Dinda keluar dari ruangan bos sombongnya itu dengan perasaan yang amat mengganggu dipikirannya. Dia sungguh tidak habis pikir, bagaimana bisa pria itu bertindak seenaknya dengan sikap arogansi yang menjengkelkan.
“Aku yang membantu tubuhnya itu menuju ke hotel, dan aku juga yang harus bertanggung jawab atas kerugiannya. Benar-benar tidak masuk akal pria itu. Bahkan aku dituntut ganti rugi sementara aku sendiri tidak melakukan apapun pada tubuhnya itu. Memang semahal apa tubuh pria itu. Jika bukan karena gaji di Perusahaan ini besar, mana mungkin aku bisa bertahan bekerja di bawah tekanan pria sakit jiwa itu.”
Pikiran wanita ini kacau balau ditambah perjanjian absurd dan konyol yang membuat kepalanya itu serasa ingin meledak.
“Hei Din, dari mana saja?” tanya Eva.
“Baru saja keluar dari ruangan CEO!” jawab Dinda ketus.
“Hah, serius?”
Dinda mengangguk. Ekspresi wajahnya masih terlihat kesal.
“Terus, terus gimana? Apakah dia tampan seperti yang di ucapkan para karyawan?” tanya Eva lagi. Penasaran sudah mendominasi pikiran gadis satu ini.
“Aku tidak tertarik membahas pria itu. Sudah cukup bagiku berurusan dengannya!”
“Maksudnya?”
“Aku tidak mau menggosip pria itu, kamu paham. Aku sedang tidak enak badan dan aku ingin mengambil cuti pagi ini.”
Eva bingung pada tingkah rekannya yang sedari pagi tadi sudah tidak ada mood untuk bekerja. Bahkan Eva harus kecewa karena tidak berhasil mendapatkan curhatan berkelas dari Dinda.
“Aku akan pulang sekarang, pekerjaanku sudah beres!” tambah Dinda, lalu meninggalkan meja kerjanya.
“Oke, hati-hati di jalan sayang!” teriak Eva. “Sebenarnya ada apa dengannya. Kenapa tingkahnya berubah jadi tidak semangat seperti hari biasanya?”
Dinda sebenarnya tidak sedang dalam keadaan tidak enak badan, tetapi dia ingin menghindar dari Steve. Untuk hari ini moodnya rusak hanya karena hal konyol.
Dinda benar-benar bingung pada sikap pria itu, karena tidak bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar.
Sedangkan Steve, di ruangan kerjanya merasa amat puas. Langkahnya untuk membalas Dinda perlahan mulai terealisasikan. Sekarang wajahnya tersenyum sumringah. Berbeda dengan tadi pagi. Di mana wajahnya memerah akibat panasnya emosi yang meluap-luap.
“Kita lihat saja nanti, sampai mana kamu berani menentangku Dinda!”
Sesekali Steve membayangkan bayangan punggung wanita yang ia kerjai itu. Tubuhnya yang modis dan seksi ditambah jalannya yang elegan dengan rambut blonde keriting bergelombang nan panjang tergerai rapi.
“Menarik juga, mengerjai wanita ini. Aku yakin, dia pasti sangat menggairahkan. Ehm ..., dia sudah membuatku gila sekarang!”
Pintu kaca itu terbuka dengan hadirnya Zico di ruangannya. Pria itu mengganggu Steve yang sedang berkhayal. Mau tidak mau, Steve harus mengakhiri kegilaannya siang ini.
“Hai Steve. Lama tidak mengunjungi tempat ini!”
Zico sok akrab pada Steve. Rasanya, Steve ingin sekali melempar wajah pemuda itu dengan botol air mineral.
Zico adalah teman Steve ketika sekolah di Frankfurt, Jerman. Setidaknya Zico tahu sikap dan perangai Steve selama mereka bersahabat di Jerman.
“Di mana sopan santunmu sebagi karyawan di sini Bung!”
Steve sinis pada sikap sok akrab rekannya itu. Zico tahu, pria dingin itu pasti selalu saja bersikap sombong. Namun baginya bukanlah Masalah. Karena Zico tahu sifat dasar sahabatnya itu, yakni dingin tapi perhatian.
“Kupikir aku salah memasuki ruangan sepertinya!” kata Zico sesumbar, menguji emosi Steve.
Tapi tidak berhasil, Steve acuh. Dia tidak marah sekarang.
“Ada apa kamu kemari?” tanya Steve, mengganti topik pembicaraan.
“Sangat emosional pagi-pagi seperti ini," balas Zico. “Tentu saja aku datang ke sini karena ingin memastikan bagaimana kinerja wanita itu. Bagaimana, apakah oke atau akan membuatmu kecewa?”
kini Zico yang berulah arogan membalas sikap Steve dengan semangat.
”Kamu!”
Steve menahan emosi. Dia menarik napas dalam-dalam karena kesal pada Zico yang bertindak seakan-akan dia adalah dirinya. Si pemarah, dengan seribu alasan untuk adu gelud.
Zico hanya tersenyum kecil karena puas memancing emosi Steve yang bar-bar nan emosional.
“Baiklah. Aku paham kamu sangat membenci sikapku yang sangat ambisius ini. Jangan katakan bahwa kamu belum memeriksa laporan itu.”
Kali ini Zico menghentikan tingkahnya yang ambigu. Namun Steve, jangan tanyakan bagaimana dia bersikap. Wajah garang dan pemarahnya tak akan berubah. Sikap arogan adalah aura paling berkesan selama mengenal pria itu. Siapa pun yang ingin mendekati dirinya, pasti akan berpikir ulang hingga ribuan kali. Bagaimana tidak, wajah itu tak pernah menampakkan senyum indahnya kepada orang lain.
“Aku akan memeriksa berkas-berkas itu nanti. Dan satu hal yang perlu kamu ketahui, bahwa mulai hari ini hingga satu minggu kedepan, aku akan berada di bangunan kecil ini. Jadi kamu harus biasakan bersikap lebih baik dari hari ini, sebelum aku melemparmu jauh-jauh!”
"Ya ya ya, baiklah jika kamu inginkan itu. Tapi bagaimana dengan wanita itu? Cantik bukan? Dia adalah tipeku loh!” balas Zico menggoda.
Dia ingin melihat reaksi Steve seperti apa saat dirinya membahas Dinda. Zico melakukannya karena ia penasaran ada apa dengan Dinda. Sampai-sampai membuat CEO muda itu mau mengunjungi kantor bobrok ini. Bahkan meminta langsun agar Dinda mengantarkan berkas-berkas itu ke ruangan yang kedap suara ini.
Steve lagi-lagi harus menahan kesal pada teman paling bodohnya itu. Ingin rasanya dia menjatuhkan Zico yang idiot itu dari lantai atas gedung kantornya. Dengan begitu dia tak akan pernah lagi bertemu dengan si otak kolot.
Tetapi Steve dengan senyum manisnya, untuk sesaat Steve tertawa lucu. Mendengar ucapan Zico yang mengakui bahwa wanita jelek itu menjadi wanita tipe pilihannya.
Semakin banyak yang menyukai Dinda maka semakin semangat juga ia ingin mengolok Dinda. Wanita yang dengan berani telah mendekati tubuhnya bahkan tidur satu ruangan dengannya. Wanita yang menarik.
“Aku mau pulang hari ini, dan semua urusan kantor kamu yang urus. Aku ingin menikmati hari yang luar biasa di kota ini!”
“Baiklah, aku rasa memang pekerjaan kantor kecil ini bisa kutangani sendiri!” balas Zico. Steve sudah keluar, Zico mengekori sahabatnya itu.
Steve berjalan melewati ruangan bagian keuangan, namun dirinya tidak melihat Dinda di ruangannya.
“Wanita ini sudah mulai memancing kemarahanku. Sepertinya aku terlalu lembut padanya!”
Steve menahan emosi karena tidak melihat Dinda. Hingga Steve berinisiatif untuk mencari informasi di mana wanita itu tinggal sampai mendapatkan nomor ponselnya.
Semua informasi tentang Dinda, sangat penting. Baginya wanita ini adalah umpan ikan kecil yang harus diikat erat-erat agar tidak kabur sesuka hatinya. Seumur-umur dinda adalah wanita pertama yang berani menentang sikapnya.
“Kamu tunggu saja, kali ini kamu akan merasakan balasan dariku. Dasar wanita jelek!”
••••
Bagi Dinda, bertemu dengan Steve, adalah sebuah kesengsaraan. Sengsara yang nyata.
Tapi Dinda tak ambil pusing. Apalagi pada perjanjian kontrak yang telah ia tanda tangani tadi pagi. Dinda menganggap kejadian itu hanya ilusi semata dan hanya sebuah ancaman kecil saja.
Dering telepon masuk. Mengganggu Dinda yang sedang rebahan santai di kasurnya.
“Pasti Ibu lagi yang nelpon!”
Siapa lagi? Hanya Ibunya yang menelpon kalau seperti ini. Atau adik lelakinya. Tapi itu jarang. Telepon dari Ibunya yang mendominasi telepon Dinda.
“Iya hallo Bu!!” jawab Dinda, tanpa melihat dulu siapa yang menelpon.
“Ibu? Kamu pikir aku Ibumu yang menelpon!”
Dinda terkejut, saat mendengar sapaan keras dari seorang pria. Dia mengecek ponselnya. "Bukan Ibu yang menelpon. Lalu siapa?”
Jelas bahwa di layar teleponnya tertulis nomor tidak di kenal. Bahkan Dinda merasa tidak ada kerabatnya yang menelpon dengan suara amat jelek dan kasar.
“Hallo, maaf dengan siapa ini?” tanya Dinda ingin tahu.
“Nampaknya kamu sudah melupakan suara ini!” jawab suara dalam telepon itu.
Tak perlu berpikir keras, Dinda tahu siapa pemilik suara itu. Secara spontan dinda menyebut nama pria itu. “Pak Steve!”
“Ya ini aku. Kenapa, kagetkah jika bos besarmu menelpon karyawan jeleknya?”
“Oh tidak Pak, aku hanya kagum pada suara Bapak yang amat merdu!” tapi bohong.
"Aku tidak peduli pada pujianmu. Yang aku perlukan sekarang adalah kamu harus mengingat perjanjian kontrak yang telah kita sepakati tadi pagi. Aku butuh makanan lezat nanti malam pukul tujuh. Ingat kamu harus datang sebelum pukul tujuh malam dan harus sudah menyiapkan makanan lezat untukku. Apakah kamu mengerti!"
“Tentu saja aku mengerti Pak. Aku akan datang sebelum jam tujuh malam!”
“Baguslah. Ingat jika terlambat maka biaya ganti rugi menjadi dua kali lipat dari perjanjian awal!”
“Iya pak aku mengerti!” pungkas Dinda seraya mematikan ponselnya.
Ah ..., dasar pria introver, psikopat, pria sakit jiwa. Ingin sekali Dinda memakinya secara langsung. Tapi tidak! Dinda tidak ada keberanian memaki bos pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Sekarang, kehidupan Dinda ada padanya.
Pertemuan malam itu, akhirnya membuat Dinda masuk dalam perangkapnya sendiri. Dari semua wanita di seluruh Jakarta, mengapa harus dirinya yang bertemu dengan Steve.
••••
Sejak tadi siang, Steve sudah di rumahnya. Sambil terus membayangkan, betapa lucunya nanti dia bertemu mangsa yang siap dia lahap. Tanpa sadar, dia bersikap salah tingkah dikala akan menyambut kedatangan Dinda.
“Aku rasa dia akan membalasku dengan makanan pedas. Untungnya aku adalah pecinta makanan pedas sehingga tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi bagaimana jika wanita jelek itu memasak makanan yang sangat asin? Apa yang harus aku lakukan. Ah aku belum memikirkan masalah ini!”
Steve sibuk sendiri, memikirkan bagaimana mengerjai Dinda. Dia memang kekanakan, entah kenapa menjahili Dinda membuatnya ingin terus terkekeh geli.
Paman Lu yang tak sengaja menyaksikan Tuannya berprilaku aneh, seperti seseorang yang sedang kasmaran—terkekeh manja seraya menutup senyum tuanya. Pikir pelayan tua itu, ini kali pertamanya dia menyaksikan wajah dingin Steve tersenyum bahagia.
“Hei Paman Lu. Apa yang kau tertawakan?”
Steve sadar jika dirinya menjadi pokok perhatian pria tua pengintip itu.
“Tidak Tuan muda. Aku hanya sedang membayangkan film lucu milik Walt Disney,” kecoh Paman Lu.
“Apa benar begitu? Kau yakin tidak mentertawakan aku?”
“Tentu saja Tuan. Kalau begitu aku akan melanjutkan tugasku.”
Berekspresi datar seperti tak terjadi apa-apa, Paman Lu meninggalkan Tuannya. Dia tidak mau mengganggu wajah yang sedang bahagia Steve. Tapi Steve menghentikan langkah kakinya.
“Tunggu Paman Lu, apakah bahan makanan masih banyak?”
Paman lu untuk sejenak berpikir keras ada apa tiba-tiba Steve bertanya makan dapur. Biasanya dia tak peduli.
“Tentu saja Tuan, bahkan semuanya sangat segar. Apakah anda ingin dimasakan makanan yang enak?”
“Tidak, aku hanya ingin kau menyambut wanita jelek itu nanti malam. Dan biarkan dia memasak untukku!”
Steve benar-benar aneh di mata Paman Lu. Tidak seperti Steve biasanya yang jarang mengajaknya bicara maupun menyapanya. Bahkan hanya sesekali saja ia menyapa Paman Lu. Itu pun ucapan senada yakni, “Aku tidak akan makan di rumah, jadi kau tak perlu menyiapkan makan!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 172 Episodes
Comments
Berdo'a saja
udah umum
2023-05-16
0
ratu adil
ngakak trus smpek kesel mulutq ketawa cekikikan hibibi
2020-09-19
0
☠⏤͟͟͞R⚜🍾⃝ ὶʀαͩyᷞαͧyᷠυᷧͣ🏘⃝Aⁿᵘ
bener bener aneh...
2020-01-20
0