PROLOGUE
Malam itu pukul sembilan lebih lima belas menit. Dinda Nurshbrina, itulah namanya. gadis yang berdiri depan pintu keluar masuk kantor.
Dirinya adalah wanita karir yang saat ini bekerja di salah satu perusahaan besar, namun di tempatkan di kantor cabang yang tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Dia tergabung dalam manajemen akuntansi untuk menangani keuangan perusahaan.
UOB Asian (Union of Bank Asian ) itulah perusahaan, tempat gadis ini bekerja. Anak perusahan, Grup Wong. Salah satu pengusaha terbesar di China.
Dinda baru saja melangkahkan kakinya keluar dari gedung kantor. Malangnya malam itu, hujan melanda kota. Lembur, alasan yang tepat menggambarkan, betapa tidak pedulinya Dinda pada ramalan cuaca malam ini.
“Dinda aku pulang duluan ya, tunanganku sudah menjemputku. Dah Dinda.”
“Iya. hati-hati di jalan. Have a nice day!”
Dinda membalas lambaian tangan koleganya itu, sebelum keduanya berpisah. Tepat di depan pintu kantor yang berputar searah jarum jam. Setelah itu, Dinda juga pulang. Kantor juga sudah sepi, kecuali ada beberapa satpam yang masih berjaga.
Dinda mengambil jalan melalui taman. Karena jalan itu, lebih cepat sampai di apartemen sederhananya. Bukan apartemen mahal, lagi pula masih nyicil. Di tengah jalannya, handphone milik Dinda berdering keras.
“Pasti Ibu yang telpon!” pikir Dinda begitu. “Ya, setidaknya dugaanku tidak pernah salah.”
Menjawab telepon Ibunya, apalagi yang akan mereka bicarakan. Selain membahas kabar Dinda.
“ya hallo Bu! Iya aku sudah pulang. Iya ini lagi di jalan dekat taman! Iya. Ibu di rumah sehat-sehat ya. Bulan depan jika Dinda senggang, Dinda akan ajak Ibu berkeliling melihat kota Jakarta. Iya Dinda bicara benar. Okelah kalau begitu. Dah Bu!”
Menutup panggilan telepon, Dinda berjalan seperti biasanya. Melanjutkan langkah kakinya di jalan yang terpasang tanda disabilitas.
Jalannya sudah dekat menuju tempat tinggalnya, di apartemen yang menjulang tinggi.
Melewati bangku taman, Dinda tidak sengaja melihat seorang pria mabuk berat—tidur di bangku taman. Pria itu sedikit rupawan dan elok untuk dipandang. Lengkap dengan pakaian kantoran jas berwarna hitam disetel dengan bawahan senada menambah aura—bahwa dia bossy.
Dinda bisa memastikan bahwa pria di hadapannya itu adalah pekerja kantoran, pengusaha atau sebagainya. Jemarinya menjulur mencoba menyentuh tubuh pria beraroma segar dan amat wangi khas pria manly. Bau khas peach.
“Maaf! Apakah anda baik-baik saja?” Dinda penasaran, berusaha membangunkan pria ini. Pria yang tertidur pulas di bawah rintikan hujan. “Hello? Anda masih hidup?”
Ucapan Dinda dibalasnya. Tapi ..., dengan dehaman kecil. Itu pertanda, dia tidak berdaya di tengah dirinya yang tidak stabil.
Saat ini, pikiran Dinda untuk pria ini adalah: Pria mesum yang menghabiskan banyak waktu bersama wanita-wanita nakal. Apalagi yang bisa dilakukan pria pemabuk semacam ini di sini?
Dinda melirik keadaan sekitar. Sepi, rasanya memang tidak ada siapapun di sini kecuali dirinya. “Aman, tidak ada siapapun!”
“Bantu aku, bawa ke hotel.”
Dinda membesarkan matanya, saat mendengar ucapan pria ini. Tidak salah? dia meminta bantuan pada Dinda? Ya siapa lagi, hanya Dinda yang ada di sana.
Tapi ada yang unik dari pria ini. Kakinya sangat panjang. Melebihi batas wajar bangku taman yang dia gunakan sebagai tempat tidur. Kakinya sangat nakal, sehingga membuat dia terjungkal ke tanah.
“Aw ...!” respon Dinda. “Pasti sakit.”
“Bantu aku bawa ke hotel.”
Pria itu mengulangi lagi ucapannya, dengan nada lemas. Sembari satu tangan lebarnya, menangkap pergelangan tangan Dinda. Menarik lebih dalam lagi tubuh Dinda, membuat gadis muda ini terjatuh di dada pria beraroma segar bercampur alkohol. Dia terus menahan Dinda, sampai Dinda bisa merasakan napasnya yang dalam. Juga degup jantungnya yang tenang.
“Ah! Aku merasa sesak. Dia benar-benar kuat, walau sedang mabuk.”
Dinda melepaskan pelukan erat itu. Namun pria ini makin kokoh saja.
“Aku harus mencari bantuan kemana! Bahkan sekarang sudah malam. Tak ada yang melintasi di jalan ini. Bagaimana aku bisa membantu dia pergi ke hotel. Apakah mungkin aku harus mengantarnya ke hotel. Memapahnya? Apakah aku bisa?”
Pilihan Dinda sekarang hanya ada dua. Satu, dia mengantar pria itu ke hotel seperti yang dia pinta. Kedua, meninggalkannya begitu saja.
“Jika aku mengantarnya mungkin aku sudah berbuat baik padanya. Mungkinkah aku mengantarnya ke hotel?”
Ah, pikirnya mulai kacau. Kenapa harus Dinda yang bertemu dengannya? Kenapa tidak wanita lain. Jangan bilang kalau ini adalah jodoh! Dinda tidak suka pada kata itu.
Setelah berpikir beberapa saat, keputusan akhirnya mencuak. Satu-satunya jalan adalah, berbaik hati. Demi kemanusiaan, hanya itu yang bisa Dinda lakukan. Ini karma baik, untuk kehidupannya kedepan.
“Hei. Hotel mana aku harus mengantarmu?” tanya Dinda. “Katakan, aku akan mengantar Anda sekarang.”
“Hotel milenium,” balasnya setengah sadar. Ah, kebetulan sekali. Hotel itu berada di seberang jalan taman kota.
“Huh! Akan ada pekerjaan ekstra malam ini.”
Sedikit kesal, Dinda berusaha membantu pria ini berdiri. Lalu memapahnya menuju ke hotel. Tentu saja dengan kekuatan yang ada. Zaman sekarang, mana ada wanita yang kuat?
“Uh berat. Apakah dia makan sepuluh kilo beras dalam sehari. Kenapa dia sangat berat. Bau alkoholnya juga kuat. Aku tidak yakin bisa melakukan semua ini. Sumpah, dia menyusahkan saja ”
Sepanjang jalan sambil memapah pria yang baru saja dia temui ini. Dinda agak menyayangkan dirinya. Kenapa harus bertemu dengan orang-orang seperti ini.
Sedikit susah payah, akhirnya tiba juga Dinda di hotel. Tempat yang dimaksud oleh pria ini.
“Oh rupanya Tuan sedikit mabuk.” Seorang pelayan tua, menyambut kedatangan Dinda. “Bisakah Nona membawanya ke kamar 1160. Itu adalah kamar khusus milik Tuan!” kata pelayan hotel.
“Tentu saja!” balas Dinda, sedikit ramah.
Kumis tebal itu menggelayut di bawah hidungnya. Juga pria ini sudah berumur, menyambut kedatangan keduanya. Mungkin pria tua itu mengenali pria yang Dinda papah dengan susah payah ini.
Dinda membawa pria hasil temuannya tadi, menuju lift. Setibanya di kamar yang dimaksud, Dinda membanting tubuh itu agak kasar.
“Pekerjaaanku selesai bukan? Saatnya aku pulang!” kata Dinda, lega. Ya, lega rasanya sudah berbuat baik walau nantinya tidak akan dihargai.
Dinda menyeka keringat yang mengalir di keningnya. Napasnya sedikit berantakan, seolah dia baru saja olahraga angkat beban. Bahkan merasa seperti sedang memikul beras hingga seratus kilo dalam satu angkatan ala Kuli pasar.
“Aku harus pulang sekarang. Sudah jam sepuluh.”
Mengambil tasnya yang tergeletak di atas kasur. Dia ingin pulang, tapi— tangannya kembali ditarik oleh pria mabuk itu tanpa sadar.
“Jangan pergi,” katanya lembut.
Tubuh kecil nan ramping itu kembali tenggelam dalam pelukan pria berbadan perkasa ini. Seakan mengulangi lagi kejadian tadi.
Dinda merasakan detak jantungnya. Hangat, masih sama seperti tubuh yang Dinda kenali sebelumnya.
Tapi ..., sayup-sayup kemesraan sesaat itu, harus terhenti. Sesaat setelah pelayan hotel berdasi pita, berpakaian tuksedo datang. Dia tidak mengetuk pintu dulu, sangat tidak sopan.
“Oh maafkan aku telah mengganggu waktu berharga kalian. Silahkan dilanjutkan Nona.”
Pria tua itu berbalik, meninggalkan kamar. Namun langsung dicegat Dinda.
“Ah! ini bukan seperti yang anda pikirkan!”
jelas Dinda. Sembari merapihkan pakaiannya. “Ini hanya kesalahan.”
“Tidak perlu sungkan-sungkan Nona. Tuan muda sudah biasa melakukannya. Aku juga tidak akan memberitahu orang lain!”
“Ah matilah aku. Apa yang telah aku lakukan. Pasti orang tua itu berpikir bahwa aku wanita mesum!” ucap Dinda pelan.
Wajahnya memerah dan rasanya sangat canggung berdiri di depan pria yang telah berpikir aneh. Apalagi pria itu telah memergokinya, berpelukan. Apa lagi yang perlu dijelaskan sekarang?
“Oh iya nona. Bisakah anda tidak pergi dulu dari sini. Untuk malam ini saja. Aku khawatir Tuan akan marah jika tidak ada Anda yang menolongnya berada di sini.”
“Aku? Kenapa harus aku!” jawab Dinda.
"Ya tentu saja Anda. Karena Anda-lah orang yang membawa Tuan kemari. Yakinlah, ketika Tuan sadar maka ia akan mengucapkan terima kasih pada Anda, lalu Tuan juga akan mengganti waktu Anda malam ini.”
Dinda mengernyitkan dahinya. Apakah dia benar-benar jadi pelayan sekarang?
Pria tadi kini berdiri di depan pintu, kemudian berbalik. Kembali menatap Dinda yang terdiam tanpa suara.
“Oh iya Nona muda. Jangan lupa gantikan pakaian Tuan muda. Aku telah membawa pakaian itu dan meninggalkannya di atas meja. Nona juga harus ganti baju!”
Pria itu meninggalkan keduanya begitu saja. Di dalam kamar besar ini, keduanya seakan diikat dan dikurung oleh sebuah perjanjian.
“Oh iya, anggap saja anda tak menyaksikan penampakan luar biasa apapun dari Tuan. Anggaplah itu mimpi buruk!” sambung pria tua itu, sebelum dirinya benar-benar pergi.
Dinda ingin sekali membantah perintah Pak tua. Namun apalah daya, memohon pada wanita yang lebih muda bukanlah hal yang sopan. Maka, mau tak mau Dinda menuruti perintahnya.
Awalnya dia merasa takut namun Dinda hanya berpikir positif bahwa tak akan terjadi apapun padanya.
Malam yang panjang kini Dinda lalui sedikitnya dengan hal yang agak konyol. Menggantikan pakaian pria tidak dikenal hingga menjaga tidurnya yang lelap
••••
Pagi hari ini di mulai sebuah drama yang tak akan Dinda lupakan untuk waktu lama. Pria yang ia tolong, mengamuk tidak jelas.
“Sialan! Siapa yang berani menyentuh tubuhku tanpa seizinku!”
Sontak suara itu membuat Dinda membuka matanya yang sedang terkantuk.
“Hei! Ada apa sih, pagi-pagi sudah berteriak. Berisik! Ganggu saja!” ucap Dinda kesal.
“Kamu ..., siapa kamu? Dan apa yang kamu lakukan di sini. Apakah kamu wanita penghibur yang telah menggantikan pakaianku?”
Menatap Dinda seperti menatap seorang wanita penghibur, jelas Dinda akan marah.
“Hei, bisakah kamu menjaga ucapanmu itu. Aku yang telah membantumu. Dan kini kamu menyebutku wanita penghibur! Di mana sopan santunmu menghargai seorang wanita?”
“Kamu!” Pria yang duduk di ranjang, mencoba menahan amarah seraya tangannya memegang kepala. Ia menahan sakit akibat mabuk semalam.
“Kamu apa? Dasar pria mesum!” ucap Dinda makin kesal. “Baiklah. Sepertinya tugas semalam sudah berakhir. Saatnya aku harus bekerja. Dan kamu pria mesum! Aku peringatkan kamu, bahwa aku bukanlah wanita penghibur seperti yang kamu ucapkan. Kamu harus ingat itu!”
Bangkit dari sofa panjang, Dinda pergi meninggalkan pria dihadapannya.
Pria ini tidak berkata apapun. Kecuali mengutuk ucapan sadis Dinda padanya tadi.
“Tunggu saja, kamu harus membayar atas perbuatanmu. Menyentuh tubuhku, dia punya nyali juga rupanya.”
Meminta pertanggungjawaban, mungkin itu yang diharapkan pria pemarah ini.
“Paman Luong!” Pria ini menggerutu mengucapakan nama pelayan tua semalam yang telah melupakan tugasnya. “Ini pasti ulahnya menyuruh seorang wanita dengan sengaja menyentuh tubuhku. Bahkan mengganti pakaianku. Kalian akan mendapatkan balasannya nanti!”
Sungguh pria ini menahan emosi yang menggelora. Hatinya sepagi ini.
Dinda sudah tiba di kantor. Pagi ini dia tidak menghiraukan apa yang telah terjadi semalam. Matanya sembab bahkan sebelum ke kantor, dia hanya mencuci mukanya lalu ditutupi oleh make-up. Dinda selalu menyimpan benda itu dengan rapat di tas kulit cokelatnya.
Beruntung, karena Pak tua semalam memberikannya pinjaman baju yang cocok dipakai kerja dan termasuk dalam seleranya. Jadi pagi ini, terlihat ganti baju kerja.
Ucapan pria angkuh di hotel tadi, membuat Dinda jengkel. Moodnya menjadi buruk. Ingin rasanya dia menendang bokong pria tadi. Pria yang telah berani mengatakannya sebagai wanita penghibur di kelab malam.
Sampai kapanpun Dinda tidak mau lagi bertemu maupun melihat wajah pria itu. Sekalipun melihatnya, Dinda tidak mau lagi. Dan juga memasukan wajah pria mesum itu dalam blacklist.
“Hei Din! selamat pagi!”
Dinda menoleh menatap wajah sahabatnya yang baru tiba dan siap bekerja. Jemari sahabatnya sudah siap mengotak-atik keyboard komputer.
“Pagi!” balas Dinda lesu.
“Oh ya ampun. Mengapa kantung matamu menghitam? Apakah kamu terjaga semalam?” tanya Eva penasaran. Apalagi melihat wajah koleganya itu, agak mengerikan. “Apakah kamu pulang selamat semalam? Apakah tidak terjadi sesuatu padamu, Din?!”
Eva mengernyitkan keningnya dengan kekhawatiran berlebihan.Tangan Eva memegang wajah dan bahu Dinda, demi memastikan sahabatnya itu baik-baik saja.
“Kamu itu terlalu berlebihan. Kamu tahu, aku hari ini mengalami nasib sial!”
Dinda memelas pada tingkah konyol Eva sambil mulutnya menggerogoti pulpen merah di tangannya.
“Sial? Sial seperti apa yang kamu maksud. Ayolah ceritakan padaku. Aku penasaran!”
“Sebenarnya aku ....”
“Hei kalian berdua!” potong Zico Ramadhansyah menegur Dinda dan Eva. Sebelum Dinda melanjutkan ucapannya. “Apakah sepagi ini tim akuntan boleh bergosip. Sementara yang lainnya bekerja!”
Keduanya hanya tebal telinga menghadapi GM mereka yang agak galak ini.
Meminta maaf dan tidak akan mengulangi kejadian ini, sudah berulang kali Meraka lakukan. Dua wanita ini tidak akan menganggapnya serius, karena memang itu kesalahan mereka. Sedangkan karyawan lainnya tertawa bahagia atas teguran Zico pada keduanya.
Dinda dan Eva tak ambil pusing atas cemoohan karyawan lain atas kejadian pagi ini. Keduanya tidak peduli bahkan tidak ingin tahu jika yang lainnya mentertawakan Dinda dan Eva.
“Dinda. Ikut aku ke ruanganku sekarang!” perintah Zico pada dinda.
Dinda bingung ada apa. Tidak seperti biasanya dia disuruh menghadap bosnya.
Dinda mengekori pria jangkung bernama Zico ini. Dan ini pertama kalinya bagi Dinda masuk keruangan GM-nya, setelah setahun bekerja di perusahaan besar ini.
Zico duduk dengan manisnya di kursi yang memiliki roda di kakinya. Dia mulai mengeluarkan beberapa berkas yang tertumpuk di mejanya. Tidak lupa pria ini memasang kacamata transparan. Seakan dirinya mengidap penyakit mata atau minus.
“Oh ya Tuhan! mengapa dia begitu tampan di segala sisi!”
Memuji ciptaan yang sempurna, hanya itu yang bisa Dinda lakukan. Sungguh ia tidak mengira bisa melihat bosnya yang galak itu dari jarak yang amat dekat. Selama bekerja di perusahaan besar ini dia tak pernah menyaksikan wajah general manager-nya secara langsung bahkan bertemu dengannya agak sulit.
Tentu saja wanita yang menjadi pendamping hidupnya pasti beruntung jika bisa menjadi istrinya. Dia amat tampan dan mempesona. Dinda tidak bisa membayangkan bosnya itu bisa memanggilnya masuk ke dalam ruangannya.
Hingga tidak terasa wanita ini terbuai dalam khayalannya. Dia berangan-angan bahwa suatu saat dia bisa menjadi kekasih bosnya itu, seperti di novel romantis kebanyakan yang dia baca.
“Kamu dengarkan aku,” kata Zico memulai bicara. “Presiden direktur hari ini datang mengunjungi perusahaan kecil ini. Dan dia mau mendapatkan surat laporan arus kas masuk dan keluar serta ingin melihat perubahan pajak perusahaan. Aku ingin kamu yang mengantarkan file-file ini kepadanya. Perusahaan kecil ini akan dihancurkan jika aku tidak menyiapkan semuanya sekarang!”
Bicaranya mulai menyerah, namun Dinda yang berdiri disudut mejanya sangat mengerti apa yang di rasakan oleh Tuannya.
“Maaf Pak! jika tidak keberatan, bolehkah saya membantu anda merevisi ulang laporan bulan ini.”
“Sungguh! Apakah kamu mampu?”pria itu dengan mata berkaca-kaca sedikit meragukan kemampuan akuntan Dinda. Tapi tidak menutup kemungkinan, dia butuh bantuan sekarang.
“Tentu saja aku bisa Pak. Laporan keuangan bulan-bulan sebelumnya aku yang mengerjakannya, jadi aku yakin aku bisa melakukannya!”
Wajah sendu bosnya kini berubah menjadi ceria saat ada bantuan menghampiri dirinya.
“Baiklah jika kamu memaksa. Aku serahkan semua laporan keuangan ini padamu. Lalu jika sudah selesai kamu langsung mengantarkannya ke ruangan Presdir. Aku bergantung padamu sekarang!”
Semua file bulanan diberikan pada Dinda. Dinda kemudian berlalu meninggalkan ruangan manajernya dengan setumpuk berkas didekapan dadanya.
Dinda berhenti sejenak di lorong kantor bosnya, setelah itu menyeringai lega. “Syukurlah, kupikir dia akan memberikan gajiku bulan ini dan mendepak diriku yang malang ini keluar dari perusahaan.”
Dinda menuju ke meja kerjanya. Sesegera mungkin dia harus menyelesaikan tugasnya. Bagi Dinda hanya butuh waktu sepuluh menit untuk merevisi ulang semua file-file yang dia diambil dari bosnya tadi.
“Sekarang pukul delapan tiga puluh. Sepuluh menit lagi aku harus menyelesaikannya lalu menyerahkannya pada presdir. Semangat Dinda!”
Dengan gelora luar biasa semangat, Dinda yakin dia bisa melakukan semua ini dalam sekejap.
“Din, hari ini CEO akan datang. Apa kamu tahu, banyak yang mengatakan bahwa dia sangat tampan dan menawan. Aku penasaran pada wajahnya. Ah aku pasti akan jatuh cinta padanya jika saja aku belum diikat oleh Tony!”
Disela-sela kerja, Eva masih saja menyempatkan diri untuk menggosip. Namun Dinda tidak menanggapi gosipan Eva yang terlalu berlebihan. Dia hanya ingin menyelesaikan apa yang telah dia mulai.
“Din, kamu mendengarkan aku tidak?”
“Iya aku mendengar ucapanmu,” balas dinda. “Lalu?”
Eva melihat Dinda yang sedang sibuk bekerja, sekarang mulai paham— jika temannya sedang fokus pada pekerjaannya juga pada layar komputernya.
“Lupakan sajalah. Aku mau ke kamar mandi dulu!” ucap Eva tidak ingin melanjutkan gosipan pagi. Kemudian pergi ke toilet.
“Dia yang memulai dan dia yang mengakhiri. Dasar autis!” celoteh Dinda apatis.
Hingga tidak terasa pekerjaannya usai dan siap untuk diberikan kepada presiden direktur.
••••
Menuju ke ruangan bosnya, Dinda percaya diri akan memberikan berkas laporan keuangan itu. Secara langsung, sekaligus dia ingin melihat CEO muda tampan yang Eva maksud.
Dinda berangan-angan bahwa pria itu setampan idol Korea atau bisa saja setampan Shawn mendes.Hatinya sungguh berdebar tidak sabar melihat seperti apa rupa bosnya itu.
“Untung sebelum ke ruangan CEO, aku sudah menambahkan sedikit sentuhan makeup. Setidaknya ini lebih alami dari wajah polosku tanpa makeup.”
Beruntung ruangan CEO-nya itu tidak ada karyawan yang berlalu lalang. Sehingga Dinda bisa berkaca ria memperbaiki semua tampilannya.
“Gigi putih bersih, rambut sudah oke dan baju ini juga oke. Lain kali aku harus berterima kasih pada pak tua itu!” lanjut Dinda bicara.
Kini Dinda sudah siap memasuki ruangan CEO-nya. Tangannya amat dingin ditambah gugup karena ini kali pertamanya ia memasuki ruangan CEO.
Oke siap. Kali ini dengan keberanian Dinda menarik Grendel pintu yang terbuat dari alumunium dan masuk keruangan CEO. Ruangan besar, bersih dan semua peralatan berkilau tanpa secuil debu pun.
“Oh astaga. Ruangan ini sungguh cantik!”
Langkah kakinya yang berada di depan pintu, terpana sejenak karena menyaksikan ruangan bosnya itu. Lalu melangkah lebih dalam lagi menuju ke meja kerja bosnya. Yang dikatakan bos itu, bersembunyi dibalik kursi kebesarannya. Jadi, Dinda tidak bisa melihat rupanya.
“Maaf Pak! saya Dinda dari bagian manajemen keuangan. Saya ingin menyerahkan laporan keuangan bulan ini Pak!” ucap Dinda pelan sembari menyerahkan berkas berwarna merah pada bos besarnya.
Pria dibalik kursi kerja, tersenyum licik penuh kemenangan. “Kamu tahu apa hukuman yang pantas untuk seorang pekerja yang masuk keruangan bosnya tanpa mengetuk pintu ataupun menyapa?”
Bos? Apakah maksudnya ....
Sontak ucapan itu membuat Dinda kaget. Bagaimana bisa ia melupakan tata kramanya sebagai seorang karyawan.
“Matilah aku. Bagaimana aku bisa melupakan sopan santunku.” Perasaannya kini mulai tak enak hati, dirinya mulai berdebar dan pikirannya kacau entah berantah. Menundukkan kepalanya, Dinda sudah takut saat itu. “Oh tidak. Apakah aku akan berakhir menjadi goodbye employee!”
Tidak ada pilihan lain sekarang bagi Dinda. Kali ini, hanya memohon dan meminta maaf adalah jalan terbaik. Sekarang Dinda dihadapi dengan keadaan rumit. Bos, kata ini seakan sudah menguasai pikiran Dinda yang semula tenang.
“Pak aku mohon maaf atas tindakanku yang tak senonoh masuk ke ruangan Anda. Maafkanlah aku yang telah melupakan tata Kramaku sebagai karyawan. Kumohon anda tidak menganggap ini masalah serius dan lain hari aku akan mengingat batasanku Pak!"
“Oh ya!” balas bos Dinda. pria itu dengan senyum bangga bangkit dari kursi kerjanya, lalu menyandarkan bokongnya di meja. “Semalam kamu menyentuh tubuhku, lalu kabur. Kupikir hukuman apa yang harus aku berikan padamu!”
Dinda hanya sekali dengar bosnya bicara, langsung ingat akan kejadian semalam. Itu cukup membuatnya tertegun sesaat.
“Suara ini, suara pria itu. Kamu pria mesum!!” teriak Dinda bangkit dari bungkuknya.
Namun pria di hadapannya tersenyum bangga dengan melipat kedua tangannya di dada dan duduk diujung meja kerjanya.
Dia adalah Steve Aguirro Wong Chen Xi. pria aneh dengan gaya bicara yang tak biasa. Walau mempesona dalam segala tindakan, sempurna dalam pekerjaan dan menawan tapi dia pria paling gila yang pernah Dinda temui.
Siapa sangka pria sebaya dengan Dinda ini, kini menjadi bos besarnya.
Steve sendiri anak kedua dari dua bersaudara.
Dan pewaris tunggal grup Wong. Ia hanya memiliki seorang kakak perempuan bernama Stevie Zahira wong Chen xi.
Ayahnya berasal dari Tiongkok dan Ibunya berdarah indonesia. Diawal karirnya ia telah banyak membantu usaha orang tuanya.
Mengunjungi negara-negara seluruh dunia dalam perjalanan bisnisnya saat dia berusia delapan belas tahun tepat dirinya menempuh pendidikan di Frankfurt.
Hingga dirinya yang menawan seakan-akan bisa menarik semua wanita di seluruh dunia hanya dengan aura mempesonanya. Namun ia adalah pria yang terkenal tidak peduli pada lingkungan sekitar bahkan tidak pernah menampakkan senyumnya dihadapan orang lain.
Masih di atas kasurnya, Steve merasa kepalanya mau pecah. Akibat mabuk semalam, menyebabkannya seperti orang bodoh sekarang.
Dirinya masih menyimpan dendam pada Dinda karena telah mengganti pakaian dan menyentuh tubuhnya tanpa seizinnya.
“Sialan! Dasar wanita penghibur kurang ajar!”
Tangannya ia kepal dengan keras seakan ingin memukul wajah wanita itu, jika saja dia tidak diserang rasa sakit di kepalanya. Terdengar suara pintu kamar yang dia tumpangi terbuka, diikuti pria tua yang masuk membawa troli makanan. Pria itu sedikit melempar senyuman penuh sandiwara pada Tuannya dibalik tebalnya kumis.
“Selamat pagi Tuan muda!” sapa paman Luong pada Steve. “Aku membawa sarapan Anda pagi ini. Dan aku juga telah menyiapkan pakaian kerja Anda!”
"Letakan saja di sana!” balas Steve singkat.
Bau alkohol masih menyengat meskipun Steve sudah mengganti pakaian. Paman Luong merasakan aroma tidak sedap itu.
“Baiklah. Kalau begitu aku pergi dulu Tuan. Aku akan membereskan pakaian Tuan muda yang kotor ini.”
Paman Luong yang telah menyelesaikan semua tugas dan siap kembali ke rumah utama. Hotel Milenium ini adalah rumah lain bagi Steve.
Pria itu jarang ada di rumah akhir-akhir ini. Ditambah tak ada satu pun anggota keluarga bersama dirinya di Jakarta. Kecuali Paman Lu yang setia bekerja berpuluh-puluh tahun di keluarga Wong. Dia selalu ada untuk melayani Steve. Jauh-jauh datang dari Tiongkok, hanya karena kesetiaannya.
“Paman Lu, tunggu dulu. Aku ingin bertanya padamu tentang kejadian semalam!”
Menghentikan langkah pria tua itu, dengan serta merta Paman Lu membalikan badannya—sebagai refleks dari panggilan Steve.
“Ia tuan Anda ingin bertanya prihal apa?” tanya Paman Lu. “Apakah sangat penting?”
“Anda jangan pura-pura polos Paman Lu. Bukankah Anda yang membiarkan si wanita jelek itu menggantikan pakaianku semalam. Mengapa Anda membiarkan hal itu. Cepat jelaskan apa maksudnya dari semua itu?”
“Ehm, itu ya!” jawab Paman Lu. “Aku pikir jika wanita yang menyentuh Anda, mungkin Anda tak akan marah sebesar ini. Jadi, jika wanita itu membantu menggantikan pakaian Tuan muda bisa saja Tuan tidak keberatan. Maafkan aku atas kelancanganku membiarkan wanita asing menyentuh anda Tuan muda. Karena aku pikir dia adalah teman yang datang bersama Anda!”
Mendengar ucapan jujur Paman Lu membuat Steve menggigit keras giginya hingga berbunyi.
“Paman Lu!” teriak Steve marah besar sambil sorot matanya yang tajam menatap wajah tua penuh dendam.
Namun bagi Paman Lu, kemarahan Steve adalah hal biasa. Sudah menjadi bagian dari pekerjaannya dalam menghadapi pria angkuh dan arogan. Mungkin bekerja di bawah perintah Steve membuat sebagian orang tidak akan betah. Tapi tidak dengan Paman Lu. Dia yang masih saja setia berada di lingkungan keluarga Wong.
“Ada lagi yang bisa saya bantu Tuan? Apakah Anda butuh sesuatu?” tanya pria tua ini, mengalihkan pembicaraan Tuannya yang sedang marah.
“Ah, aku tak butuh apapun. Kecuali wanita semalam!”
“Maksud Anda, wanita itu?” respon Paman Lu. “Apakah anda akan mengucapkan terima kasih pada Nona muda itu?”
“Kau selalu saja berpikir bahwa aku akan melakukannya. Aku tidak akan melakukan apapun yang kau inginkan. Yang aku mau hanya wanita semalam. Aku ingin membuat perhitungan padanya.”
“Oh, apakah Tuan muda menginginkan ini?”
Karena tadi tidak sengaja menemukan gantungan id card perusahaan milik Dinda, dengan sengaja Paman Lu memberikan benda itu pada Steve.
Gantungan id card itu adalah identitas dirinya sebagai tanda—bahwa dia adalah pegawai di perusahaan keuangan. Dengan senyum bangga Steve menginginkan id card itu.
“Kenapa harus menolak?” pikir Steve.
Steve menerima id card Dinda. Dan memang mereka berjodoh. Sudah takdirnya, Steve membalas dendam semalam. Gadis itu ternyata bekerja di anak perusahaan keluarganya.
“Kalau begitu, saya permisi dulu Tuan. Dan pakaian kerja Anda sudah aku letakan di atas meja!”
Steve tidak menggubris ucapan pelayan Lu. Dia hanya fokus pada kartu identitas di tangannya sembari menatap id card itu penuh gairah. Wajah sendunya kini berangsur berubah menjadi senyum licik ala aktor antagonis.
“Kamu lihat saja, masih beranikah kamu menyombongkan dirimu padaku, Dinda!”
Berkata penuh kemenangan, inilah yang Steve harapkan. Menuju ke kamar mandi untuk membersihkan sisa-sisa bau alkohol di badannya, pikiran Steve hanya satu. Yakni Dinda. Nama cantik yang tertera di id card.
Tidak peduli apa pun, dia ingin segera bertemu dengan wanita jelek dihadapannya tadi pagi. Bagaimana pun juga.
••••
Di jalan, Steve mengendarai mobilnya. Menyetel musik, sepertinya hari pria itu sedang dalam suasana damai. Mengambil handphone-nya, Steve menghubungi Zico—manajer umum perusahaannya. Pria ini memulainya. Memulai sebuah perintah kejam untuk Manajer umumnya.
“Aku akan mengunjungi perusahaan pagi ini. Tolong kamu siapkan data-data keuangan bulan lalu. Semua kas keluar masuk harus ada di mejaku nanti. Dan satu lagi, aku ingin karyawan bernama Dinda yang mengantarkan berkas-berkas itu. Kerjakan sekarang dan aku tidak butuh saran maupun jawabanmu!”
Steve langsung mematikan ponselnya secara sepihak tanpa mendengarkan terlebih dahulu jawaban yang akan dilontarkan oleh Zico.
Dengan semangat yang luar biasa, pria ini mengemudi mobilnya dengan kecepatan utuh. Dia ingin cepat tiba di kantornya dan tak sabaran ingin melihat wajah gadis jelek itu. Untuk kesekian kalinya ia terus tertawa kecil penuh kelicikan.
“Aku ingin tahu, apakah dia masih bisa bersikap seperti itu padaku!”
Kini pedal gas mobilnya dia injak sepenuh hati, memacu kecepatan mobil bagai kecepatan kuda. Hingga mobil itu tiba di kantor kecil yang ia anggap akan bobrok.
••••
Di dalam ruangan bosnya, Dinda merasa bersalah atas ucapannya yang menyebut Steve sebagai pria mesum. Bosnya yang berdiri disudut meja, memberikan senyuman miring pada dinda.
“Kamu telah berani menyebutku sebagai pria mesum. Bahkan sebelumnya kamu telah menyentuh tubuhku yang mempesona ini tanpa izin dariku. Kukira kamu akan lari dari tanggung jawab. Ternyata kamu bekerja di perusahaan kecil ini. Jadi menurutmu apakah aku akan memaafkan kesalahan kecil ini?”
Wajah Steve mendekat ke wajah sendu Dinda. Pikirnya tubuh wanita itu amat harum, dan dia amat menyukai gaya wanita ini dalam memilih parfum. Ditambah dia juga agak cantik dengan balutan baju kerja yang kasual meskipun sederhana.
“Pak, aku benar-benar meminta maaf atas kejadian pagi ini. Dan juga atas ucapanku yang sembarangan mengatakan anda dengan ucapan tidak pantas. Jika anda ingin menghukumku, maka aku bersedia menanggung konsekuensinya Pak.”
Mungkin mengalah adalah jalan akhir. Paling tidak ini adalah cara yang ampuh untuk melelehkan hati pria sombong itu.
“Oho ..., menanggung konsekuensinya. Kedengarannya menarik!” jawab Steve responsif penuh gelora. “Bagaimana jika aku memotong gajimu selama sepuluh bulan untuk mengganti kerugian yang aku alami akibat perbuatanmu. Setidaknya itu cukup untuk menyicil kerugian semalam.”
“Sepuluh bulan tidak di gaji hanya untuk membayar sebuah kerugian. Memangnya kesalahan apa yang telah aku lakukan sehingga harus mencicil dengan uang sebanyak itu?”
Bolehkah Dinda terkekeh sekarang?
Kenapa dia harus mengganti rugi, atas apa yang tidak dia lakukan. Bagi Dinda, dia merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Tetapi kenapa, justru dia yang harus bertanggungjawab. Bukankah ini ironi yang lucu?
“Mudah saja,” jelas Steve. “Pertama kamu membuatku mabuk. Kedua kamu menyentuh dan menggantikan pakaianku tanpa seizinku. Ketiga pagi ini kamu telah mengacau dengan menyebut diriku sebagai pria mesum. Apakah itu belum cukup membuat kamu sadar atas kesalahan ini!”
“Tapi pak, apakah semua itu aku yang harus menanggung. Lagi pula Anda mabuk, bukan ulahku. Tetapi aku yang membantu Anda. Aku yang membawa Anda ke hotel.
Apakah tidak ada ucapan terima kasih atas pertolongan yang aku berikan?”
Jika bosnya bisa menuntut, kenapa Dinda tidak bisa. Inilah realitanya.
“Kamu pikir aku akan percaya saja pada ucapanmu? Lagi pula jika kamu tidak ingin bertanggung jawab baiklah. Aku tidak akan memaksa. Tapi maafkan aku, perusahaan yang nyaris aku robohkan ini, sepertinya tidak membutuhkan akuntan sepertimu lagi. Dalam arti lain mungkin kamu bisa mengambil gaji terakhirmu di bagian administrasi.”
Apakah ini sebuah ancaman? Kekanakan sekali dia. Hanya karena masalah sepele, dia harus memecat Dinda. Karena dia berkuasa saja, itulah yang membuatnya bisa melakukan sepenuh hatinya.
Pernyataan Steve membuat Dinda terkejut bukan kepalang. Bagaimana bisa kejadian semalam harus sepanjang ini endingnya. Tanggung jawab yang akan Dinda lakukan, sangatlah besar. Sedangkan dirinya tidak melakukan apapun terhadap pria itu. Dinda beranggapan bahwa pria itu sedang mempermainkannya.
Tidak ada pilihan kedua dalam hal ini. Pria itu jelas-jelas sudah menekan Dinda. Jawaban Dinda, yang pastinya akan sesuai keinginan pria sakit jiwa ini.
“Baiklah Pak, aku akan bertanggung jawab atas apa yang telah aku lakukan. Tapi, bisakah Anda tidak memecatku. Aku sangat membutuhkan pekerjaan ini Pak. Aku akan membayar semua kerugian Anda dari gaji bulananku.”
Dengan perkataan serius, Dinda memohon. Wajah memelas iba penuh harapan. Apalagi yang diharapkan oleh si orang gila satu ini.
Steve tersenyum miring. “Bahkan uangku sangat banyak. Gajimu tak akan mampu melunasi semua kerugian yang aku alami. Dan untuk sepuluh bulan kedepan, apakah kamu sanggup hidup tanpa uang? Coba kamu pikir ulang. Kecuali kamu melayaniku?!”
Pria itu dengan tipu dayanya mencoba menggoda gadis yang sedang kebingungan itu. Tapi bodohnya Dinda, dia justru menyetujui apapun yang dikatakan si pemaksa ini.
“Baiklah. Aku akan menerima permintaan Anda Pak,” balasnya menantang. “Aku akan melayani kemauan Anda. Apa yang harus aku lakukan untuk Anda!”
Sekali lagi wajah sombong itu tersenyum kecut dan merasa sedikit geli atas kesanggupan Dinda. Pikirnya dia adalah wanita pertama yang berani menentang seorang Steve. Apapun itu dia menyukai tindakan tegas wanita itu.
“Hal itu sangat mudah. Aku hanya butuh pembantu khusus yang akan memasak di rumahku. Dan mungkin aku rasa, kamu tak akan sanggup pada tugas itu, karena aku adalah tipe pria yang sedikit cerewet pada masakan yang kurasa tidak enak!”
Jauh dari dalam lubuk hati Dinda, dia sangat marah, emosional, dan ingin mencabik-cabik tubuh pria sombong itu. Namun Dinda masih berpikiran jernih untuk mengumpat pria itu. Akibat ucapan Steve, Dinda tanpa sadar termakan emosi sehingga ia mengikuti kemauan bos sombongnya.
“Baiklah Pak jika itu kemauan Anda, aku akan menerima permintaan itu dengan senang hati.”
Sungguh, saat ini Dinda tidak ingin lagi bertemu pria bernama Steve. Dalam hidupnya, Steve sudah di blacklist, meskipun ia sangat tampan.
Baginya dari awal bertemu pria itu sudah sangat menjengkelkan, apalagi jika terus-menerus ada di dekatnya. Sungguh Dinda akan merasa muak pada perilaku pria itu.
“Bagus jika kamu setuju. Kupikir gadis jelek sepertimu tidak akan mau menerima penawaran ini. Dan kamu harus menandatangani kontrak ini!”
Steve memberikan sebuah berkas pada Dinda. Di dalamnya ada perjanjian tertulis, yang langsung diucapkan oleh Steve.
“Pertama kamu akan mengakui bahwa kamu yang telah membuatku mabuk. Kedua kontrak ini berlaku hingga empat tahun mendatang sehingga kamu akan selalu melayaniku untuk waktu itu. Dan terakhir, tidak mengucapkan ucapan kasar kepada bosmu. Kamu pastinya paham bukan isi surat itu.”
Isi surat kontrak sudah ada dalam ketikan di dalamnya. Tapi kenapa, dia masih saja menjelaskan isinya, seakan Dinda adalah karyawan yang buta huruf.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!