“Kani, kalau aku sudah lulus, aku mau langsung cari kerja. Nggak mau kerja di peternakan ayam milik bapakku lagi, ah.” Heri nyengir, menatap langit biru, indah seperti keindahan di sebelahnya yang tak pernah bisa dia dekati apalagi dia nikmati. Kani mahal, dia tahu. Kani bukan perempuan yang seperti sebelum-sebelumnya, tak gampang dia rayu apalagi digerayangi.
“Ya terserah, itu urusan kamu,” kata Kani walaupun lagu berputar mengisi telinganya, dia tetap bisa mendengar ocehan Heri.
Kedua mata Heri membulat. “Loh, kok cuman urusan aku? Kan kamu pacar aku. Dukung, dong, biar aku semangat tahu! Kan kalau aku dapat kerjaan enak, gaji gede, makin gampang menabung buat nikahin kamu.” Heri mengedipkan matanya genit dan Kani menimpuknya dengan buku yang dia tatap tapi tak bisa fokus dia baca. Kani sedari tadi cemas, takut tiba-tiba Heri mendekat dan macam-macam.
“Aku nggak mau nikah sama kamu, kita ada hubungan karena paksaan, ya! Ingat itu. Aku mau putus, males!” Kani emosi, mendadak di tempat sunyi sepi begini Heri membicarakan pernikahan, dia merasa ngeri. Dia saja masih SMP. Heri panik karena Kani pergi, dia menyusul dan Teti dengan pacarnya yang sedang bercumbu di tepi sungai kaget mendengar suara Heri.
“Aduh, apa ada warga yang melihat kita pacaran, ya?” kata pacar Teti, Aldi. “Sudah, ayo pulang.” Ia menarik tangan Teti dan Teti juga panik sambil celingak-celinguk mencari Reva dan Citra entah di sebelah mana.
Kani terus berjalan, memasukkan buku ke tas, Heri merengek tak mau putus sampai Aldi yang melihat sahabatnya merendahkan diri begitu merasa kesal.
“Putus? Loh, kenapa? Baru juga seminggu.” Teti mengotot kepada Kani dan Kani mendelik tajam.
“Iya aku putus sama Heri, aku duluan, jangan bawa-bawa aku lagi kalau kalian mau pacaran.” Kani membalas dengan tegas, Teti kesal dan ia berlalu pergi.
“Sok cakep, najis!” teriak Aldi dan Kani yang mendengar tak peduli.
“Kani sama Kak Heri putus?” tanya Citra sambil mengempit tangan Teti. Teti mengangguk dan Reva sibuk memeriksa riasannya kemudian dia mendekat.
“Ya sudah, sih. Cewek banyak, Her. Jangan kayak begitu, ah. Kamu ganteng, kok, masih banyak yang mau sama kamu.” Reva tak terlalu ambil pusing, dia sudah memprediksi ini, Kani tak akan pernah tertarik dengan laki-laki dari sekolah mereka.
Heri membelakangi semuanya, tetap tak terima. Diputuskan oleh perempuan sangat menodai harga dirinya sebagai playboy yang tadinya akan Insaf karena dia benar-benar menyayangi Kani.
Keputusan Kani untuk mengakhiri hubungan membuat Heri marah tapi tak patah semangat untuk kembali mendapatkannya dengan cara yang lebih baik. Tapi Kani, lagi-lagi dia menjauh dan Heri selalu memergoki tatapan Amarendra kepada gadis yang dia sukai itu.
Pulang sekolah, Kani mengajak kedua adiknya ke sungai untuk mencuci pakaian, itu tugasnya, dua adiknya mencuci perabotan rumah yang hitam legam. Memasak di tungku berisiko meninggalkan noda hitam di pantat wajan atau panci, susah bilang dan perlu banyak air untuk mencucinya. Tak ada banyak air di Sumur mereka, hanya cukup untuk mandi. Mencuci harus dilakukan di Sungai.
“Teh, bapak masih lama pulangnya?” celetuk Kenanga.
Kani menggeleng tak tahu.
“Sudah dua Minggu bapak pergi, pasti pulang malam ini.” Dahlia ikut berbincang dengan riang. “Aku mau minta tas baru.”
“Bukannya sudah ibu jelaskan padamu, jangan banyak mau ini, itu.” Kani menegur dengan sewot. Dahlia langsung murung dan kembali memulas pantat panci dengan sabun colek dan bubuk abu yang dibawa dari dalam Tungku di rumah mereka.
“Kapan, ya, bapak naik pangkat? Jadi pemborong. Lebih banyak uangnya, setidaknya kita bisa makan dengan telur murni satu biji, bukan telur dadar dicampur tepung...lebih banyak tepungnya.” Kenanga menunduk, anak perempuan kelas lima SD itu takut kena sembur kakak-kakaknya.
“Bapak temanku juga di bangunan tapi pemborong, rumahnya besar dan mewah, rumah kita?” Dahlia menyambung keluhan Kenanga.
“Apa yang bisa kita harapkan dari bapak? Bapak orangnya jujur, lebih baik hidup biasa daripada harus korupsi,” sahut Kani dan kening kedua adiknya mengerut tak paham. “Para pemborong tak semuanya jujur, mereka sering memakan uang para kuli. Dunia itu menipu jika kita tak tahan. Tak selamanya juga kita bisa mengandalkan bapak, kita sudah beranjak dewasa, sekolah yang baik, jadi orang hebat, setidaknya punya pekerjaan yang menjamin. Mengangkat derajat keluarga, apa itu tak terlintas di pikiran kalian? Bapak sudah tua, jangan terlalu berharap.” Kani menyentak di akhir ucapannya, kedua adiknya mengulum bibir, tak berani lagi berkata-kata.
Mereka bertiga bekerja tanpa bicara lagi sampai selesai dan pulang. Di rumah, Ibu mereka dengan wajah cerah sedang memasak, kemudian bilang bahwa Bapak mereka akan pulang. Semuanya senang, beres-beres rumah walaupun lelah, kemudian pergi mengaji bersama. Sampai malam akhirnya menerpa, sudah pukul sembilan mereka semua masih terjaga. Hanya bisa menunggu dan berdoa semoga kepala keluarga baik-baik saja di perjalanan.
Syamsir sudah berkali-kali bertanya, sampai kena omel dan semua Kakaknya diam daripada bertanya juga dan kena omel lebih parah.
Pukul sembilan lewat, suara ketukan sepatu membuat bibir Kani mengembang senyuman manis. Syamsir memburu pintu, membuka, dan terlihatlah sosok Bapak mereka. Semuanya menjawab salam, satu-persatu menyalami tangan kasar itu.
Di wajah ceria Bapak mereka, Pak Muji. Tersimpan lelah yang teramat dahsyat tapi dia tenggelamkan dalam-dalam ketika berhadapan dengan istri dan anak-anaknya. Siap sedia saat si Bungsu ingin duduk di pangkuan walaupun lututnya pegal dan betisnya kebas. Tiga jam perjalanan, naik turun Bus, bosan saat macet, tetap menyempatkan diri untuk membeli oleh-oleh. Makanan favorit dari kedai langganan yaitu Bakso yang harumnya merangsang hidung. Anak keduanya bahkan sudah semangat ke dapur mengambil mangkuk dan sendok. Kakaknya membuat kopi dan satu gelas air putih, Ibunya memindahkan goreng singkong yang masih hangat ke atas piring.
Pak Muji meneguk empat kali air putih sampai habis, meraih dua potong singkong yang dipotong kecil-kecil, rasanya gurih dan lezat apalagi ketika ditambah menyeruput kopi hitam.
“Ini kopi yang waktu Bapak panen, Bu?” tanyanya dan Bu Ismi mengangguk sopan. “Pantas, beda, lebih enak dan harum.” Dia tersenyum dan mencobanya lagi dan Syamsir sudah merosot untuk menyantap Baksonya.
Pak Muji menatap semua wajah bahagia anaknya, satu-persatu, lama pada Kani. Anak sulungnya yang sudah besar dan cantik. Ia selalu merasa pangling melihat anak pertamanya itu.
Pak Muji selalu mengatakan “Anak saya masih sekolah” ketika banyak kawan-kawannya yang menyinggung Kani untuk dipersunting sebagai menantu. Pak Muji tak mau anak-anaknya putus sekolah, minimal SMA, dia akan berjuang untuk itu.
Setelah semuanya kenyang, mereka mengobrol, satu-persatu menguap dan mengantuk. Akhirnya mereka bubar, bersih-bersih dan siap tidur. Kani yang satu kamar dengan Dahlia dan Kenanga terus diam, tak kunjung mengantuk setelah membasuh muka dan menyikat gigi.
Kani menatap langit-langit kamarnya, seketika kaget saat tangan Dahlia jatuh menimpa hidungnya, dia singkirkan kasar, adiknya terlelap dan tangannya sibuk memukul atau mencari-cari bantal dan selimut. Kani hanya bisa mendesis dan diam lagi. Berhari-hari dia tak bisa tidur, sampai kesiangan, sampai bermimpi pula memiliki ponsel. Apa dia harus memberanikan diri mengungkapkan keinginannya itu pada Bapaknya dan harus ketika Ibunya tak ada. Dia takut kena amuk.
Kani menggeleng, memejamkan mata, mungkin lebih baik dia cepat-cepat tidur karena memiliki ponsel di dalam mimpi tak perlu uang untuk membelinya.
Mimpi hanya bunga tidur, dia tak akan bisa lebih lama lagi melakukannya.
Paginya, semua sarapan bersama. Kalau ada Bapak suka beda, itu yang dibisikkan Kenanga pada Dahlia dan Dahlia tersenyum sepakat. Bagaimana tidak, mereka sarapan cukup mewah pagi ini, telur dadar dan mie goreng dengan campuran sawi hijau. Semuanya makan dengan lahap, Pak Muji memperhatikan mereka satu-persatu sambil tersenyum.
“Belajar yang benar,” katanya lembut dan semua anaknya mengangguk.
“Pak, boleh bawa uang jajan hari ini?” tanya Dahlia dan Kani mendelik. Dia yang seharusnya bertanya begitu.
Pak Muji mengeluarkan uang recehan, membagi anak-anaknya dan semuanya senang. Kani tersenyum, lima belas ribu yang dia dapat, jika Bapaknya pulang selalu begini, mungkin dia akan segera punya ponsel walaupun harus menabung cukup lama.
Setelah sarapan, semuanya berangkat, Ibu dan Bapak mereka pergi ke kebun untuk memetik kangkung dan memeriksa pohon jagung. Juga berharap dapat sayuran yang lain.
***
Di sekolah, Amarendra melihat keceriaan di wajah Kani, tak seperti biasanya. Gadis itu sedang duduk menonton mereka yang sedang bermain Voli mengisi waktu istirahat, kemudian Yana menariknya agar ikut bermain. Kani bersedia, mengencangkan ikat rambutnya.
Amarendra meraba ponselnya di saku yang bergetar, dia meninggalkan tempatnya karena itu panggilan dari Bundanya. Amarendra masuk ke dalam kelas, di pojok, dan sudah mengangkat telepon.
“Kamu baik di sana, Maren?” tanya Bundanya dan ia mengiyakan. “Bagaimana kabar Abahmu?”
“Baik. Bunda sehat?” tanyanya dengan suara amat serak. Tak lama matanya memupuk buliran bening, jelas sekali bahwa dia merindukan Bundanya. “Bund...kangen.” Amarendra tercekat.
“Bunda baik di sini, kangen juga sama kamu. Jaga diri, jaga perilaku, jaga Abah. Bunda pulang pekan besok,” balas Bundanya sambil terisak dan Amarendra diam sambil menatap kosong. “Betah di sekolah baru? Sudah hampir satu bulan. Ada yang mau berteman denganmu di sana?” sambung Bundanya serius.
“Betah, Bund. Banyak yang mau berteman, mereka tak tahu siapa aku. Tapi, aku kadang capek mengayuh sepeda, di sini tak ada kantin, setiap pagi mejanya penuh debu, dan toiletnya sangat jorok.” Amarendra sedikit mengeluh dan Bundanya terkekeh.
“Sabar, Nak, itu tak seburuk yang kamu pikirkan, bukan? Sekolah itu lumayan.”
Amarendra menyimpul senyum. “Hmm, iya. Tak seburuk yang aku pikirkan.” Ada intonasi suara yang berbeda, membuat Bundanya hening beberapa detik.
“Ada gadis cantik di sana? Ibu merasa ada sesuatu yang aneh di balik ucapan kamu, Maren.” Bundanya menggoda dan Amarendra menggeleng cepat, takut ketahuan. “Siapa namanya, Nak? Kelas berapa? Atau jangan-jangan guru muda yang kamu suka itu.”
Amarendra mendesis. “Hanya kagum karena dia berbeda, dia bukan hanya cantik, dia manis tapi sedikit masam, dia juga jutek dan pintar.”
“Oo... istimewa sekali, terdengar jelas itu, Nak.” Bundanya menggoda lagi dan Amarendra cengar-cengir. “Selesaikan sekolahmu, jangan dulu pacaran, Bunda tak pernah izinkan. Ingat?”
“Hmmm.” Amarendra merajuk, cemberut. Tak lama Bundanya lekas mengakhiri panggilan karena harus kembali bekerja. Amarendra hanya bisa mengiyakan tak bisa menahan. Dia sangat rindu pada Bundanya.
Amarendra yang baru ingat sesuatu lekas berdiri, dia sangat ingin melihat Kani bermain Voli tapi baru kakinya keluar, bel sudah berbunyi. Amarendra hanya bisa melihat Kani sedang dirangkul pemuda tadi yang menariknya. Keduanya berjalan bersama dan Kani mengusap lehernya yang penuh peluh. Amarendra tersenyum tipis.
“Amarendra,” sapa Bela gadis cantik di kelas 12 tersebut yang sudah mencari celah untuk mendekati Amarendra tapi tak bisa. Amarendra menoleh dan masuk, mengabaikannya, membuat gadis itu kesal dan melihat siapa yang sedang dilihat Amarendra sampai senyum-senyum begitu. “Apa? Kani? Yang benar saja.” Dia mendelik kemudian mengibaskan rambutnya, merasa paling pantas untuk dilihat daripada gadis yang lusuh itu baginya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
🔥⃞⃟ˢᶠᶻ🦂⃟ᴘɪᷤᴘᷤɪᷫᴛR⃟️𝕸y💞hiat
demi sesuap nasi jarang berkumpul bersama keluarga, ketika datang semua bahagia
2023-03-13
1
æ⃝᷍𝖒🐰🐰 A̮g̮r̮a̮ 🐇🐇𖣤᭄
kebahagiaan saat berkumpul sama bapak yg jarang pulang.....
2023-03-13
1
Sm03 💜💜💜💜💜💜💜
duh blm apa² aja Kani udh ada musuh aja
2023-03-08
1