkar janji, padahal sudah dia pastikan akan membeli ponsel hanya saja butuh waktu sampai Pak Muji berangkat bekerja lagi, Kani masih menghindarinya dan Bu Ismi yang tak tahan sekaligus sakit hati menegur anaknya itu yang kini sedang belajar di depan meja kecilnya.
Bu Ismi berdiri di bibir pintu yang hanya ditutup gorden berwarna merah dengan karakter angsa. Dahlia dan Kenanga yang sedang belajar juga di atas kasur tampak tegang.
Suara gelas plastik terlempar nyaring dan isinya tumpah ke atas buku Kani.
“Kalau kamu memang tahu bagaimana caranya membeli sebuah Hp dalam waktu singkat, beli saja sendiri sana! Anak sulung kebanggaan bapaknya kini menyakitinya. Kamu tak pernah paham selelah apa bapakmu di sana, ketika mencari nafkah, hidupmu hanya sibuk bermimpi dan menyepelekan segala hal!” Bu Ismi tak bisa menahan nada tinggi yang bisa saja didengar para tetangga.
Kani menunduk, memegang pensilnya kuat-kuat. Namun, rasa kesalnya karena sebuah ponsel tak berubah. Dia menyalahkan keadaan juga pekerjaan Bapaknya yang dia rasa tak ada hasil dan tak berguna.
“Apa salah seorang anak meminta pada orang tuanya?” bisik Kani tapi itu didengar Bu Ismi yang kini mendekat dan menoyor kepalanya.
“Tapi permintaan kamu itu terlalu mahal untuk orang tua kamu yang miskin ini. Kenapa kamu tak paham juga, hah!” Bu Ismi menyentak dan air mata Kani berlinang. Bu Ismi berlalu saat meninggalkan kamar sempit tersebut. Lebih lama di sana, itu malah akan membuatnya semakin emosi. Kani berani menjawab ucapannya, Bu Ismi merasa semakin terluka.
Kani masih diam di tempatnya, kedua adiknya di belakangnya saling menatap.
“Kita jangan seperti dia, selalu bermimpi, tak sadar juga dengan kenyataan hidup,” kata Dahlia pada Kenanga yang kini langsung menunduk. Sindiran itu membuat Kani menoleh cepat.
“Kenapa kamu bersikap sok dewasa, Dahlia! Kamu juga sama memiliki mimpi, bahkan mungkin lebih banyak dariku!” tandas Kani dengan mata merah dan basah sekaligus melotot. Dia lempar buku basahnya tepat pada wajah Dahlia. Dahlia menahan tangis dan Kenanga melerai keduanya, jika tak berhenti, Ibu mereka akan kembali datang dan kali ini mungkin akan memarahi mereka bertiga.
Dahlia melempar buku Kani ke lantai kemudian dia meringkuk, memaksakan matanya terpejam walaupun basah.
****
KANI menyeka air matanya, dia menyendiri di belakang sekolah terbayang terus kejadian semalam saat Ibunya marah besar. Sesekali Kani sesenggukan, dia sangat ingin ponsel baru apalagi setelah tadi pagi Citra memamerkan ponselnya yang sudah mendapatkan izin untuk dia bawa ke sekolah. Lantas dia? Semakin gencar ditanyai ketiga temannya tentang nomor dan ponselnya. Entah harus bagaimana lagi dia menjawab apalagi jika ketiga temannya tahu dia bohong.
“Pukul dia!” Suara teriakkan yang Kani kenal membuatnya menoleh dan itu Aldi, meminta Heri memukul Amarendra yang keduanya seret dengan kasar. Amarendra terlihat tenang, atau entah dia pasrah walaupun bajunya sudah kusut dan kancingnya pula terlepas.
“Jangan dekati Kani! Dia milikku, kau paham? Kau hanya murid baru, jangan sok berkuasa karena para gadis memujamu, itu tak akan lama!” Heri terus membentak-bentak dengan wajah yang sangat dekat dengan wajah Amarendra, dia terus mengeratkan cengkeraman karena tak kunjung melihat ketakutan di wajah Amarendra.
“Jangan kau kira pula aku tak tahu bahwa Kani terpaksa menerimamu. Dia tak suka padamu, belum tentu juga kami ada hubungan, kamu salah sangka. Kami hanya dekat karena pertemuan singkat tanpa kesengajaan. Masalah aku antar dia waktu itu karena kau membuatnya menangis,” ujar Amarendra menjelaskan, menepis tangan Heri, ia melawan dan Heri semakin kesal kemudian mengangkat tangannya tapi dia berhenti saat Kani menepis dan mendorong dadanya agar menjauhi Amarendra.
“Cukup, Heri! Kamu apa-apaan, sih!” Kani menegang, dia yang sedang kesal tambah emosi. “Kamu nggak berhak untuk bersikap kayak begini, kita nggak ada apa-apa, dan aku pun nggak punya rasa apa-apa sama kamu.” Kani terus berdiri membelakangi Amarendra. Dia takut laki-laki itu cedera karena Heri kemudian dia akan terkena masalah.
“Kamu suka sama dia? Mengaku saja, semua orang bisa melihat itu. Kami nggak buta!!” Aldi memprovokasi dan Kani menggeleng kepala, muak.
Kani menatap bahunya yang disentuh Amarendra.
“Kamu bohong waktu itu bilang kamu dengan dia ada hubungan, hanya untuk menghindari aku?” Heri menunjuk dirinya sendiri dan Kani diam. “Dia nggak lebih baik dari aku, Kani.”
“Setidaknya dia nggak pernah memaksa aku kayak kamu,” balas Kani dan Amarendra menatapnya, dia melihat wajah lelah dan sembab gadis itu. Menangis, kenapa? Pertanyaan itu muncul dan membuatnya ingin lekas mengakhiri perdebatan tidak penting ini.
“Kalau aku sama Kani benar-benar ada hubungan kamu bisa apa?” seru Amarendra membuat semua mata mengarah padanya. “Kami memang dekat, kok.” Amarendra sekarang yang bohong, tak tega melihat Kani terus-terusan dikejar Heri.
Kedua mata Heri dan Aldi membulat sementara Amarendra menatap Kani lekat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
𝕸y💞𝕄𝕆𝕆ℕ🍀⃝⃟💙
hadeh bocah blm kelar puber pakai ngomong kepemilikan, kocak kau Her 🤣
2023-05-13
0
🌻 G°°Rumai§ha°° 🌵
Emang gak salah Kani kalo seorang anak minta sama ortu nya, tp ya liat kondisi dong, kan udah dibilang pasti dibeliin cuman harus sabar nunggu ada rezeki dulu..
2023-04-13
0
🔵🎯Tati
Tak baik bersikap tak. sopan pada orang tua. Tidak semua keinginan kita bisa di penuhi, lihat kondisi, janganlah jadi anak yang tak berbakti
2023-03-26
1