Masih di atas kasurnya, Steve merasa kepalanya mau pecah. Akibat mabuk semalam, menyebabkannya seperti orang bodoh sekarang.
Dirinya masih menyimpan dendam pada Dinda karena telah mengganti pakaian dan menyentuh tubuhnya tanpa seizinnya.
“Sialan! Dasar wanita penghibur kurang ajar!”
Tangannya ia kepal dengan keras seakan ingin memukul wajah wanita itu, jika saja dia tidak diserang rasa sakit di kepalanya. Terdengar suara pintu kamar yang dia tumpangi terbuka, diikuti pria tua yang masuk membawa troli makanan. Pria itu sedikit melempar senyuman penuh sandiwara pada Tuannya dibalik tebalnya kumis.
“Selamat pagi Tuan muda!” sapa paman Luong pada Steve. “Aku membawa sarapan Anda pagi ini. Dan aku juga telah menyiapkan pakaian kerja Anda!”
"Letakan saja di sana!” balas Steve singkat.
Bau alkohol masih menyengat meskipun Steve sudah mengganti pakaian. Paman Luong merasakan aroma tidak sedap itu.
“Baiklah. Kalau begitu aku pergi dulu Tuan. Aku akan membereskan pakaian Tuan muda yang kotor ini.”
Paman Luong yang telah menyelesaikan semua tugas dan siap kembali ke rumah utama. Hotel Milenium ini adalah rumah lain bagi Steve.
Pria itu jarang ada di rumah akhir-akhir ini. Ditambah tak ada satu pun anggota keluarga bersama dirinya di Jakarta. Kecuali Paman Lu yang setia bekerja berpuluh-puluh tahun di keluarga Wong. Dia selalu ada untuk melayani Steve. Jauh-jauh datang dari Tiongkok, hanya karena kesetiaannya.
“Paman Lu, tunggu dulu. Aku ingin bertanya padamu tentang kejadian semalam!”
Menghentikan langkah pria tua itu, dengan serta merta Paman Lu membalikan badannya—sebagai refleks dari panggilan Steve.
“Ia tuan Anda ingin bertanya prihal apa?” tanya Paman Lu. “Apakah sangat penting?”
“Anda jangan pura-pura polos Paman Lu. Bukankah Anda yang membiarkan si wanita jelek itu menggantikan pakaianku semalam. Mengapa Anda membiarkan hal itu. Cepat jelaskan apa maksudnya dari semua itu?”
“Ehm, itu ya!” jawab Paman Lu. “Aku pikir jika wanita yang menyentuh Anda, mungkin Anda tak akan marah sebesar ini. Jadi, jika wanita itu membantu menggantikan pakaian Tuan muda bisa saja Tuan tidak keberatan. Maafkan aku atas kelancanganku membiarkan wanita asing menyentuh anda Tuan muda. Karena aku pikir dia adalah teman yang datang bersama Anda!”
Mendengar ucapan jujur Paman Lu membuat Steve menggigit keras giginya hingga berbunyi.
“Paman Lu!” teriak Steve marah besar sambil sorot matanya yang tajam menatap wajah tua penuh dendam.
Namun bagi Paman Lu, kemarahan Steve adalah hal biasa. Sudah menjadi bagian dari pekerjaannya dalam menghadapi pria angkuh dan arogan. Mungkin bekerja di bawah perintah Steve membuat sebagian orang tidak akan betah. Tapi tidak dengan Paman Lu. Dia yang masih saja setia berada di lingkungan keluarga Wong.
“Ada lagi yang bisa saya bantu Tuan? Apakah Anda butuh sesuatu?” tanya pria tua ini, mengalihkan pembicaraan Tuannya yang sedang marah.
“Ah, aku tak butuh apapun. Kecuali wanita semalam!”
“Maksud Anda, wanita itu?” respon Paman Lu. “Apakah anda akan mengucapkan terima kasih pada Nona muda itu?”
“Kau selalu saja berpikir bahwa aku akan melakukannya. Aku tidak akan melakukan apapun yang kau inginkan. Yang aku mau hanya wanita semalam. Aku ingin membuat perhitungan padanya.”
“Oh, apakah Tuan muda menginginkan ini?”
Karena tadi tidak sengaja menemukan gantungan id card perusahaan milik Dinda, dengan sengaja Paman Lu memberikan benda itu pada Steve.
Gantungan id card itu adalah identitas dirinya sebagai tanda—bahwa dia adalah pegawai di perusahaan keuangan. Dengan senyum bangga Steve menginginkan id card itu.
“Kenapa harus menolak?” pikir Steve.
Steve menerima id card Dinda. Dan memang mereka berjodoh. Sudah takdirnya, Steve membalas dendam semalam. Gadis itu ternyata bekerja di anak perusahaan keluarganya.
“Kalau begitu, saya permisi dulu Tuan. Dan pakaian kerja Anda sudah aku letakan di atas meja!”
Steve tidak menggubris ucapan pelayan Lu. Dia hanya fokus pada kartu identitas di tangannya sembari menatap id card itu penuh gairah. Wajah sendunya kini berangsur berubah menjadi senyum licik ala aktor antagonis.
“Kamu lihat saja, masih beranikah kamu menyombongkan dirimu padaku, Dinda!”
Berkata penuh kemenangan, inilah yang Steve harapkan. Menuju ke kamar mandi untuk membersihkan sisa-sisa bau alkohol di badannya, pikiran Steve hanya satu. Yakni Dinda. Nama cantik yang tertera di id card.
Tidak peduli apa pun, dia ingin segera bertemu dengan wanita jelek dihadapannya tadi pagi. Bagaimana pun juga.
••••
Di jalan, Steve mengendarai mobilnya. Menyetel musik, sepertinya hari pria itu sedang dalam suasana damai. Mengambil handphone-nya, Steve menghubungi Zico—manajer umum perusahaannya. Pria ini memulainya. Memulai sebuah perintah kejam untuk Manajer umumnya.
“Aku akan mengunjungi perusahaan pagi ini. Tolong kamu siapkan data-data keuangan bulan lalu. Semua kas keluar masuk harus ada di mejaku nanti. Dan satu lagi, aku ingin karyawan bernama Dinda yang mengantarkan berkas-berkas itu. Kerjakan sekarang dan aku tidak butuh saran maupun jawabanmu!”
Steve langsung mematikan ponselnya secara sepihak tanpa mendengarkan terlebih dahulu jawaban yang akan dilontarkan oleh Zico.
Dengan semangat yang luar biasa, pria ini mengemudi mobilnya dengan kecepatan utuh. Dia ingin cepat tiba di kantornya dan tak sabaran ingin melihat wajah gadis jelek itu. Untuk kesekian kalinya ia terus tertawa kecil penuh kelicikan.
“Aku ingin tahu, apakah dia masih bisa bersikap seperti itu padaku!”
Kini pedal gas mobilnya dia injak sepenuh hati, memacu kecepatan mobil bagai kecepatan kuda. Hingga mobil itu tiba di kantor kecil yang ia anggap akan bobrok.
••••
Di dalam ruangan bosnya, Dinda merasa bersalah atas ucapannya yang menyebut Steve sebagai pria mesum. Bosnya yang berdiri disudut meja, memberikan senyuman miring pada dinda.
“Kamu telah berani menyebutku sebagai pria mesum. Bahkan sebelumnya kamu telah menyentuh tubuhku yang mempesona ini tanpa izin dariku. Kukira kamu akan lari dari tanggung jawab. Ternyata kamu bekerja di perusahaan kecil ini. Jadi menurutmu apakah aku akan memaafkan kesalahan kecil ini?”
Wajah Steve mendekat ke wajah sendu Dinda. Pikirnya tubuh wanita itu amat harum, dan dia amat menyukai gaya wanita ini dalam memilih parfum. Ditambah dia juga agak cantik dengan balutan baju kerja yang kasual meskipun sederhana.
“Pak, aku benar-benar meminta maaf atas kejadian pagi ini. Dan juga atas ucapanku yang sembarangan mengatakan anda dengan ucapan tidak pantas. Jika anda ingin menghukumku, maka aku bersedia menanggung konsekuensinya Pak.”
Mungkin mengalah adalah jalan akhir. Paling tidak ini adalah cara yang ampuh untuk melelehkan hati pria sombong itu.
“Oho ..., menanggung konsekuensinya. Kedengarannya menarik!” jawab Steve responsif penuh gelora. “Bagaimana jika aku memotong gajimu selama sepuluh bulan untuk mengganti kerugian yang aku alami akibat perbuatanmu. Setidaknya itu cukup untuk menyicil kerugian semalam.”
“Sepuluh bulan tidak di gaji hanya untuk membayar sebuah kerugian. Memangnya kesalahan apa yang telah aku lakukan sehingga harus mencicil dengan uang sebanyak itu?”
Bolehkah Dinda terkekeh sekarang?
Kenapa dia harus mengganti rugi, atas apa yang tidak dia lakukan. Bagi Dinda, dia merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Tetapi kenapa, justru dia yang harus bertanggungjawab. Bukankah ini ironi yang lucu?
“Mudah saja,” jelas Steve. “Pertama kamu membuatku mabuk. Kedua kamu menyentuh dan menggantikan pakaianku tanpa seizinku. Ketiga pagi ini kamu telah mengacau dengan menyebut diriku sebagai pria mesum. Apakah itu belum cukup membuat kamu sadar atas kesalahan ini!”
“Tapi pak, apakah semua itu aku yang harus menanggung. Lagi pula Anda mabuk, bukan ulahku. Tetapi aku yang membantu Anda. Aku yang membawa Anda ke hotel.
Apakah tidak ada ucapan terima kasih atas pertolongan yang aku berikan?”
Jika bosnya bisa menuntut, kenapa Dinda tidak bisa. Inilah realitanya.
“Kamu pikir aku akan percaya saja pada ucapanmu? Lagi pula jika kamu tidak ingin bertanggung jawab baiklah. Aku tidak akan memaksa. Tapi maafkan aku, perusahaan yang nyaris aku robohkan ini, sepertinya tidak membutuhkan akuntan sepertimu lagi. Dalam arti lain mungkin kamu bisa mengambil gaji terakhirmu di bagian administrasi.”
Apakah ini sebuah ancaman? Kekanakan sekali dia. Hanya karena masalah sepele, dia harus memecat Dinda. Karena dia berkuasa saja, itulah yang membuatnya bisa melakukan sepenuh hatinya.
Pernyataan Steve membuat Dinda terkejut bukan kepalang. Bagaimana bisa kejadian semalam harus sepanjang ini endingnya. Tanggung jawab yang akan Dinda lakukan, sangatlah besar. Sedangkan dirinya tidak melakukan apapun terhadap pria itu. Dinda beranggapan bahwa pria itu sedang mempermainkannya.
Tidak ada pilihan kedua dalam hal ini. Pria itu jelas-jelas sudah menekan Dinda. Jawaban Dinda, yang pastinya akan sesuai keinginan pria sakit jiwa ini.
“Baiklah Pak, aku akan bertanggung jawab atas apa yang telah aku lakukan. Tapi, bisakah Anda tidak memecatku. Aku sangat membutuhkan pekerjaan ini Pak. Aku akan membayar semua kerugian Anda dari gaji bulananku.”
Dengan perkataan serius, Dinda memohon. Wajah memelas iba penuh harapan. Apalagi yang diharapkan oleh si orang gila satu ini.
Steve tersenyum miring. “Bahkan uangku sangat banyak. Gajimu tak akan mampu melunasi semua kerugian yang aku alami. Dan untuk sepuluh bulan kedepan, apakah kamu sanggup hidup tanpa uang? Coba kamu pikir ulang. Kecuali kamu melayaniku?!”
Pria itu dengan tipu dayanya mencoba menggoda gadis yang sedang kebingungan itu. Tapi bodohnya Dinda, dia justru menyetujui apapun yang dikatakan si pemaksa ini.
“Baiklah. Aku akan menerima permintaan Anda Pak,” balasnya menantang. “Aku akan melayani kemauan Anda. Apa yang harus aku lakukan untuk Anda!”
Sekali lagi wajah sombong itu tersenyum kecut dan merasa sedikit geli atas kesanggupan Dinda. Pikirnya dia adalah wanita pertama yang berani menentang seorang Steve. Apapun itu dia menyukai tindakan tegas wanita itu.
“Hal itu sangat mudah. Aku hanya butuh pembantu khusus yang akan memasak di rumahku. Dan mungkin aku rasa, kamu tak akan sanggup pada tugas itu, karena aku adalah tipe pria yang sedikit cerewet pada masakan yang kurasa tidak enak!”
Jauh dari dalam lubuk hati Dinda, dia sangat marah, emosional, dan ingin mencabik-cabik tubuh pria sombong itu. Namun Dinda masih berpikiran jernih untuk mengumpat pria itu. Akibat ucapan Steve, Dinda tanpa sadar termakan emosi sehingga ia mengikuti kemauan bos sombongnya.
“Baiklah Pak jika itu kemauan Anda, aku akan menerima permintaan itu dengan senang hati.”
Sungguh, saat ini Dinda tidak ingin lagi bertemu pria bernama Steve. Dalam hidupnya, Steve sudah di blacklist, meskipun ia sangat tampan.
Baginya dari awal bertemu pria itu sudah sangat menjengkelkan, apalagi jika terus-menerus ada di dekatnya. Sungguh Dinda akan merasa muak pada perilaku pria itu.
“Bagus jika kamu setuju. Kupikir gadis jelek sepertimu tidak akan mau menerima penawaran ini. Dan kamu harus menandatangani kontrak ini!”
Steve memberikan sebuah berkas pada Dinda. Di dalamnya ada perjanjian tertulis, yang langsung diucapkan oleh Steve.
“Pertama kamu akan mengakui bahwa kamu yang telah membuatku mabuk. Kedua kontrak ini berlaku hingga empat tahun mendatang sehingga kamu akan selalu melayaniku untuk waktu itu. Dan terakhir, tidak mengucapkan ucapan kasar kepada bosmu. Kamu pastinya paham bukan isi surat itu.”
Isi surat kontrak sudah ada dalam ketikan di dalamnya. Tapi kenapa, dia masih saja menjelaskan isinya, seakan Dinda adalah karyawan yang buta huruf.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 172 Episodes
Comments
Berdo'a saja
aneh sekali
2023-05-16
0
Nelly Mulyanti
coba mampir dan nyimak dulu ceritanya ya bang/adek(baru ini nemu author cowo)salut laahhh...semoga saya suka😊
sukses dan semangat terus untuk karyanya.
2020-11-30
0
v
lah dia yg mabok sendiri tp nyalahin org..emang waktu minum2 sebelumnya ga inget...aneh menurutku
2020-08-07
2