"Aku tidak tahu apotek mana yang menyediakan obat patah hati. Tapi satu yang ku tahu. Apotek tempat obat yang kau cari itu ada di masjid." ujar Toto.
Yoga bergeming, bibirnya terkatup rapat hingga tak satu kata meluncur. Pandangannya kian tajam pada matahari yang tersisa setengahnya saja, hingga semburat kemerahan begitu indah mencipta gradasi emas menakjubkan pada awan. Hari pun mulai redup, tak sepanas sebelumnya. Tetapi, hati Yoga masih panas. Malam yang sebentar lagi datang mungkin tak akan sanggup mendinginkannya.
"Yog, kilas balik. Kamu tahu sendiri, dulu aku sesakit apa saat dikecewakan Hanum. Lebih sakit darimu, Yog. Ketika sebulan aku mau tunangan dengannya, ku dengar si Hanum sudah dihamili orang lain. Nyaris gila aku waktu itu! Sedangkan kamu... Kamu itu belum jelas patah hatinya. Belum jelas, apakah Dina akan meninggalkanmu ataukah tidak. Lalu, kenapa kamu jadi down banget? Kalah sebelum bertanding kamu, Yog!" tegas Toto.
"Sakit hati itu sama saja, To. Sama perihnya, sama nggak enaknya." sahut Yoga.
"Tidak. Menurutku, sakitmu belum beralasan. Kamu terlalu mrncintai Dina. Dengar, sobat. Janganlah kau membenci sesuatu dengan kebencian yang teramat besar, karena suatu saat kau mungkin akan mencintainya. Jangan pula kau mencintai sesuatu dengan sangat mendalam, karena satu waktu nanti mungkin kau akan membencinya. Kamu termasuk yang kedua. Yog, tahukah kamu benci itu apa? Setitik api neraka dalam hati yang bisa membesar atau mengecil, tergantung pribadi orang yang bersangkutan.." nasihat Toto, serius dan panjang lebar.
Yoga menoleh dan menatap Toto. " Tumben, kamu mendadak bijak?" tanyanya.
"Aku serius, Yog." balasnya.
Yoga tertawa pelan. "Nasihatmu sangat berarti. Tapi, kalau hati sedang kacau. Aku belum bisa mencernanya." ujarnya.
"Hanya orang kurang beriman yang mengatakan demikian. Justru sebaliknya, jika hati sedang kacau, ia pasti butuh pencerahan." tegas Toto.
Sekali, Yoga menggaruk kepala. Tanpa bicara, ia berdiri dan melangkah menuju motornya di bawah pohon rambutan.
"Hei, hei! Mau kemana kamu?" Toto cepat mengikuti langkah Yoga.
"Aku mau pulang. Mau merenungi ucapanmu itu." jawabnya.
Toto tercenung sebentar, namun krmudian tersenyum. "Seharusnya memang itulah yang kamu lakukan sejak kemarin, Sobat!" seru Toto seraya naik motor menyusul Yoga, meninggalkan area Bukit.
Pukul sepuluh di malam itu, Yoga keluar kamar. Rupanya, ia hendak pergi. Di ruang tamu, ditatapnya sekilas sang ayah yang terlelap dengan mulut berbau alkohol. Rumah masih saja dicekam sepi, seakan tak ada kehidupan yang menggeliat. Sungguh suasana yang tidak mengherankan. Maklum, ibunya memang belum pulang.
"Mau kemana, Yog?" tegur Bowo tiba-tiba, dengan suara berat.
Yoga menoleh agak malas. "Aku tidak betah lagi di rumah. Sepi, kayak kuburan." ujarnya.
"Memang, kau mau kemana, hah?" sekali lagi sang ayah bertanya, lantas duduk. Sesekali, lelaki pengangguran itu bersendawa. Aroma menyengat alkohol menyebar seketika, benar-benar mengaduk-aduk isi perut.
"Entahlah. Selama kalian belum bisa akur, aku akan terus keluyuran." tegasnya.
Bowo tertawa berat. "Bukannya dari dulu kamu paling doyan keluyuran, hah?" ujarnya.
"Ya. Tapi, tidak seperti ayah dan ibu." balasnya.
"Salah. Ayah diam-diam suka cari kerjaan juga. Tapi, gara-gara ijazah sarjana ayah hilang, ayah kesulitan cari kerja." jelas ayahnya.
Yoga tersenyum kecut, sebab ia tahu pasti bahwa ayahnya membual.
Bowo tertawa geli. "Ayah tahu kenapa kamu jadi galak begitu. Karena si Dina minggat, kan? Perempuan itu banyak, Yog. Yang lebih cantik daripada Dina dan yang suka sama kamu itu banyak. Kamu punya tampang keren seperti ayah. Pasti kamu mudah dapatkan perempuan secantik apapun. Buktinya, ibumu dulu tergila-gila sama ayah." tukasnya.
"Tapi, sekarang bukan dulu lagi, yah. Kalau ibu tergila-gila sama ayah, mana mungkin tiap pagi nyap-nyap?" sahut Yoga seakan tak percaya lagi kepada ayahnya.
Bukannya marah, Bowo malah tertawa. "Aku senang bicara denganmu, Yog. Kamu seperti ayah waktu masih muda. Cerdas dan sangat kritis. Tapi, ada satu kelemabanmu yang tidak ayah miliki. Gara-gara cinta, kamu jadi sentimen sama semua orang. Termasuk sama orangtuamu sendiri. Sudahlah, lupakan Dina. Ayah kasih tahu satu hal. Tadi, sebelum ayah pulang dari warung si Mahdi, ayah lihat Dina sama laki-laki bermobil mewah. Sumpah!" seru ayahnya.
Yoga melirik cepat. "Dimana?" tanyanya.
"Di belokan sepi belakang area motor cross. Dekat poskamling. Kalau kamu beruntung, mungkin dia masih ada..." kata Bowo, antara sadar dan tidak sadar, lalu tertawa keras.
"Dina sedang di Jakarta." sahut Yoga.
"Papi tahu itu. Tapi, cobalah kamu tengok dulu ke sana. Siapa tahu masih ada." ucap ayahnya.
Yoga menggaruk sekali kepalanya, lantas bergegas keluar rumah. Sebentar kemudian, suara motor sport-nya terdengar membahana. Yang membuat Bowo berteriak protes.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Nailil Ilma
hai kak semangat up
Salam dari Cinta Anak Pesantren
2021-05-11
0
Sis Fauzi
mantap 👍 semangat up Thor ❤️
2021-04-07
0
Hamidah Skp
mampir
2021-04-06
0