Amarendra mengembuskan napas kasar, dia tatap layar ponselnya, fotonya dengan Kani yang tak sengaja diambil Raihan waktu itu. Amarendra masih kesal dengan Om-om tadi siang, menuduhnya macam-macam dan membawa Kani dengan paksa tapi ia tak bisa melakukan apa-apa. Perlahan, dalam kegalauan di tengah malam, dia tersenyum dan memperbesar foto Kani. Mata Amarendra berbinar-binar, perlahan dia menarik selimut saat angin malam berembus membuatnya kedinginan. Dia sedang berada di atas ayunan jaring di balkon, tempat favoritnya walaupun Abahnya selalu melarang takut dia masuk angin.
“Manis.” Amarendra tersenyum dan meletakkan ponsel di dadanya, dia menjadikan kedua tangannya menjadi bantal kemudian tak terasa kantuk menyergap dan akhirnya dia terlelap.
Sudah cukup terang, akhir pekan tak semenyenangkan mereka yang bisa mengisinya dengan bermain bahkan liburan. Kani dengan adik-adiknya sibuk bekerja, bahu-membahu merawat rumah panggung mereka dan tetap Kani juga yang kena omel ketika masalah sepele terjadi atau dia lelet saat Ibunya berteriak memintanya mengerjakan sesuatu. Telat beberapa detik saja mendekat, Ibunya yang akan mengerjakan sendiri apa yang dia perintahkan sambil mencak-mencak.
“Kata Ibu, bapak mau pulang nanti sore.” Kenanga begitu semangat, sorak Syamsir terdengar dan Dahlia tersenyum. Menebak-nebak apa yang akan dibawa bapak mereka. Bakso masih favorit, tapi terkadang makanan lain pun suka Bapak mereka beli sebagai buah tangan ketika pulang.
Kani diam membisu, menjadi pendengar disela kegiatannya mengelap setiap benda di dalam rumah tersebut, berdebu, dia lap dengan kain sedikit basah. Adik-adiknya terus mengoceh, tapi ia, malas, Bapaknya selalu membuatnya kecewa. Tak bisa dia harapkan lagi dan toh, dia sudah dicap pembohong oleh semua teman di kelasnya gara-gara perkara ponsel.
Menjelang sore, adik-adiknya memilih libur mengaji demi menunggu Bapak mereka, bisa-bisanya juga Ibu mereka mengizinkan. Kani pergi sendiri, sesekali mendesah, mendekap tasnya dan sesekali mendorong anak rambutnya yang bandel menyembul keluar.
“Kani!” Suara serak itu membuat Kani berhenti dan mencari-cari. Dia tersenyum saat melihat Amarendra berlarian ke arahnya disusul Raihan di belakang dan dua lagi Kani tak kenal. Sambil ngos-ngosan, wajah riang gembira, Amarendra berdiri di hadapan gadis itu. “Mau ke mana? Anu...rambutmu.” Amarendra terus menatap wajah Kani.
“Mengaji, kamu ngapain di sini? Oh iya, lukamu?” Kani mencari-cari punggung tangan Amarendra dan pemuda itu memperlihatkannya. Masih dibalut, belum kering benar.
“Sudah baikkan.” Amarendra tersenyum dan menoleh saat Raihan sampai.
Kani mendelik saat sadar Amarendra memperhatikannya lain karena kerudung hitam yang dia pakai.
“Aku mau mengaji, kamu nggak pernah melihat perempuan pakai kerudung, ya?” ketus Kani dan Amarendra diam penuh arti.
“Aduh...kenapa dia makin imut begitu kalau pakai kerudung?” gumam Amarendra dalam hati.
“Dia kesemsem melihat kamu begini.” Raihan mengakak begitu juga teman-temannya yang lain dan Amarendra yang tersadar dari lamunannya lekas menyikut dada Raihan, Raihan meringis, tetap tak bisa berhenti tertawa.
“Bukan begitu.” Amarendra gugup. “Aku sedang main di rumah Raihan, nggak disangka bisa ketemu sama kamu.” Mengalihkan pembicaraan adalah jalan pintasnya ketika gugup.
Raihan berdecak dan merangkul leher Amarendra kencang. “Bohong dia, jelas-jelas tujuannya memang mau melihat kamu, kangen katanya gara-gara kemarin hari Sabtu tanggal merah libur sekolah.” Raihan tersenyum lebar, bersungguh-sungguh dengan ucapannya dan Kani terbelalak. Dia tahu mulut Raihan memang selalu berbusa tidak jelas.
Kani yang takut telat akhirnya pamit. Dia berlalu dan Amarendra terus menatap kepergiannya dengan senyuman itu penuh ketakjuban. Mendadak redup ketika dia melihat pria yang dia anggap Om-om itu nongol, Kalingga. Kalingga menyapa Kani, Kani menjawab lalu melanjutkan perjalanan.
“Waduh! Cinta segitiga, nih. Ribet, ribet.” Raihan terkekeh-kekeh dan Amarendra mendesis, menjitak kepalanya karena Raihan terus berbicara tidak jelas.
Tapi memang nyatanya tebakan Raihan benar, ingin main ke rumah Raihan hanya alasan belaka yang muncul tiba-tiba di benak Amarendra setelah dia ingat keduanya satu kampung, Raihan juga pernah bilang rumahnya dengan rumah Kani, itu kesempatan baginya, meyakinkan ketakutannya setelah Kani dibawa Kalingga lalu dia pamit pulang setelah hatinya yang rusuh tenteram kembali.
Memendam sebuah rasa ada nikmat dan sakitnya, dan lebih kuat rasa takutnya ketika suatu saat rasa itu diungkapkan, dia yang didambakan memutuskan untuk pergi menjauh karena tak bisa memberikan rasa yang sama sebagai balasan.
***
Kerlap-kerlip lampu dari setiap sisi sebuah ponsel merk ternama dengan desain modern itu membuat mata Kani membelalak tak percaya, itu yang dia mau, ponsel yang bahkan lebih bagus dari punya Reva. Betapa senangnya ia ketika pulang mengaji dan melihat ponsel barunya, sebenarnya itu ponsel bekas, yang jual sedang kepepet, Pak Muji menawar karena dia sedang butuh juga. Ponsel tersebut katanya baru empat bulan di genggaman pemilik sebelumnya, jelas terlihat betapa masih mulusnya ponsel tersebut tanpa cacat selayaknya ponsel baru.
Tak cukup sekali mengucap terima kasih dan rasa syukur, Kani sampai menangis dalam pelukan Bapaknya. Adik-adiknya ikut bergembira saat Pak Muji meminta Kani untuk berbagi, jangan pelit, biar adik-adiknya juga menikmati dan Kani tak masalah. Sementara yang duduk di kursi butut itu melamun, tatapan kosong, tersadar dari lamunannya saat Pak Muji terbatuk-batuk. Lekas dia ambilkan air hangat, membuat juga susu jahe. Saat Pak Muji menikmatinya, tenggorokannya terasa baikkan.
“Jangan sampai mengabaikan belajar hanya karena ponsel, nanti Bapak ambil dan Bapak jual kalau kamu lalai dan nggak bisa bertanggung jawab.” Pak Muji berbicara kemudian tersenyum. Kani mengangguk patuh, dia tak akan mengecewakan Bapaknya itu juga Ibunya.
“Wah, aku bisa difoto sepuasnya, dong.” Syamsir yang tadi sibuk bergaya dan Kani memotretnya berseru riang.
“Jelas itu, Syam.” Kani mengiyakan dengan wajah yang begitu ceria. Ponsel tersebut juga sudah dilengkapi kartu seluler, baru nomor Pak Muji yang tersimpan, Kani tak sabar untuk menyimpan nomornya.
Hari untuk pamer tiba, Kani berangkat sekolah dengan penuh tawa, tak ada alasan lagi bagi mereka yang mencela dan merendahkannya. Ia menghela napas, tak sabar ingin melihat reaksi si Songong Reva. Kebohongannya tak terbukti karena dia membawa ponsel sekarang.
“BANG**T!!!” teriak Amarendra yang sedang mendorong sepedanya, Heri sengaja melindas genangan air dan berhasil membuat seragamnya kotor di hari Senin tak disukainya ini. Amarendra mengusap lengannya yang basah, pipinya juga, entah bagaimana dia harus membersihkan lumpur dari seragamnya. Dia hanya bisa menerima dan mengumpat, tak dia lakukan lagi saat Kani sampai padanya sambil mengatur napas.
“Gila dia! Sengaja! Bang*at memang!” Kani menyolot dan Amarendra terkesiap, lekas dia bungkam mulut gadis itu dan Kani meronta. “Maren, jorok! Tanganmu kotor.”
“Kamu nggak boleh ngomong kayak begitu, perempuan nggak boleh kasar dan jorok ngomongnya, nggak baik.” Ia menegur sambil menahan senyum melihat wajah kesal Kani.
“Aku ikut-ikutan kamu, kan? Kamu yang duluan.” Kani mengotot lagi dan keningnya disentil, ia meringis.
“Ya jangan ditiru kalau aku salah, gimana sih.” Amarendra mendelik, mendorong sepedanya dan Kani melihat ban sepeda itu kempes.
“Kempes,” kata Kani.
“Aku tahu, bingung mau menitipkan di mana. Mungkin nanti warga di sini ada yang punya Pompa.” Dia terus mendorong dan Kani menyusul. Mereka sejajar sekarang.
“Ada di Aula. Pakai saja, eh, izin dulu.” Kani tersenyum dan Amarendra juga karena masalahnya terpecahkan. Dia memarkirkan sepedanya, pergi bersama dengan Kani ke Aula, di luar Aula ada keran untuk wudhu. Amarendra membersihkan seragamnya dan Kani memberikan tisu. Bagi Amarendra itu tak terlalu buruk walaupun lumpur meninggalkan bekas dan seragamnya jadi basah, itu lebih baik ketimbang dia biarkan. Amarendra juga membasuh wajahnya, Kani memperhatikan dan Amarendra menyiramkan air dari ujung jemarinya karena gadis itu terus memandang tak berkedip.
Kani terkekeh dan mengusap pipinya. Setelah selesai, Kani berikan tas temannya itu kemudian keduanya berpisah, dan Kani menggigit bibir saat lupa dengan nomor ponsel. Dia hanya bisa mendesis, mungkin nanti jam istirahat, dia bisa memintanya.
Waktu itu tiba, tapi Kani ragu-ragu untuk mengeluarkan ponselnya. Perlahan-lahan dia memasukkan tangannya ke saku jaket. Dia tengah berdiri di Perpustakaan, tangannya sesekali menyentuh buku, tapi dia tak memiliki niat sedikit pun untuk membaca hari ini. Dia menunggu seseorang dan orang itu tiba. Pemuda itu tersenyum, selalu begitu dan Kani tak ragu membalasnya.
“Belum mencari buku apa pun?” bisik Amarendra yang takut akan ditegur untuk ke sekian kalinya karena selalu berisik dengan Kani.
“Aku tidak ada niat untuk membaca buku hari ini, minta nomor ponselmu, boleh?” balas Kani, meminta dengan ragu dan Amarendra menatapnya. Kani memperlihatkan ponselnya dan Amarendra tersenyum.
“Ponsel baru.” Dia semakin melebarkan senyumnya. Menerima ponsel tersebut dan mengetikkan nomornya kemudian dia berikan lagi dan Kani menyimpannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
.
hahahaha sama² nyebut encat tp sling slahkan
2023-03-09
0