Di tempat lain, di sebuah kota dengan udara teramat panas menyengat kulit, sama sekali tak membuat gentar para pekerja bangunan yang sedang membangun sebuah ruko. Salah satu di antara pekerja itu Pak Muji. Pria berumur 36 tahun yang berjuang keras mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya di kampung. Pria yang terkenal ramah di tempat bekerja, dalam pergaulan, apalagi di kampungnya. Sosok sederhana, alim, tak pernah meninggalkan kewajibannya saat sibuk ataupun lelah. Walaupun terkadang, mandor selalu memakinya, disangka berleha-leha.
“Pak, yang perawan sudah menikah belum?” seru temannya Jarwo yang mendengar bahwa Pak Muji memiliki anak perawan yang jelita.
Sambil tertawa kecil ia menyahut. “Masih sekolah, SMP.”
“Kirain sudah selesai sekolahnya, mau saya jodohkan dengan anak saya.” Jarwo terkekeh sambil melirik anaknya yang ikut bekerja dengannya. Pak Muji terdiam, tetap memasang senyuman walaupun terlihat sedikit terpaksa. “Tak perlu ke SMA, Pak. Anak gadis tak perlu sekolah tinggi-tinggi, yang paling penting dia paham setelah menikah mengenai kewajibannya di kasur, di sumur, di dapur.” Dia melanjutkan kemudian tertawa dan Pak Muji menggeleng sambil memasang senyuman hangat.
“Saya dan istri saya bodoh, tak sekolah tinggi, hanya sampai SD. Kalau anak-anak, saya maunya semua sekolah tinggi. Kehidupan semakin maju, penting walaupun ujung-ujungnya perempuan di rumah. Jadi seorang istri dan seorang ibu, kan, harus pintar, Pak.” Pak Muji membalas dengan hati-hati, takut temannya sakit hati. Benar saja, temannya itu mendelik kasar.
“Ah, Pak Muji. Kita ini cuman kuli, harus banyak-banyak sadar diri. Realistis saja, Pak,” ungkapnya kemudian membuang muka, menjauh sambil bergumam memaki.
Pak Muji hanya tertawa-tawa hambar, berusaha baik-baik saja walaupun semangatnya berhasil dipatahkan ucapan temannya itu.
Dalam hati, Pak Muji mana rela membiarkan anak paling besar dan jelita kepada anak temannya. Dia tak mau kehidupan yang begini juga untuk anak cucunya, tak ada yang salah dalam keinginan Pak Muji. Semua orang tua ingin yang terbaik.
****
“Kenapa kamu bisa telat?” ujar Teti dengan Kani yang baru keluar dari kelas.
“Aku telat bangun,” balas Kani sambil memegang buku yang harus segera dia kembalikan ke Perpustakaan.
“WOY! Ayo jajan!” teriak Reva dan Teti mengangguk.
“Ayo..,” kata Teti tapi Kani menyela.
“Aku harus ke Perpustakaan.” Kani melangkah pergi dan Teti menghela napas.
Kani terus melangkah bahkan menutupi kepalanya dengan Hoodie jaketnya yang berwarna abu sudah luntur itu. Setelah dia masuk ke Perpustakaan, dia menjelajah, mencari buku selanjutnya untuk dia baca. Kani terdiam sejenak saat melihat sebuah buku berjudul Animal Farm Novel George Orwell yang menarik perhatiannya. Tangannya terangkat untuk meraih tapi orang lain lebih dulu mengambilnya. Kani diam saat melihat murid baru itu dengan teman-temannya. Dia bahkan tak sengaja menyentuh punggung tangan laki-laki itu.
“Kani, sayang sekali, teman kami lebih dulu mengambilnya.” Murid SMA bernama Raihan sedikit mengejek sambil merangkul bahu Amarendra. Kani mendelik dan berlalu.
“Tunggu,” kata pemuda yang dirangkul Raihan tadi mengejar. Kani berbalik dan menatapnya. “Ambil.” Dia mengulurkan buku itu dan Kani menggeleng.
“Aku sudah membacanya, hanya melihat.” Dia tersenyum lebar dan menggerakkan tangannya, Kani tak kunjung menerima. “Amarendra.” Pemuda itu memperkenalkan diri, menunjuk nama di seragamnya dan Kani menerima buku itu. Wajahnya perlahan menunduk saat mendapati kedua mata Amarendra menatap kedua matanya lekat, Amarendra tersenyum halus melihat kedua mata itu berpaling darinya.
“Terima kasih,” kata Kani datar kemudian dia melengos. Amarendra mengangguk dan menoleh saat Raihan merangkul bahunya.
“Kau kenal dia, Rai?” Amarendra bertanya sambil terus memperhatikan gadis itu.
“Kami berasal dari kampung yang sama, ya, aku kenal. Dia pendiam,” jawab Raihan dan Amarendra melirik pucuk kepala gadis itu tenggelam di balik anak tangga.
Hari-hari berikutnya, Amarendra selalu memperhatikan Kani setiap ada kesempatan, gadis itu berbeda, masam tapi manis, jutek tapi lugu, pendiam tapi tegas, belum pernah dia temukan gadis macam itu. Selalu menyendiri, berkutat dengan berbagai macam buku sampai dia tahu bahwa Kani salah satu murid yang berprestasi.
Ketika jam pulang sekolah.
Amarendra terdiam saat Kani melewatinya, gadis itu selalu lewat di hadapannya tapi tak pernah sedikit pun menoleh ke arahnya. Amarendra tak tahu bahwa Kani mulai menyadari tatapan yang selalu dia berikan dan Kani tak suka itu. Semakin diperhatikan, dia semakin menghindar.
“Dia ganteng, beda, lah. Dia pasti orang kaya,” kata Reva berbisik. Terus memandang Amarendra.
Teti mengernyit. “Orang kaya ngapain ke sekolah ini? Sekolah itu banyak yang bagus, dia juga pakai sepeda, anak SMA yang biasa kita lihat keren bawa motor. Lah, dia?” cibir Teti dan Reva terkekeh.
“Ya mungkin dia sederhana banget orangnya, Tet.”
“Ah diam kamu, kalau pacarmu si Arif mendengar, putus nanti nangis.” Teti mencibir karena hubungan Reva dan Arif memang putus nyambung.
Keduanya saling menyenggol dan tertawa, kemudian berpisah.
***
Hari Senin adalah hari menyebalkan. Kani dijemur dengan tujuh murid lain, ada murid SMP dan SMA. Kani telat lima menit, guru BK sudah menariknya ke tengah lapangan karena telat, padahal upacara saja belum di mulai. Kani menunduk, dia merasa silau dengan cahaya matahari yang menyiramnya. Murid yang berbaris rapi berbisik-bisik, mengolok-olok mereka yang dihukum.
“Telat terus dia,” bisik Rara kepada adiknya Rere. Keduanya saudara kembar.
Reva dan Teti mendelikan mata, walaupun ucapan Rara tak menyudutkan Kani.
“Sama adik kelas, sih, nggak malu. Yang malunya itu dilihati kakak-kakak SMA. Ish, ish!” kata Rosi.
“Ah kamu juga sering terlambat.” Citra terkekeh dan Rosi tak bisa menimpalinya, hanya mendelik dan Yana ketua kelas mereka di sebelah melirik agar para perempuan itu bungkam.
Setelah upacara selesai, semuanya bubar, mengobrol sebentar, bel sudah berbunyi. Amarendra dan Raihan berjalan di tengah lapangan. Sepulang dari Aula. Yang di kelas para gadis berdiri, mengintip, toh guru belum memasuki jam mengajar mereka. Termasuk juga di kelas 3 SMP B. Reva sampai berjinjit untuk melihat Amarendra.
“Duduk.” Dari depan Kani menarik lengannya dan Reva terkesiap melihat guru masuk.
“Dia ganteng banget, loh, Tet.” Reva berbicara pada Teti di sebelahnya. Di belakang mereka Kani dan Citra saling menatap. Citra memperlihatkan ketidaksukaan pada sikap Reva yang memang genit pada setiap lelaki sementara Arif adalah kakaknya.
“Sabar,” bisik Kani dan Citra membuang napas kasar. Dia sangat ingin menegur Reva, dia tak tega dengan kakaknya yang begitu memuja Reva tapi Reva selalu begitu. Hanya keinginan tak pernah bisa melakukannya, Citra tak berani.
Saat jam istirahat seperti biasa, Amarendra masih memperhatikan Kani. Gadis itu benar-benar cuek dan tak tertarik padanya, semakin membuatnya ingin mendekat. Kani yang selalu diam, kadang kabur saat Heri hendak menghalau jalannya, jelas Amarendra sadar bahwa Kani tak nyaman didekati Heri yang memang menyebalkan dan suka sekali membicarakan hal-hal tolol di kelas. Amarendra bahkan heran, mengapa bisa gadis seperti itu memiliki hubungan dengan Heri, apa didesak? Dia sangat menyayangkan. Sebagai laki-laki, dia tahu liar dan kotornya pikiran dan tingkah laku Heri walaupun baru melihat bocah itu. Amarendra merasa takut Heri memanfaatkan Kani yang sangat polos.
Sementara Heri selalu kesal ketika Kani menjauh, dia bahkan berulang kali mendesak Teti agar memberikan nomor ponsel Kani dan Teti tidak bisa, dia juga tak punya. Selama berpacaran, Heri dan Kani tak pernah berdekatan lama apalagi saling berkirim pesan. Heri merasa Kani benar-benar tak sungguh-sungguh mau dengannya.
Pulang sekolah, Reva dan Teti mengajak Kani dan Citra bertemu pacar mereka masing-masing di belakang sekolah. Tak sukarela seperti teman-temannya, Kani selalu terlihat terpaksa, dia berhubungan dengan Heri karena di jodohkan oleh Reva dan Teti. Heri tahu hanya dia yang memiliki rasa tapi dia tak akan menyerah.
Sekarang saja, Kani sibuk dengan buku dan menyumbat telinganya dengan lagu. Ketimbang berbincang dengannya. Reva, Teti, dan Citra entah di sebelah mana, mungkin di bawah pohon pisang, di bawah sana tepi sungai, atau di semak-semak bernegosiasi. Kani tak polos, dia tahu teman-temannya sejorok apa ketika pacaran.
Sementara ia, membayangkan berciuman dengan Heri saja merasa mual. Bibirnya masih perawan seperti mahkotanya. Bapaknya bilang, setiap jengkal tubuhnya harus dijaga dengan baik dan hanya pantas diberikan kepada suaminya kelak, dan Kani jelas tak sudi jika Heri yang akan menjadi suaminya. Dia lebih baik jomblo. Sejujurnya Heri tak jelek-jelek amat, cukup populer, tapi hati Kani tak semudah itu untuk diketuk apalagi disinggahi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
𝕸y💞𝕄𝕆𝕆ℕ🍀⃝⃟💙
hari Senin hari rempong nasional 🤭
2023-05-13
0
Sm03 💜💜💜💜💜💜💜
humor ku sebatas 'semak semak bernegosiasi' 🤣🤣
2023-03-08
0
Sm03 💜💜💜💜💜💜💜
lah kok ngamok
2023-03-08
0