Dina tertunduk, mulai terisak.
"Kok malah nangis?" tanya Yoga.
"Tadinya, aku berharap kamu akan senang. Tapi ternyata malah sebaliknya. Kamu nggak pernah sayang sama aku. Aku bisa menerimanya. Aku juga sadar, banyak perempuan cantik disekitarmu. Mungkin dengan kepergianku ke Jakarta, kamu akan tenang dengan semua perempuan yang tergila-gila padamu itu.." ujar Dina, lirih.
"Kok jadi bawa-bawa perempuan lain? Apa hubungannya?" tanya Yoga heran.
"Sudahlah. Kamu jaga diri baik-baik. Aku akan selalu rindu padamu.." ujar Dina berlalu pergi dengan tangis tertahan.
Yoga terdiam. Sepeninggal Dina, miniatur motor tak berdosa yang digenggamnya dilemparkan ke dinding hingga pecah berantakan.
"Astaga!" serunya.
Yoga cepat memungut benda itu dan memeriksa kerusakannya. Namun, begitu teringat Dina. Ia kembali diam seribu bahasa. Gadis tercinta yang Yoga ikat dengan kata cinta dua tahun silam itu telah meruntuhkan harapannya. Cerita cintanya berbalik sudah, menyurut pada kepiluan.
Ia senang jika Dina bekerja di kantor atau apalah. Tetapi, kalau untuk tampil memamerkan aurat, ia sungguh tidak suka. Yoga tidak melanjutkan pekerjaannya. Semangatnya mendadak hilang. Ia keluar dari bengkel seninya, masuk ke kamarnya, lalu mengunci dirinya.
***
Sudah dua minggu Dina di Jakarta. Selama berjauhan dengan kekasihnya itu, Yoga lebih sering menyendiri. Temannya sekarang hanyalah laptop kesayangannya. Ya, ia kini lebih suka menyibukkan diri dengan artikel-artikel lepasnya untuk menambah uang harian yang mulai menipis.
Ia pun mulai jarang berada di bengkel seninya. Aktivitas di luar rupanya jauh lebih menarik hatinya, sekedar untuk melarikan diri dari penatnya kesepian. Masjid Agung Alun-alun adalah tempat yang diharapkannya dapat mengobati kepenatannya.
Yoga seakan tidak peduli lagi keadaan rumah yang tak pernab sunyi dari ricuh. Ia bahkan tak mau tahu lagi sudah separah apa orangtuanya bertengkar terus. Setahunya, ayahnya mulai jarang pulang. Setial kali pulang, Bowo selalu dalam keadaan mabuk. Sedangkan ibunya, setiap malam selalu diantarkan lelaki bermobil mewah.
Yoga benar-benar galau, yang berkelebatan di dalam benaknya hanya Dina seorang. Segala kekhawatiran dan kecemburuan mendadak menyiksa batinnya lebih parah. Kerap ia menghubungi Dina via handphone, namun sang kekasih tercinta menjawabnya hanya sesekali. Kesannya, Dina tidak mau diganggu. Katanya, sedang sibuk persiapan psikotes dan tes kepribadian.
Sekarang, Yoga seperti benar-benar kehilangan belahan jiwanya. Sebelah sayapnya mungkin basah oleh air mata batin yang tak mau dikeluarkannya, hingga ia tidak bisa terbang lagi pada gadis yang lain. Ia seperti terperangkap dalam satu drama yang tak berujung, namun beralur membingungkan.
Satu sahabat dekat Yoga terkadang selalu menggodanya. Menyebut dirinya tidak waras.
"Aku masih sadar dan bisa berhitung dengan baik. Dengarkan To! Satu, dua, tiga, empat..." Yoga berhitung sampai dua puluh.
Tito sang sahabat, menanggapi tingkah Yoga dengan geleng-geleng kepala.
"Ya, ya. Aku percaya kalau kamu masih sadar. Tapi, apa yang kamu lakukan sekarang seperti orang kurang waras. Suka melongo sendiri. Mainkan fong logikamu! Dina pergi bukan untuk nikah dengan laki-laki lain. Tapi, untuk mengejar impiannya. Jadi, seharusnya kamu berbangga hati dan mendoakan keberhasilannya. Kamu juga nanti ikut senang, Yog. Jangan kaya anak kecil seperti ini. Orang melihatnya bukan kasihan, tapi sebal tahu!" tegas Tito.
"Jadi, kamu sebal sama aku To? Oke, nggak masalah.." balas Yoga.
Yoga dan Tito saling terdiam.
Dengan unjuk wajah serius, Yoga kembali bicara. "To, apa harus kususul Dina ke Jakarta?" ujarnya.
"Untuk apa? sahut Tito.
"Untuk apa? Ya, untuk mendampinginya." tegas Yoga.
Tito geleng-geleng kepala. "Satu hal itu di luar jangkauanku. Terserah apa kata hatimu. Tapi, pikirkan lagi baik-baik. Mau makan apa kamu disana?" cerobos Tito sembari memainkan sebuah miniatur mobil kuno.
Yoga terdiam. Benar kata sahabatnya itu. Dari berbagai media, ia tahi Jakarta itu seperti apa. Siang terasa begitu panas, sedangkan malam jauh lebih "panas" lagi. Napas-napas setan seakan menyelimuti atmosfer metropolitan itu. Kuatkah iman dalam sekeping hati Yoga?
Matahari yang hampir hilang di titik peraduan dipandangi Yoga hingga bulatnya terlihat jelas. Senja di awal musim benar-benar indah. Namun, kisah cintanya tak seindah sang senja. Desau anhin Bukit membelai rambut gondrongnya. Di sebelah barat dekat lembah, terlihat sepasang kekasih tengah berbincang di atas motor. Hati Yoga teriris seketika.
"To, kamu mau carikan aku obat di apotek?" tanya Yoga.
"Obat apa? Sakit jiwamu itu?" sahut Tito.
"Obat patah hati.." ujar Yoga.
Tito menyeringai lucu. Tanpa sadar, ia menggaruk kepalanya. Mengikuti satu kebiasaan yang sulit terlepas dari sosok Yoga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Sis Fauzi
nice 👍next episode
2021-04-07
0
Hamidah Skp
mantap
2021-04-06
0
Berdo'a saja
😄😄😄😄😄
2021-03-02
2