Lama, Yoga memperhatikan wajah cantik yang tengah menangis itu. Tak tercegah, segumpal keharuan menyerbu hati pemuda tampan itu, hingga membuat matanya berkaca-kaca.
"Aku sayang kamu lebih dari segalanya, Din. Di saat aku kehilangan kasih sayang orangtuaku, kamu hadir di hadapanku. Membawa sayang yang kubutuhkan. Tapi, ketika aku mulai terlena dalam belaianmu, kamu banting aku hingga sakitnya membuatku nyaris gila. Kumohon, Din, jangan datang lagi kepadaku. Pergilah. Cari laki-laki lain yang bisa membuatmu damai. Mungkin, aku kurang dalam mencintaimu. Lagi pula, kita memang tidak sepadan. Hanya ada dalam dongeng, bila si kaya dan si miskin bisa hidup bahagia bersama..." jelas Yoga.
Dengan halus, Yoga melepaskan cekalan tangan Dina. Lantas cepat berlari masuk ke rumah. Dina pun lemas dengan air mata yang menjadi-jadi. Berkali-kali, ia memanggil Yoga. Namun, yang dipanggil tak kunjung datang.
***
Sejak malam itu, Yoga tidak pernah bertemu Dina lagi. Menurut kabar, sejak seminggu lalu Dina tinggal bersama neneknya di Jogja. Tentu saja ada rasa kehilangan yang muncul seiring dengan kerinduan Yoga yang menggumpal.
Untuk kesekian kalinya, Yoga tercenung sendiri. Sejak berpisah dengan Dina, tidak banyak miniatur yang dibuatnya. Hanya satu dan hasilnya pun buruk. Bahkan, Tito menertawakan ketika beberapa hari silam singgah ke bengkel seni Yoga.
Galau. Yoga sungguh galau karena masalah Dina. Sementara itu, hampir tiga minggu ayahnya tidak pulang. Seingatnya, baru kali ini Bowo menghilang begitu lama. Ironisnya, sang ibu seakan keenakan, justru selalu pulang lebih larut daripada biasanya. Lelaki hang mengantarnya pun berganti-ganti. Namun, yang sering terlihat adalah pria bule itu.
Ada hubungan apa di antara mereka sebenarnya? Akankah keluarganya hancur karena masalah itu? Apa sebenarnya pekerjaan ibunya? Beberapa kali Yoga pernah main ke tempat kerja Daryani. Memang, wanita cantik itu menjadi bartender di sebuah arena biliar. Namun, adakah pekerjaan tambahan selain itu?
Kini usia ibunya sudah lebih dari empat puluh tahun, Daryani masih tampak cantik dengan postur tubuhnya yang tinggi, menarik, dan cukup energik. Dulu semasa kuliah, teman-teman Yoga sering main ke rumah hanya untuk menikmati kecantikan ibunya.
Tak heran kalau sosok Daryani terkenal dan menjadi pemandangan indah bagi setiap mata yang memandang. Sayang, pekerjaannya melekatkan satu persepsi yang tidak baik. Terlebih, rumahnya terletak di satu pemukiman pinggiran kota dengan komunitas yang tak sedikit masih berpikiran positif.
Tetapi, Yoga tak pernah mempedulikannya. Selama ibunya bekerja dengan baik dan tidak macam-macam, ia siap membelanya jika ada yang menggugat. Namun, sekarang? Setiap kali Yoga melewati jalanan kampung, telinganya panas seketika. Tetangga, terutama ibu-ibu, seakan membicarakannya. Ia jadi malu. Bagaimanapun, pemuda itu dikenal sebagai orang terpelajar bergelar sarjana.
Kini, Yoga merasa hidup seorang diri. Ia ingin sekali menyatukan kedua orangtuanya. Soal Dina sudahlah, lebih baik ditutup saja. Lantas bagaimana caranya? Yoga menggaruk habis-habisan rambut gondrongnya.
Malas berkarya dengan kayunya, ia memutuskan pergi ke toko Material terdekat. Beberapa cat tembok aneka warna dalam ukuran kecil serta beberapa kuas ia beli. Dalam hati, satu keinginan baru tiba-tiba membersit; meluapkan emosi yang terpendam melalui lukisan. Bukan di kanvas, melainkan di dinding bengkel seninya yang kebetulan berwarna dasar putih. Dengan lincah, kuas ia mainkan hingga tangannya berlepotan cat aneka warna. Sebentar kemudian, ia memutuskan beristirahat untuk menunaikan shalat Jum'at.
***
Menjelang pukul empat sore, satu gambaran emosinya terbentuk. Sepasang mata berlinang berwarna hitam, sebuah bujur sangkar biru, dua telapak kaki hitam, satu kepalan tangan merah, setangkai bunga lili merah muda keunguan, dan sepasang sosok laki-laki dan perempuan dalam bentuk bayangan hitam sedang jalan bergandengan. Semua berlatar belakang warna jingga.
Yoga tertegun menatapi karyanya. Ada kepuasan tersendiri dalam dirinya. Sungguh, ia tidak menyangka hasilnya akan sebagus itu.
"Amazing!" Satu suara terdengar dari arah pintu. Yoga cepat menoleh. Ternyata Tito.
"Luapan emosiku." ujar Yoga.
"Bagus, daripada galau seperti orang gila atau mengurung diri di kamar. Cepet tua!" tukas Tito.
Yoga tertawa. "Darimana kamu, To? Rapi amat?" tanyanya kemudian.
"Baru masukin lamaran ke beberapa perusahaan. Bosan nganggur. Lalu, aku main dulu ke toko buku. Setelah itu, langsung kesini, mau kasih berita.." jelas Tito sembari duduk di samping Yoga.
"Tadi, di toko buku kebetulan aku ketemu Bella. Dia ngasih tahu, hari ini ulang tahunnya. Dirayakan di diskotek, nanti malam. Dia bilang, kamu harus datang. Ada kejutan buatmu." sambung Tito.
Yoga berpaling sedikit, lantas kembali memperhatikan karyanya di dinding. "Aku malas datang. Tahu sendiri, kan? Bella itu seperti apa." balasnya.
"Kalau aku jadi kamu, sudah kuterima cintanya. Kurang apa coba Bella? Cantik, iya. Kaya, jelas. Masa depan, tentu cerah. Dia cinta mati sama kamu. Saatnya kamu melupakan Dina dan membuat kisah baru dengan Bella..." kata Tito, begitu bersemangat membujuk sahabatnya itu.
Yoga terdiam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Berdo'a saja
sama saja
2021-03-02
2
ᵂᶠ°Rindu~
Hadehh Tito...🤦🏻♀️
2021-01-07
2