“Semua orang akan berpikir bahwa aku adalah wanita seperti yang diucapkan oleh Vanya. Entah bagaimana mereka menanggapi ucapan konyol itu. Si gadis bodoh itu, kenapa dia selalu hadir dalam kehidupanku.”
Akh, Dinda ingin sekali menjambak rambut Vanya tadi. Jika saja tidak ada Steve, mungkin dia dan Vanya sudah adu gulat.
Dinda tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika hal itu terjadi. Pasti seru kalau cakar-cakaran dengan Vanya.
Steve mencuri-curi perhatian kala ingin melihat wajah diam Dinda dari tadi. Selama perjalanan pulang, Dinda tidak buka pembicaraan sama sekali.
Pikirnya Dinda sudah cukup banyak masalah dengan kehidupan pribadinya. Sehingga banyak sekali pertanyaan demi pertanyaan muncul dibenak Steve yang ingin ia ketahui langsung dari Dinda.
“Boleh aku bertanya?” kata Steve memberanikan diri untuk bicara.
“Silahkan!”
“Mereka memiliki masalah pribadi dengan kamu?”
Dinda menatap nanar wajah Steve. “Seperti itulah!” jawabnya. “Apa yang mereka katakan, tidak akan ada bedanya. Tergantung, bagaimana Bapak menanggapinya.”
“Oh, begitu rupanya.” Akh, Steve. Kenapa kamu begitu bodoh. Untuk apa kamu bertanya seperti itu padanya.
Tapi, tanpa Steve sadari, ternyata dia mulai masuk dalam alur cerita Dinda yang penuh geliat lika-liku. Semacam, mulai memahami sebuah karakter Dinda. Ini lebih baik, daripada tidak memahaminya sama sekali.
Mengapa setelah melihat wajah gadis ini, aku merasa sangat iba padanya. Seakan aku ingin menjadi pria yang dijadikan sandaran saat ia sedang sedih. Sebagai penadah air matanya yang jatuh. Bahkan aku ingin menyiapkan bahuku untuknya kapan pun dia membutuhkan untuk bersandar. Dia memiliki sepasang bola mata yang indah, sehingga aku merasa jika wajah ini sedang dalam kesulitan namun ia mencoba menutupi kesedihan dengan kebahagian. Wanita ini amat tegar dalam menghadapi masalah namun ahli dalam membuat orang lain terkesan padanya. Mengapa dia selalu bersikap baik pada orang lain, namun sombong kepadaku.
Steve sekarang dipenuhi banyak pertanyaan. Wajah sendu nan pilu Dinda, sedikitnya membawa perasaan dan sikap Dinda pada kata pilih kasih. Ya, dia memperlakukan orang lain dengan hangat, tetapi dengan Steve justru cuek.
Wajah Dinda, dia paling-kan menghadap keluar kaca jendela mobil, menatap gedung-gedung yang mereka lalui. Sambil terhanyut dalam tatapan kosong, Dinda bicara sekenanya pada Steve yang memandangnya dalam diam.
“Pak Steve, anda tidak perlu kasihan padaku.” Dinda memulai bicara menebak isi hati Steve tentang dirinya.
“Maksudnya?”
“Bapak bisa saja menganggap ucapan wanita tadi adalah sebagai kebenaran. Di mana, bahwa aku adalah wanita penghibur yang hidup dengan menopang pada kehidupan pria kaya. Menjajakan tubuhku kepada pria-pria mata keranjang demi kemewahan dan foya-foya belaka. Aku tak akan merasa tersinggung jika itu adalah kenyataannya. Sehingga bapak tidak perlu mengasihaniku lagi kedepannya. Aku memang wanita seperti yang bapak pikirkan. Lucu rasanya seorang wanita jalang sepertiku dikasihani oleh pria seperti Anda Pak."
Dinda bicara seakan itu adalah kenyataannya. Namun itu berbeda dengan apa yang di pikirkan Steve.
“Percaya pada kebohongan sama saja dengan melukai ego sendiri. Di saat seperti ini, kamu masih sempat berpikir bahwa aku akan memelas iba dan ikut kasihan padamu. Sungguh, kamu wanita yang berpikiran liar.”
Ucapan Dinda tadi, membuat Steve sedikit marah. Seakan Dinda menyebut dirinya seorang pria yang ada di pikirannya.
Pria yang percaya pada cerita fikti belaka, yang terkesan memaksa para pendengarnya untuk memojokkan tokoh yang sedang di adili. Cerita yang mengada-ada dan belum tentu kebenarannya.
Steve dengan sedikit emosi khas dirinya yang pemarah, membanting stir kemudi dengan emosional dan tiba-tiba menepikan kendaraannya ke garis pemisah antara jalan raya dan trotoar.
Ia melakukannya tanpa aba-aba dan sesuai keinginannya.
“Kenapa pak berhenti tiba-tiba!” tanya Dinda kaget.
Steve tanpa pikir panjang langsung mendekatkan wajahnya dan mendaratkan sebuah ciuman. Dinda tak bisa bicara lagi karena mulutnya tersumpal oleh bibir hangat Steve.
Steve ******* habis bibir itu dengan nikmat dan sesekali Dinda memejamkan mata.
Bibir lembut Dinda terasa hangat dan amat menggairahkan. Steve melakukannya penuh dengan keromantisan dan tidak memberikan celah bagi gadis itu untuk berontak.
“Jika kamu menurut padaku, aku jamin tidak akan melukai bibirmu yang manis ini,” ujar Steve pelan. Lalu dia melanjutkan lagi cumbuan manis ini.
Dinda menahan nafasnya, sebab ini kali pertamanya dia dicium oleh seorang pria penuh kehangatan. Degup jantungnya makin berpacu dua kali lebih kencang dari biasanya.
Mengapa aku merasa nyaman saat pria ini melakukannya padaku. Mengapa aku tidak melakukan perlawanan saat dia menciumku secara sepihak.
Dinda bertanya-tanya dalam hati kecilnya. Sambil sesekali dirinya menikmati cumbuan hangat itu. Aneh bukan? Tapi, inilah kenyataannya.
”Tidak, aku harus menghentikannya!”
Kali ini Dinda mulai sadar dan tak ingin meneruskan tingkah Steve yang sekehendaknya melakukan semua keinginannya.
Dinda mencoba mendorong tubuh kekar Steve dengan kasar tanda bahwa ia ingin mengakhiri kelakuan itu. Namun hal itu sia-sia karena tenaga Steve lebih kuat bahkan ciuman yang di berikan Steve lebih liar lagi dari sebelumnya.
Dinda tidak bisa berontak lebih kuat lagi. Karena pria ini begitu kekar sehingga sulit bagi tubuh kecilnya memberontak, meminta lepas dari dekapan Steve yang gagah. Wajah Dinda memerah padam karena malu.
Selang beberapa lama, Steve mengakhiri ciuman kasarnya dan membersihkan mulutnya menggunakan kerah lengan bajunya.
”Uhm ..., maaf. Aku tidak sengaja melakukannya secara tiba-tiba.”
Dengan ekspresi sok cueknya, Steve tak berani melihat wajah gadis yang telah ia kecup dengan kehangatan itu. Sialnya, Steve ingin nambah sebenarnya. Tapi dia tidak berani. Dinda bukan siapa-siapanya.
“Sial kenapa aku malah melakukan itu padanya. Apakah sulit bagiku menahan diri untuk tidak menciumnya. Benar-benar sial!”
“Aku paham, Pak!” jawab Dinda canggung.
Dinda melihat sepasang mata yang dingin membuang muka bahkan tidak berani melihat wajahnya. Begitu juga dinda, ia merasakan hal yang sama. Ia merasa amat malu, meskipun Steve yang memulainya. “Sebaiknya aku turun di sini saja Pak. Terima kasih sebelumnya.”
Dinda menarik pintu, sial keluar. Tapi tangannya langsung dicekal Steve. “Tidak, sebaiknya aku mengantarmu sampai tujuan. Aku yang bertanggung jawab atas semua ini. Dan aku juga harus menuntaskannya.”
“Tidak apa-apa, Pak. Aku bisa pulang sendiri. Terima kasih atas tumpangannya.”
“Aku tidak akan membiarkan karyawanku pulang sendiri malam-malam seperti ini. Jika tidak, bagaimana mungkin aku di sebut sebagai CEO yang bisa diandalkan jika aku menelantarkan karyawanku sendiri. Sebaiknya pakai lagi seatbelt-mu.”
Dinda mendecak sebal. “Pria ini begitu memaksa mengantar ku pulang. Setelah mencium ku tanpa izin, kini dia melakukan sekehendaknya saja. Sungguh pria yang menyebalkan.”
Ingin rasanya, Dinda memukul kepala Steve. Tapi tetap saja, dia tidak memiliki keberanian sama sekali.
Dinda tidak habis pikir bagaimana mungkin dirinya bisa bertemu dengan pria semacam ini dan juga suka melakukan semaunya saja.
Mobil sudah melaju kencang menuju arah pulang ke rumah Dinda. Steve fokus pada jalan mobilnya. Dan ya, sedikit canggung duduk dengan wanita cantik di sebelahnya.
“Aku rasa dia tak akan melupakan ciuman tadi. Ciuman sebagai penanda bahwa dia adalah wanitaku. Dan aku akan terus memberikannya tanda bahwa hanya aku yang boleh melakukan apapun yang aku inginkan terhadap dirinya. Sekali pun orang itu adalah orang yang paling ia cintai, aku pasti akan melenyapkan orang itu. Sehingga tak ada yang berani menyentuh gadis nakalku selain aku.”
Inilah Steve, dia tak akan membiarkan siapapun mengambil boneka kesayangannya bahkan sudah rusak sekalipun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 172 Episodes
Comments
Berdo'a saja
nyosor kayak soang
2023-05-16
0
nisa lalisa
baru juga dua hari ketemu
2020-05-03
1
Endang Setiawan Ysh
wah main nyosor aja tuh😅
2020-04-11
6