Yoga mendengus keras. Dengan kasar, ia membanting pintu, lalu menyusul keluar. Ketika Bowo hendak menampar kembali Daryani, Yoga cepat mencekal pergelangan tangan sang ayah kuat-kuat.
"Mau bunuh ibu? Bunuh aku juga, yah!" ucap Yoga dingin, namun dengan sorot mata yang tajam menyala.
Bowo terkejut. Baru kali ini, ia melihat wajah anaknya demikian menyeramkan.
"Minggir kau, Yoga! Pelacur itu tidak pantas hidup bersama kita! Minggir!" sentak Bowo dengan mata berapi-api.
"Aku tidak akan minggir sebelum ayah berhenti menyiksa ibu! Dia ibuku, yang melahirkan dan membesarkanku sampai aku seperti ini!" tegas Yoga.
"Tapi, memberi makan kamu dengan uang haram hasil menjual tubuhnya!" tukas Bowo, setengah menyentak.
"Oh, ya? Apa ayah tidak sadar, orang-orang di sekitar ayah juga najis? Sama-sama haram, yah!" balas Yoga.
"Yoga!" bentak Bowo dengan suara bergetar menahan amarah.
"Kalau ayah tidak melihatnya sendiri, jangan bilang begitu. Fitnah!" sahutnya lagi.
"Aku lihat dia dicium laki-laki itu di depan rumah kita. Tentu kau lihat juga, kan?!" seru ayahnya.
"Terserah apa kata ayah. Tapi, kalau ayah menyiksa ibu lagi, terpaksa aku membelanya dengan nyawaku!" sahut Yoga, tak kalah sengit.
"Yoga.., ibu salah. Biar ibu pergi saja. Benar kata ayahmu, ibu memang pelacur. Pelacur!" rintih Daryani di tengah tangisnya.
Yoga mendelik tidak percaya. "Sebelum aku melihat dengan mata kepala sendiri, aku tidak percaya bu." ucapnya.
Bowo menghembuskan napasnya keras, lantas menyentakkan tangannya dari cekalan Yoga. Dengan geram, Bowo kembali masuk ke dalam rumah. Sekejap kemudian, ia keluar lagi dengan menenteng jaket kulitnya.
"Kuharap, kamu tidak menyesal setelah tahu pekerjaan ibumu, selain di arena biliar itu.." tukas Bowo. Sebentar ia melirik istrinya, lalu bergegas pergi dengan langkah lebar-lebar.
Yoga menggeram marah. Darahnya seakan hendak muncrat dari ubun-ubun. Kalau saja tidak mendengar isak pilu ibunya, tentu Bowo akan dikejarnya.
"Bu.., sudah. Kita masuk. Biar ku obati luka-luka ibu..." bujuk Yoga kepada sang ibunda seraya membimbingnya masuk.
"Kamu percaya apa yang dikatakan ayahmu itu?" tanya Daryani ketika Yoga sedang menyeka darah di keningnya.
Yoga berusaha membuatnya tersenyum dengan satu gelengan kepala. "Setelah kejadian ini, aku harap ibu berhenti bekerja. Aku percaya, ibu bekerja dengan baik. Tapi, demi menjaga keharmonisan keluarga, aku mohon itu, bu. Bisa kan?" ujarnya memohon.
"Kalau ibu tidak bekerja di tempat itu, ibu harus kerja apa?" tanya Daryani.
"Apalah. Yang penting, tidak malam hari." jawab Yoga.
"Ibu tidak bisa. Kita mau makan apa, nanti?" jelasnya.
"Rezeki itu dari Tuhan, bu.." tukas Yoga.
"Ibu tahu. Tapi, tidak mungkin kan Tuhan tiba-tiba menurunkan rezeki ke rumah kita?" serunya lagi.
"Memang. Tapi, kalau kita mau berusaha. Tuhan akan kasih jalan.." jelas Yoga.
Dalam sembabnya, Daryani tersenyum. "Kamu sudah lebih dewasa sekarang. Ibu bangga punya anak seperti kamu. Tapi, ibu harap kamu paham. Itulah satu-satunya pekerjaan yang ibu sukai." tukasnya.
"Tapi... sayang, belum tentu orang lain juga menyukainya, bu.." balas Yoga.
"Termasuk kamu?" tanya Daryani. Kali ini ada raut kekhawatiran di wajah perempuan cantik itu. Khawatir bahwa anak semata wayangnya itu akan marah dan membencinya.
Mata Yoga menatap jauh ke dalam relung mata ibunya. "Ya, bu.." jawabnya.
"Sangat disayangkan. Padahal, tidak semua perempuan yang bekerja di tempat biliar itu jelek." tukas Daryani.
"Aku tahu, bu. Hanya menjaga persepsi orang lain saja." ujar Yoga.
Daryani tersenyum tipis. "Oh, iya, bagaimana kabar Dina di Jakarta? Menang?" tanya ibunya yang cerdik sekali mengalihkan pembicaraan.
Tak tercegah, awan muram membalut wajah letih Yoga.
"Yoga, kok diam?" tanya ibunya lagi.
Yoga menatap sejenak wajah cantik ibunya yang memar-memar, lalu menggelengkan kepala. " Dina sudah punya pacar lagi, bu.." lirihnya, tak berminat membahas masalah itu.
"Oh, ya? Kenapa bisa?" ujar Daryani, tak dapat menutupi kekagetannya. Sepintas, ia menangkap aura kesedihan di paras anaknya.
Yoga mendesah panjang. "Namanya juga manusia, bu. Yang sudah nikah saja bisa cerai, apalagi yang baru pacaran. Udah, sekarang ibu istirahat. Tolong pikirkan permohonanku tadi, bu.." tukasnya.
Yoga merapikan perban dan obat, lalu menyimpannya kembali di kotak obat. Tanpa mempedulokan apa pun lagi, ia lantas masuk ke kamar. Mengunci diri, menangisi semuanya.
***
Pagi, pukul delapan. Yoga sudah menyambangi rumah Dina. Wajahnya tampak segar. Sayang, ada rona kemarahan dalam bening mata indahnya. Dan Yoga tak bisa menyembunyikannya. Sudah tiga kali ia mengucap salam. Namun, belun juga ada yang membukakan pintu. Pada ketukan keempat, barulah Bi Ijah, pembantu rumah Dina, membukakan pintu.
"Tumben sepi. Pada kemana, Bi?" Yoga bertanya setelah dipersilahkan masuk.
"Ibu sama Bapak sedang ke Purwakarta. Tadi subuh berangkatnya. Kalau neng Dina, ada di kamarnya.." jawab Bi Ijah.
Yoga tersenyum kecut. Tanpa disuruh, ia nekat menaiki anak tangga, menghampiri kamar Dina. Baru saja hendak mengetuk pintu kamar Dina, telinganya mendengar suara Dina sedang berbicara via handphone. Sangat mesra. Terpaksa Yoga menahan niatnya, lalu mencuri dengar apa yang dibicarakan sang kekasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Hamidah Skp
next
2021-04-06
0
Berdo'a saja
ternyata tidak setia
2021-03-02
2
ANAA K
lanjut thorr
2021-02-26
2