Lengang cukup lama, Kani memulas air matanya, tangan laki-laki itu terulur memberikan botol minumnya yang sisa setengah. Kani menerima, meneguknya sampai habis. Amarendra diam, menyandarkan dagu pada kedua tangan yang dia lipat di atas lutut, kepalanya miring pada Kani, menatap bulu mata basah, hidung merah, dan bibir mungil bergetar itu.
“Dia menghina pekerjaan bapakku, aku salah tapi kenapa mereka mendesak agar aku mengakui seperti seorang penjahat. Mereka berlagak sok suci. Rere mungkin tersinggung dengan apa yang kamu lakukan waktu itu, dia membalasnya hari ini, mengungkit pekerjaan bapakku yang hanya kuli bangunan. Apa dia benar mengagulkan pekerjaan orang tuanya dan merendahkan kami yang bapaknya sebatas kuli?” ujarnya bercerita, dengan suara tercekat, bibir bergetar hebat dan Amarendra tahu sakit yang dialami Kani.
“Hanya pecundang yang membawa orang tua ke dalam perdebatan yang tak seharusnya melibatkan mereka. Rere tak punya senjata lain untuk menyerangmu selain merendahkan pekerjaan bapakmu. Aku tahu itu sakit, kamu kecewa apalagi yang mengatakannya kerabatmu sendiri. Seharusnya dia menjaga harga diri saudaranya bukan malah sebaliknya, tapi begitulah manusia yang bisa baik dan jahat serta berubah sesuai perubahan suasana hatinya, untuk hal yang kamu lakukan itu tak benar, tak sepatutnya kamu bolos.” Dengan lembut Amarendra membalas, Kani terisak kembali dan Amarendra terus menatapnya.
“Seharusnya kamu menampilkan sikap tegar apa pun yang terjadi, agar mereka melihat bahwa kau sangat kuat seperti kuatnya bapakmu mencari nafkah dan mengangkat harga dirimu. Tak ada pekerjaan yang salah selama itu halal, berbanggalah Kani, bapakmu luar biasa dan tak perlu kamu memikirkan ucapan busuk dari mulut Rere. Jika bapak dan ibumu tahu kamu bolos, kamu tahu mereka akan sangat kecewa.
“Semua manusia memiliki badai dalam kehidupannya sendiri, masing-masing, sesuai porsi, termasuk laki-laki di sebelahmu dan termasuk mereka di luar sana yang tak kamu ketahui. Banyak derita tapi mereka tetap bisa tampil baik-baik saja, mengapa? Karena banyak orang yang berbahagia saat kita memperlihatkan kesedihan, saat kita terlihat rapuh dan rendah. Apa pun masalahmu, berdirilah dengan tegap, agar mereka segan untuk menyerangmu karena kau tampil kuat.”
Amarendra berbicara sambil terus menatap kupu-kupu berwarna kuning berpasangan di seberang sana. Kani yang mendengar ucapannya hanya diam terpaku menatap derasnya arus sungai kemudian kepalanya perlahan tertoleh pada Amarendra.
“Untuk apa kita tampil kuat nyatanya kita lemah, Amarendra?” tanya Kani pelan dan pipinya masih basah.
Amarendra menoleh, menyeka pipi gadis itu penuh kelembutan.
“Hidup ini panggung sandiwara dan kita pemeran utamanya, tampilkan sosok karakter terbaik, tegar, kuat, pantang menyerah agar mereka takjub bukan merendahkan. Semakin banyak sandiwara yang luar biasa, semakin besar pula pujian yang akan kamu dapat dan itu berbeda dengan kebohongan.”
Kani menggigit bibirnya yang bergetar hebat, merasa tersentil dengan ucapan lelaki itu.
“Kamu berbicara seolah hidupmu juga menderita,” kata Kani sambil memandang ke dalaman mata sayu Amarendra.
“Aku bahagia, sama sekali tidak menderita. Kamu juga sama tapi kamu terlalu sibuk bermimpi. Hidup itu dijalani, bukan kita yang berhak mengatur jalan ceritanya. Aku, dukaku, tak perlu kamu tahu. Tapi dukamu, kau bisa berbagi denganku.
“Sudah cukup menangisnya, ayo pulang, jangan telat dan membuat ibumu banyak bertanya nanti. Mungkin besok kau akan dipanggil ke kantor untuk menjelaskan kenapa kau bolos. Hadapi jangan dihindari, itu konsekuensi dari tindakan gegabah yang kamu ambil dan jangan diulangi.” Amarendra tersenyum tipis dan perlahan Kani juga tersenyum. “Merasa baikkan?”
“Karenamu,” singkat Kani dan Amarendra lekas berdiri. Kani mengikuti kemudian keduanya pergi meninggalkan sungai, sesampainya di atas, mereka berpapasan dengan Reva, Teti, dan Rere dengan pacar mereka di belakangnya.
Kani menunduk, tak mau memandang siapa pun. Amarendra lekas menarik tangan Kani dan tatapannya yang begitu tajam mengarah pada Rere yang langsung ciut bersembunyi di belakang Faisal.
“Lihat, dia juga bohong dengan hubungannya!” tandas Reva dan Teti menyenggol karena ada Arif. Reva menelan ludah, takut Arif salah sangka.
Sore-sore saat Kani sedang memperhatikan Syamsir main kelereng di depan rumah. Ayahnya si Kembar muncul dan mendekat, Pak Ganda namanya, menanyakan tentang Rere yang belum pulang. Dari dalam rumah, Bu Ismi yang mendengar kedatangan kakaknya pun keluar. Bertanya ada apa dan tersentak mendengar keponakannya belum pulang.
“Kamu tahu Rere ke mana?” tanya Pak Ganda.
Kani melirik Ibunya yang tampak cemas tapi Kani merasa ini kesempatan untuk membalas perbuatan Rere.
“Kani sudah pulang dari tadi, A’. Seperti biasanya, kok bisa Rere belum pulang, ya?” ujar Bu Ismi lalu menatap Kani lekat, bersyukur anaknya itu selalu pulang tepat waktu, telat jika ada urusan dan selalu izin.
“Biasanya dia pacaran di belakang sekolah atau di Vila yang punya orang Batak itu,” celetuk Kani dan Pak Ganda melotot, tak percaya. “Enggak ada tugas dari sekolah yang sampai sore atau malam baru pulang,” sambungnya dan Pak Ganda menunduk malu. Dia sudah mendengar hal tersebut dari orang-orang yang melihat Rere di Vila kosong tak jelas kapan akan dikunjungi pemiliknya itu.
“Waktu tugas foto copy ke Terminal itu gimana, Kani?” tanya Bu Ismi.
“Rere pulang magrib waktu itu,” kata Pak Ganda.
“Loh, tapi Kani pulang masih siang, kok, A’. Telat ya karena terminal jauh, jalan kaki.” Bu Ismi bingung dan Kani menelan ludah, mampus jika dia ketahuan sering diantar pemuda yang memakai sepeda itu.
Pak Ganda semakin merah wajahnya mendengar penjelasan Bu Ismi. Tak berpikir panjang dia pamit pulang untuk mendesak Rara agar jujur. Rara selalu pulang tepat waktu, hanya sesekali telat, tapi Rere terlalu sering dengan berbagai macam alasan.
Dan benar saja, hari ini Rere pulang saat Isya. Habis kena semprot Bapaknya yang sudah sering mendengar aduan warga sekitar. Rere yang takut pun hanya bisa menangis. Berjanji dalam hati untuk membuat perhitungan pada Kani yang sudah mengatakan hal-hal aneh pada Bapaknya walaupun semuanya itu benar dan Rara, saudara kembarnya tak bisa menolong, Rere memang keterlaluan saking tergila-gila pada Faisal.
***
Pembohong, itu yang tersemat pada sosok Kani, dia juga dijauhi dan Kani mengurung diri di kelas. Kani mengangkat kepala saat Yana meletakkan satu bungkus Bakwan yang dipotong kecil-kecil kemudian diguyur sambal kacang dan kecap. Aromanya merangsang hidung gadis itu, jajanan favorit semua orang di sekolah tersebut. Ditambah satu bungkus Es kemasan rasa jeruk.
“Tumben.” Kani tersenyum.
“Bukan dariku tapi dari dia.” Tunjuk Yana dengan ekor matanya. Kani tak jadi meraih makanan di atas mejanya dan dia menatap keluar, melihat punggung Amarendra di antara siswa SMA yang lain. “Jujur saja, Kani. Kamu dengannya pacaran?” Yana tersenyum, sudah melahap bakwannya.
“Kembalikan itu.” Kani tak mau berutang, dua mangkok bakso saat itu saja menyiksa pikirannya.
Yana melotot dan mencondongkan badannya. “Jangan begitu, punyaku saja sudah aku makan, masa harus aku muntahkan di hadapanmu? Kau harus memakannya, itu yang dia bilang, cepatlah.”
Kani yang lapar dan tidak mau Yana benar-benar memuntahkan apa yang sudah dia makan pun lekas menerima, matanya terus keluar, melihat Amarendra.
“Ngomong-ngomong dia baik, aku setuju kamu dengannya daripada sama si Heri berandalan itu.” Yana cengengesan.
Alis Kani terangkat sebelah.
“Apaan, sih.” Dia melemparkan tatapan sinis dan Yana tidak peduli. Dia paham bahwa Amarendra memiliki rasa, tak mungkin dia peduli jika tak ada sesuatu yang spesial.
Disela mereka menikmati makanan dari Amarendra, Yana menceritakan tentang Amarendra yang terlihat cemas dan langsung mencari Kani hari itu, saat Kani bolos. Kani diam mendengarkan. Tidak peduli, lebih tepatnya pura-pura tidak peduli.
Waktunya pulang sekolah, Kani mengencangkan ikatan rambutnya dan dia lekas berlari saat melihat Amarendra hendak pulang.
Laki-laki itu kaget melihat Kani menghadang jalannya, bahkan sekarang memegang setang sepedanya.
“Terima kasih untuk yang tadi, makanannya.” Kani terlihat malu-malu mengatakannya dan Amarendra diam, memperhatikan dengan intens gelagat menggemaskan gadis tersebut bahkan kedua kaki mungil di balik rok panjang semata kaki tak bisa diam.
“Hanya kebetulan, itu bukan apa-apa tapi apa kamu menikmatinya?” balas Amarendra, bertanya sambil tersenyum simpul dan Kani mengangguk. “Habis?” tanyanya lagi dan Kani mengangguk lagi.
Amarendra tersenyum puas, dia berlalu pergi, mengayuh sepedanya kencang, dia terlihat buru-buru dan Kani berjalan sambil memperhatikannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
.
siapa sebenarnya Maren ya??
2023-03-09
0