UNINTENTIONAL
PROLOGUE
Malam itu pukul sembilan lebih lima belas menit. Dinda Nurshbrina, itulah namanya. gadis yang berdiri depan pintu keluar masuk kantor.
Dirinya adalah wanita karir yang saat ini bekerja di salah satu perusahaan besar, namun di tempatkan di kantor cabang yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Dia tergabung dalam manajemen akuntansi untuk menangani keuangan perusahaan.
UOB Asian (Union of Bank Asian ) itulah perusahaan, tempat gadis ini bekerja. Anak perusahan, Grup Wong. Salah satu pengusaha terbesar di China.
Dinda baru saja melangkahkan kakinya keluar dari gedung kantor. Malangnya malam itu, hujan melanda kota. Lembur, alasan yang tepat menggambarkan, betapa tidak pedulinya Dinda pada ramalan cuaca malam ini.
“Dinda aku pulang duluan ya, tunanganku sudah menjemputku. Dah Dinda.”
“Iya. hati-hati di jalan. Have a nice day!”
Dinda membalas lambaian tangan koleganya itu, sebelum keduanya berpisah. Tepat di depan pintu kantor yang berputar searah jarum jam. Setelah itu, Dinda juga pulang. Kantor juga sudah sepi, kecuali ada beberapa satpam yang masih berjaga.
Dinda mengambil jalan melalui taman. Karena jalan itu, lebih cepat sampai di apartemen sederhananya. Bukan apartemen mahal, lagi pula masih nyicil. Di tengah jalannya, handphone milik Dinda berdering keras.
“Pasti Ibu yang telpon!” pikir Dinda begitu. “Ya, setidaknya dugaanku tidak pernah salah.”
Menjawab telepon Ibunya, apalagi yang akan mereka bicarakan. Selain membahas kabar Dinda.
“ya hallo Bu! Iya aku sudah pulang. Iya ini lagi di jalan dekat taman! Iya. Ibu di rumah sehat-sehat ya. Bulan depan jika Dinda senggang, Dinda akan ajak Ibu berkeliling melihat kota Jakarta. Iya Dinda bicara benar. Okelah kalau begitu. Dah Bu!”
Menutup panggilan telepon, Dinda berjalan seperti biasanya. Melanjutkan langkah kakinya di jalan yang terpasang tanda disabilitas.
Jalannya sudah dekat menuju tempat tinggalnya, di apartemen yang menjulang tinggi.
Melewati bangku taman, Dinda tidak sengaja melihat seorang pria mabuk berat—tidur di bangku taman. Pria itu sedikit rupawan dan elok untuk dipandang. Lengkap dengan pakaian kantoran jas berwarna hitam disetel dengan bawahan senada menambah aura—bahwa dia bossy.
Dinda bisa memastikan bahwa pria di hadapannya itu adalah pekerja kantoran, pengusaha atau sebagainya. Jemarinya menjulur mencoba menyentuh tubuh pria beraroma segar dan amat wangi khas pria manly. Bau khas peach.
“Maaf! Apakah anda baik-baik saja?” Dinda penasaran, berusaha membangunkan pria ini. Pria yang tertidur pulas di bawah rintikan hujan. “Hello? Anda masih hidup?”
Ucapan Dinda dibalasnya. Tapi ..., dengan dehaman kecil. Itu pertanda, dia tidak berdaya di tengah dirinya yang tidak stabil.
Saat ini, pikiran Dinda untuk pria ini adalah: Pria mesum yang menghabiskan banyak waktu bersama wanita-wanita nakal. Apalagi yang bisa dilakukan pria pemabuk semacam ini di sini?
Dinda melirik keadaan sekitar. Sepi, rasanya memang tidak ada siapapun di sini kecuali dirinya. “Aman, tidak ada siapapun!”
“Bantu aku, bawa ke hotel.”
Dinda membesarkan matanya, saat mendengar ucapan pria ini. Tidak salah? dia meminta bantuan pada Dinda? Ya siapa lagi, hanya Dinda yang ada di sana.
Tapi ada yang unik dari pria ini. Kakinya sangat panjang. Melebihi batas wajar bangku taman yang dia gunakan sebagai tempat tidur. Kakinya sangat nakal, sehingga membuat dia terjungkal ke tanah.
“Aw ...!” respon Dinda. “Pasti sakit.”
“Bantu aku bawa ke hotel.”
Pria itu mengulangi lagi ucapannya, dengan nada lemas. Sembari satu tangan lebarnya, menangkap pergelangan tangan Dinda. Menarik lebih dalam lagi tubuh Dinda, membuat gadis muda ini terjatuh di dada pria beraroma segar bercampur alkohol. Dia terus menahan Dinda, sampai Dinda bisa merasakan napasnya yang dalam. Juga degup jantungnya yang tenang.
“Ah! Aku merasa sesak. Dia benar-benar kuat, walau sedang mabuk.”
Dinda melepaskan pelukan erat itu. Namun pria ini makin kokoh saja.
“Aku harus mencari bantuan kemana! Bahkan sekarang sudah malam. Tak ada yang melintasi di jalan ini. Bagaimana aku bisa membantu dia pergi ke hotel. Apakah mungkin aku harus mengantarnya ke hotel. Memapahnya? Apakah aku bisa?”
Pilihan Dinda sekarang hanya ada dua. Satu, dia mengantar pria itu ke hotel seperti yang dia pinta. Kedua, meninggalkannya begitu saja.
“Jika aku mengantarnya mungkin aku sudah berbuat baik padanya. Mungkinkah aku mengantarnya ke hotel?”
Ah, pikirnya mulai kacau. Kenapa harus Dinda yang bertemu dengannya? Kenapa tidak wanita lain. Jangan bilang kalau ini adalah jodoh! Dinda tidak suka pada kata itu.
Setelah berpikir beberapa saat, keputusan akhirnya mencuak. Satu-satunya jalan adalah, berbaik hati. Demi kemanusiaan, hanya itu yang bisa Dinda lakukan. Ini karma baik, untuk kehidupannya kedepan.
“Hei. Hotel mana aku harus mengantarmu?” tanya Dinda. “Katakan, aku akan mengantar Anda sekarang.”
“Hotel milenium,” balasnya setengah sadar. Ah, kebetulan sekali. Hotel itu berada di seberang jalan taman kota.
“Huh! Akan ada pekerjaan ekstra malam ini.”
Sedikit kesal, Dinda berusaha membantu pria ini berdiri. Lalu memapahnya menuju ke hotel. Tentu saja dengan kekuatan yang ada. Zaman sekarang, mana ada wanita yang kuat?
“Uh berat. Apakah dia makan sepuluh kilo beras dalam sehari. Kenapa dia sangat berat. Bau alkoholnya juga kuat. Aku tidak yakin bisa melakukan semua ini. Sumpah, dia menyusahkan saja ”
Sepanjang jalan sambil memapah pria yang baru saja dia temui ini. Dinda agak menyayangkan dirinya. Kenapa harus bertemu dengan orang-orang seperti ini.
Sedikit susah payah, akhirnya tiba juga Dinda di hotel. Tempat yang dimaksud oleh pria ini.
“Oh rupanya Tuan sedikit mabuk.” Seorang pelayan tua, menyambut kedatangan Dinda. “Bisakah Nona membawanya ke kamar 1160. Itu adalah kamar khusus milik Tuan!” kata pelayan hotel.
“Tentu saja!” balas Dinda, sedikit ramah.
Kumis tebal itu menggelayut di bawah hidungnya. Juga pria ini sudah berumur, menyambut kedatangan keduanya. Mungkin pria tua itu mengenali pria yang Dinda papah dengan susah payah ini.
Dinda membawa pria hasil temuannya tadi, menuju lift. Setibanya di kamar yang dimaksud, Dinda membanting tubuh itu agak kasar.
“Pekerjaaanku selesai bukan? Saatnya aku pulang!” kata Dinda, lega. Ya, lega rasanya sudah berbuat baik walau nantinya tidak akan dihargai.
Dinda menyeka keringat yang mengalir di keningnya. Napasnya sedikit berantakan, seolah dia baru saja olahraga angkat beban. Bahkan merasa seperti sedang memikul beras hingga seratus kilo dalam satu angkatan ala Kuli pasar.
“Aku harus pulang sekarang. Sudah jam sepuluh.”
Mengambil tasnya yang tergeletak di atas kasur. Dia ingin pulang, tapi— tangannya kembali ditarik oleh pria mabuk itu tanpa sadar.
“Jangan pergi,” katanya lembut.
Tubuh kecil nan ramping itu kembali tenggelam dalam pelukan pria berbadan perkasa ini. Seakan mengulangi lagi kejadian tadi.
Dinda merasakan detak jantungnya. Hangat, masih sama seperti tubuh yang Dinda kenali sebelumnya.
Tapi ..., sayup-sayup kemesraan sesaat itu, harus terhenti. Sesaat setelah pelayan hotel berdasi pita, berpakaian tuksedo datang. Dia tidak mengetuk pintu dulu, sangat tidak sopan.
“Oh maafkan aku telah mengganggu waktu berharga kalian. Silahkan dilanjutkan Nona.”
Pria tua itu berbalik, meninggalkan kamar. Namun langsung dicegat Dinda.
“Ah! ini bukan seperti yang anda pikirkan!”
jelas Dinda. Sembari merapihkan pakaiannya. “Ini hanya kesalahan.”
“Tidak perlu sungkan-sungkan Nona. Tuan muda sudah biasa melakukannya. Aku juga tidak akan memberitahu orang lain!”
“Ah matilah aku. Apa yang telah aku lakukan. Pasti orang tua itu berpikir bahwa aku wanita mesum!” ucap Dinda pelan.
Wajahnya memerah dan rasanya sangat canggung berdiri di depan pria yang telah berpikir aneh. Apalagi pria itu telah memergokinya, berpelukan. Apa lagi yang perlu dijelaskan sekarang?
“Oh iya nona. Bisakah anda tidak pergi dulu dari sini. Untuk malam ini saja. Aku khawatir Tuan akan marah jika tidak ada Anda yang menolongnya berada di sini.”
“Aku? Kenapa harus aku!” jawab Dinda.
"Ya tentu saja Anda. Karena Anda-lah orang yang membawa Tuan kemari. Yakinlah, ketika Tuan sadar maka ia akan mengucapkan terima kasih pada Anda, lalu Tuan juga akan mengganti waktu Anda malam ini.”
Dinda mengernyitkan dahinya. Apakah dia benar-benar jadi pelayan sekarang?
Pria tadi kini berdiri di depan pintu, kemudian berbalik. Kembali menatap Dinda yang terdiam tanpa suara.
“Oh iya Nona muda. Jangan lupa gantikan pakaian Tuan muda. Aku telah membawa pakaian itu dan meninggalkannya di atas meja. Nona juga harus ganti baju!”
Pria itu meninggalkan keduanya begitu saja. Di dalam kamar besar ini, keduanya seakan diikat dan dikurung oleh sebuah perjanjian.
“Oh iya, anggap saja anda tak menyaksikan penampakan luar biasa apapun dari Tuan. Anggaplah itu mimpi buruk!” sambung pria tua itu, sebelum dirinya benar-benar pergi.
Dinda ingin sekali membantah perintah Pak tua. Namun apalah daya, memohon pada wanita yang lebih muda bukanlah hal yang sopan. Maka, mau tak mau Dinda menuruti perintahnya.
Awalnya dia merasa takut namun Dinda hanya berpikir positif bahwa tak akan terjadi apapun padanya.
Malam yang panjang kini Dinda lalui sedikitnya dengan hal yang agak konyol. Menggantikan pakaian pria tidak dikenal hingga menjaga tidurnya yang lelap
••••
Pagi hari ini di mulai sebuah drama yang tak akan Dinda lupakan untuk waktu lama. Pria yang ia tolong, mengamuk tidak jelas.
“Sialan! Siapa yang berani menyentuh tubuhku tanpa seizinku!”
Sontak suara itu membuat Dinda membuka matanya yang sedang terkantuk.
“Hei! Ada apa sih, pagi-pagi sudah berteriak. Berisik! Ganggu saja!” ucap Dinda kesal.
“Kamu ..., siapa kamu? Dan apa yang kamu lakukan di sini. Apakah kamu wanita penghibur yang telah menggantikan pakaianku?”
Menatap Dinda seperti menatap seorang wanita penghibur, jelas Dinda akan marah.
“Hei, bisakah kamu menjaga ucapanmu itu. Aku yang telah membantumu. Dan kini kamu menyebutku wanita penghibur! Di mana sopan santunmu menghargai seorang wanita?”
“Kamu!” Pria yang duduk di ranjang, mencoba menahan amarah seraya tangannya memegang kepala. Ia menahan sakit akibat mabuk semalam.
“Kamu apa? Dasar pria mesum!” ucap Dinda makin kesal. “Baiklah. Sepertinya tugas semalam sudah berakhir. Saatnya aku harus bekerja. Dan kamu pria mesum! Aku peringatkan kamu, bahwa aku bukanlah wanita penghibur seperti yang kamu ucapkan. Kamu harus ingat itu!”
Bangkit dari sofa panjang, Dinda pergi meninggalkan pria dihadapannya.
Pria ini tidak berkata apapun. Kecuali mengutuk ucapan sadis Dinda padanya tadi.
“Tunggu saja, kamu harus membayar atas perbuatanmu. Menyentuh tubuhku, dia punya nyali juga rupanya.”
Meminta pertanggungjawaban, mungkin itu yang diharapkan pria pemarah ini.
“Paman Luong!” Pria ini menggerutu mengucapakan nama pelayan tua semalam yang telah melupakan tugasnya. “Ini pasti ulahnya menyuruh seorang wanita dengan sengaja menyentuh tubuhku. Bahkan mengganti pakaianku. Kalian akan mendapatkan balasannya nanti!”
Sungguh pria ini menahan emosi yang menggelora. Hatinya sepagi ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 172 Episodes
Comments
Berdo'a saja
🤔🤔🤔🤔🤔🤔
2023-05-16
0
Dara🩷
ada thor
2023-01-02
0
Mohammad Awaluddin
hl,, . b 🏑🀄⛸️🪁🏹
2021-11-07
0