Kani pergi setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, Amarendra mendekati jendela, melihat ke mana gadis itu pergi. Kani baru saja keluar dan tiga gadis perusuh itu mendekat. Amarendra hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kami minta maaf, kami salah, kamu memang tidak bohong, Kani.” Reva sudah mengempit tangan Kani, sulit untuk Kani melarikan diri.
“Iya, Kani. Maaf.” Teti merengek dan Kani menghela napas panjang. Dia sangat ingin pergi. Dia belum bisa memaafkan ketiganya.
“Sekarang perlihatkan ponselmu, kami ingin melihatnya.” Reva begitu antusias, Kani perlahan tersenyum dan mereka bertiga duduk di depan kelas.
Masih di tempatnya, Amarendra yang merasa muak melengos pergi, entah bagaimana caranya dia harus menyadarkan Kani bahwa ia hanya dimanfaatkan. Jelas itu tak akan mudah. Sangat berisiko bagi Amarendra jika dia terlalu banyak mengemukakan ketidaksukaannya. Dia sangat takut Kani risi, tak percaya, kemudian menjauh. Selain teman-teman barunya, Kani adalah penyemangat walaupun gadis itu tak pernah melakukan sesuatu yang khusus baginya, tapi ketika Kani nyaman dan mudah tersenyum ketika bersamanya, itu sudah menjadi kemenangan bagi Amarendra. Baru beberapa Minggu saling mengenal, dia tahu segalanya tentang Kani, tapi jika sebaliknya, apa Kani masih mau dekat dengannya? Hati dan pikiran Amarendra berkecamuk.
Di tempat Kani berada masih dengan teman-temannya dengan mata sesekali melirik Amarendra.
“Bagus, loh. Mirip Hp punya kakakku, begini juga, belinya di Arab. Bagus, Kani, simpan nomorku cepat.” Teti begitu riang dan Kani menurutinya.
“Nomorku juga, sekarang kita jadi gampang kalau mau kasih kabar.” Citra tersenyum dan Kani membalasnya.
“Eh ponselku...” Reva mengulurkan tangan, terlihat jelas sorot mata kedengkian di mata sipitnya, sejak tadi hanya ponsel Kani yang dibahas dan diperhatikan. Iri dan kesal menjadi satu, Reva tak suka ada yang lebih diperhatikan daripada dirinya. Bukan hanya Citra dan Teti yang heboh, tapi beberapa teman mereka di kelas juga begitu, apalagi Yana yang memang dekat dengan Kani walaupun jarang merapat dan malah sering ribut. Mereka yang belum menyimpan nomor Kani pun meminta sendiri nomor gadis tersebut, agar gampang menghubungi jika ada apa-apa.
Isi kepala Reva terasa berkabut melihat semua orang mengagungkan Kani. Dadanya terasa menyempit dan bahkan terlintas sebuah keinginan untuk sesegera mungkin merusak momen itu. Ketidaksukaannya pada Kani berawal dari Kani yang sederhana tapi selalu dipuja-puja para laki-laki, selain pintar dan cantik, Kani juga pendiam, itu menjadi poin penambah daya tariknya. Sesaat Reva sadar bahwa lama-lama Kani akan merebut posisi nyamannya yang terkenal cantik, ramah dan berkawan dengan semua laki-laki kecuali Amarendra yang begitu sulit didekati. Semakin menambah rasa iri dalam hatinya dan takut tersaingi untuk hal apa pun. Sekecil apa pun, dia tak suka, karena di rumah saja dia adalah yang selalu diutamakan karena anak satu-satunya. Dia tak paham, bahwa di dalam rumah dan kehidupan di luar bukan panggung pribadi miliknya.
Sampai pulang sekolah, Kani masih di bahas anak-anak, semakin merusak mood mereka yang tak suka pada Kani, dan yang begitu, bukan hanya satu.
***
Waktu terus maju, semakin larut tapi Amarendra masih terjaga, sedang menimbang minyak ukuran seperempat sampai satu kilo setelah dia menimbang gula pasir untuk ukuran yang sama. Kaos oblong berwarna hitamnya terlihat kotor, sesekali dia menoleh, melihat dua pegawai Toko Grosir Abahnya masih memasukkan barang yang baru turun dari sebuah mobil Truk. Abahnya sedang menghitung uang. Sesekali dia menangkap mata Abahnya memperhatikan ke arahnya dari balik kaca matanya yang sedikit buram itu. Kegiatan bekerja sampai tengah malam sudah tak asing lagi bagi Amarendra sejak sebulan lalu. Keberadaannya di rumah sang Kakek menjadi sorotan pamannya yang selalu sensi. Mengira dia menumpang hidup seenaknya, membuat cucu yang lain iri, sampai akhirnya dia memutuskan untuk membantu sebisanya di Toko tersebut. Apa pun, meski berat, dia bersedia asal tak disinggung lagi apalagi Bunda dan Ayahnya. Cukup dia saja jika bisa. Tak perlu membawa keduanya.
Benar kata mereka yang sudah bisa memaknai hidup dari berbagai sisi, guru terbaik adalah pengalaman, dan sabetan dari ujian hidup membentuk kemandirian dan kedewasaan.
Hidup Amarendra tak seperti ini dulu, kala itu, sebelum waktu dan takdir mengubah segalanya dari cerah menjadi gelap gulita dengan kabut yang tak kunjung memudar, tetapi perlahan semuanya terasa lebih baik, kabut asap hitam itu perlahan memudar terganti dengan cahaya kuning senja yang indah setelah pertemuannya dengan Kani. Kani yang mengikat perasaannya, gadis lugu dan kecil yang dia suka, dia salah karena mengajak Kani berteman padahal ada ketertarikan yang dia rasakan sampai ketertarikan itu berganti menjadi sebuah rasa mendamba, ingin menjaga, dan jika boleh, memilikinya. Suatu saat nanti.
Yang perlu dia lakukan sekarang adalah berperan sewajarnya dalam sosok teman terbaik. Walaupun mungkin tak terlalu salah jika dia mengungkap rasa sekarang tapi dia tidak mau begitu, dia tahu Kani, gadis itu enggan menjalin sebuah hubungan yang akan membuat kehidupannya semakin rumit dan ribet. Contohnya seperti hubungannya dengan Heri yang sudah usai pun tetap saja melahirkan masalah.
Bukan berapa lama kita mengenal kemudian suka dan cinta itu tumbuh. Bukan pula sedalam apa kita tahu baiknya agar cinta itu bersemi. Karena cinta yang sesungguhnya tak mengenal dia jelek, pendek, tak menarik, atau buruk sikap dan perilakunya. Cinta tak membutuhkan alasan apalagi hanya waktu yang menjadi tolak ukurnya.
Amarendra membuang napas panjang, menanti-nanti sejak tadi tapi ponsel yang sudah berbalut dengan debu di dekat karung gula di hadapannya tetap hening. Dia sedang menunggu Kani mengirimkan pesan, bukannya sudah dia berikan nomornya? Atau memang dia tak terlalu penting dan juga sekarang sudah malam.
“Maren, tidurlah. Ini sudah malam. Jangan sampai telat sekolah besok.” Abahnya menegur sambil mengusap bahunya yang berkeringat. “Mandi dulu.” Abahnya menyambung.
Amarendra mengangguk dan membereskan plastik, karung dia ikat kembali, dan yang sudah dia timbang dibawa Abah untuk disusun pada rak.
Suara ponselnya membuat Amarendra terperanjat. Dia menyambar ponselnya dan sebuah nomor asing mengirimkan pesan singkat.
: Ini aku, Kaniraras.
Amarendra tersenyum dan berlari menaiki tangga, sesampainya di lantai dua dia duduk di atas ayunan. Angin segar berembus memanjakan tubuhnya yang berkeringat dan terasa gerah.
Amarendra: Belum tidur?
Ia diam setelah membalas.
Kani: Kamu juga.
Amarendra tersenyum lebar dan merebahkan tubuhnya.
Amarendra; Aku baru selesai membantu di Toko. Besok sekolah?
Kani; Selama aku sehat, jelas aku akan sekolah. Aku ingin sedikit bercerita, semua teman-temanku di kelas bersikap sangat baik setelah melihat ponsel baruku, tapi tetap tak akan aku biarkan mereka memegang ponselku sembarangan. Bukan pelit, aku hanya takut ini rusak, tak mudah bagiku untuk mendapatkannya. Besok bertemu di perpustakaan.
Amarendra tergelak membaca pesan panjang tersebut. Dia membalas....
Amarendra: Semua orang akan bersikap baik jika kita memiliki sesuatu yang menarik, jangan mau dimanfaatkan, pintar sedikit untuk kebaikanmu. Jangan terlalu percaya pada semua teman, itu predikat yang samar dan bisa saja berkhianat. Kita bertemu besok jika sempat, sekarang tidurlah.
Amarendra tersenyum dan melirik Abahnya yang muncul membawakan minuman soda dan mie goreng.
“Makan.” Abah duduk dan Amarendra bangkit dari haribaannya.
Kani: Baru juga menyapa, sudah ingin mengakhiri obrolan ini? Ish! Dan ya, aku akan waspada. Aku cukup paham siapa yang selalu berdiri di sebelahku dan mereka yang pura-pura tak peduli walaupun mengaku sebagai teman. Aku belum bisa tidur, Maren.
Amarendra: Aku tahu kamu senang dengan ponsel barumu, tapi jangan sampai lupa waktu, lain kali disambung lagi... tidurlah, aku memperhatikan dari sini, aku bisa melihatmu cemberut dan berniat membantah, bahkan akan begadang bermain ponsel.
Abah diam-diam memperhatikan cucunya yang sedang cengar-cengir itu. Kening keriputnya mengerut, ya, dia juga pernah muda. Dia paham.
Kani: hmmm...😒
Amarendra: Aku bisa membayangkan wajahmu saat cemberut. Tidur!
Tak lama Kani membalas lagi.
Kani: ??!
Beberapa detik kemudian mengirim lagi.
Kani: Benar-benar memintaku tidur? Oke, baiklah. Aku juga bisa melihatmu jika kau begadang.
Amarendra tersenyum lagi, meletakkan ponselnya di atas meja. Dia meraih satu piring Mie goreng dengan telur ceplok di atasnya.
“Itu Sri yang mengirimimu pesan?” Abah bertanya, mengunyah makanannya sambil bengong. Memikirkan Ayahnya Maren.
Amarendra menggeleng, meraih botol minumnya, dia mendadak merasa menelan bongkahan batu sampai kepayahan mendengar ungkapan Abahnya.
“Bunda jam segini sudah istirahat, Bah.” Terdengar lesu.
“Dia pasti lelah. Kapan katanya dia akan pulang lagi? Bagaimana pekerjaannya?” Ada kekhawatiran dan rasa takut yang mengganjal yang didera pria tua itu.
“Mungkin dua Minggu lagi baru bisa pulang, Bunda nggak bisa terlalu sering ke Bandung, Bah. Ayah...” Kalimatnya menggantung. Menekuk wajahnya dalam saat Abahnya menoleh cepat dengan tatapan tak suka.
“Tak perlu lagi kamu membahas ayahmu. Pikirkan saja Sri, sudah lama juga Abah tak mendengar kabar kakakmu Lusi, anaknya bulan lalu sakit, jangan lupa telepon kakakmu itu dan jika butuh sesuatu bilang sama Abah, jangan merengek seperti anak bayi pada Sri atau Lusi, kita semua tahu Geri...anak itu kurang ajar.” Abah menggelengkan kepalanya kesal, raut wajahnya berubah drastis.
Amarendra mengangguk patuh, tak ada hak menjawab atau membangkang, dia harus tahu diri dia menumpang hidup di sini, dan juga apa yang dikatakan Abahnya adalah benar adanya.
***
“Istirahat dua hari lagi apa salahnya, Pak.” Bu Ismi memandang dengan tangan berhenti memasukkan pakaian Pak Muji ke dalam tas.
“Ruko tinggal beres-beres, Bu. Cuma Bapak sama Haryawan dan dua orang lagi yang tersisa, yang lainnya sudah diberhentikan, sayang kalau nggak diambil.” Pak Muji tersenyum kemudian terbatuk-batuk dan meraih minyak angin, mengoleskannya di leher.
“Kurangi merokok, Pak. Periksa, Ibu sudah meminta berkali-kali. Batuk Bapak semakin parah.” Bu Ismi menatap jeri, melanjutkan berkemas karena suaminya tak bisa dia tahan dan tak ada jawaban, Pak Muji keluar dari kamar saat anak-anaknya sudah siap berkumpul untuk sarapan. Dia duduk bersila dan semuanya tersenyum.
“Ingat pesan Bapak, Kani?” tanya Pak Muji dan Kani mengangguk. Bu Ismi dari kamar hanya sebatas menggeleng kepala, belum lama punya Hp, anak pertamanya sudah benar-benar lupa waktu. Ingin marah tapi suaminya suka lebih marah. Harus menunggu suaminya pergi agar dia bisa menegur anak itu.
“Sekarang gampang kalau kangen sama Bapak tinggal telepon.” Kani bersemangat.
“Iya, tapi jangan sering-sering, boros pulsa.” Pak Muji menyuap makanannya dan Kani melanjutkan juga sarapannya.
“Bapak bakalan pulang lama lagi?” ujar Syamsir sedih.
“Pekan ini juga Bapak pulang, tinggal beres-beres,” jawab Pak Muji dan Syamsir senang, anak kecil mana paham jika ayahnya diam di rumah berarti tak ada pekerjaan. Dia hanya tahu bisa menghabiskan waktu dengan ayahnya itu.
Setelah sarapan selesai, semuanya pergi, termasuk Pak Muji. Pria itu berhenti untuk menunggu Haryawan. Sesekali melihat anak-anaknya yang semakin jauh meninggalkannya. Bibirnya tersenyum saat sekelebat melihat betis kokoh Syamsir, apalagi betis Kenanga, berjalan kaki jelas melelahkan tapi itu juga dilakukan anak-anak yang lain. Jarang yang ada diantar jemput, apalagi pulang pergi naik angkutan umum yang mustahil melewati jalan tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
R_Bell
Hidup miskin, banyak anak, merokok pula.
Usia pun baru 36 tahun, umur berapa menikah anak udah kelas 3 SMP?
Merokoknya itu loch yg jadi masalah besar.
2025-02-06
0
🌻 G°°Rumai§ha°° 🌵
Apa yg sebenar nya terjadi sama maren, kog bisa dibilang numpang hidup sama abahnya
2023-04-13
0
SUMI 🐊🐊
tapi ga semua org bisa berfikir bahwa cinta sesungguhnya yg sprti ini 😊😊
2023-03-27
0