Usai sarapan, Yoga termenung di jendel kamarnya. Segelas kopi kental menemaninya. Keributan yang sering terjadi di rumah ini jelas mengganggu pikirannya. Terkadang, ia geli melihat sikap orangtuanyayang seperti anak-anak. Namun di lain waktu, ia justru kesal karenanya. Apalagi kalau melihat ayahnya bersikap kasar kepada ibunya.
Lima tahun silam, Bowo adalah seorang pilot di sebuah maskapai penerbangan. Tetapi, karena tak sengaja membuat pesawat tergelincir saat landing, akhirnya ia dipecat. Keharmonisan keluarganya dipertaruhkan, kebutuhan ekonomi mereka pun mulai tidak teratur. Hampir saja Yoga berhenti kuliah karenanya.
Lantaran sang suami tidak bisa menafkahi lagi, Daryani nekat bekerja di malam hari. Sementara itu, Bowo kerja serabutan. Kadang ia menjadi tukang parkir, dan juga menjadi kuli bangunan. Bahkan, lelaki itu juga pernah menjadi preman yang sosoknya cukup ditakuti. Parahnya, mereka yang semula rajin sembahyang mendadak lupa. Srjak itulah kejayaan keluarga Yoga memudar.
Suasanya rumah senyap. Mungkin, orangtuanya masih bermesraan setelah bertengkar. Sambil menggaruk-garuk kepala, Yoga ke bengkel seninya. Berada tepat di belakang rumahnya. Ia mulai berkarya lagi hingga terlupa akan semua kekacauan pagi ini.
Selepas Dzuhur, ketika Yoga baru selesai shalat, kekasihnya datang. Dengan wajah sendu, Dina, kekasih Yoga yang cantik itu menghampiri. Di tangannya terselip sebuah surat kabar.
"Ada apa Dina sayang? Kenapa wajah cantikmu kian murung? Coba ceritalah padaku.." goda Yoga dengan senyum simpulnya.
Dina duduk di atas meja butut dengan wajah tertunduk. Yoga ikut duduk disampingnya, sembari menghaluskan miniatur motor besar yang belum seutuhnya jadi.
"Tumben kamu datang dengan wajah yang seperti nenek-nenek begitu. Ada apa? Jangan buat aku ikut bersedih dong.." lanjut Yoga.
"Boleh aku jujur?" tanya Dina.
"Ya, silahkan.." jawab Yoga.
"Aku... aku ingin ke Jakarta. Bekerja di sana." ujar Dina.
Seketika, Yoga menghentikan gerakan tangannya menghaluskan benda unik nan mungil itu.
"Jangan bercanda, ah!" tegas Yoga.
"Aku serius.." balas Dina.
"Memangnya, ibu sama abahmu merestui?" tanya Yoga.
Sekilas, Dina menatap wajah lucu Yoga, lalu mengangguk. Yoga menyeringai kecil, lagi-lagi sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Jakarta itu kota besar, Din. Keras. Aku saja rasanya belum berani mengadu nasib di metropolitan itu. Memangnya, kamu mau kerja apa di sana? Di kantor seperti keinginanmu dulu? Atau di hotel sesuai bidangmu?" tukas Yoga.
Dina menggelengkan kepalanya, dan menyodorkan koran yang dibawanya. Dengan penasaran, Yoga membuka halaman demi halaman.
"Ada apa dikoran ini?" tanya Yoga yang tidak menemukan apa-apa.
"Buka halaman sembilan.." jawab Dina.
Yoga membuka halaman sembilan. Dalam sebuah koran besar, ia melihat daftar nominasi Putri Indonesia. Dina sang kekasih, termasuk salah satu di antaranya.
Yoga mendesah berat. "Aku nggak tahu sama sekali kalau kamu ikut ajang Putri Indonesia. Kenapa nggak bilang dari dulu?" tanyanya setengah kesal.
Dina diam saja. Pandangannya kosong ke arah sebuah meja panjang yang di sana berjajar hasil karya Yoga.
"Kenapa kamu diam saja? Sudah nggak sayang sama aku?" tegur Yoga.
"Aku sayang sama kamu. Tapi... tapi aku juga tidak mau kehilangan impianku yang sudah di depan mata. Apa kamu tidak senang kalau calon istrimu ini masuk nominasi Putri Indonesia? Tidak semua perempuan bisa dapat kesempatan sebagus itu.." kata Dina, mulai meradang di hadapan kekasihnya.
"Aku senang-senang saja. Tapi... aduh, Din! Jadi Putri Indonesia itu bukan pekerjaan mudah. Okelah, aku percaya pada kemampuanmu bergaul dan berbicara bahasa asing. Tapi, pergaulannya itu, Din. Bukan aku sok suci. Aku nggak suka saja. Apalagi, kalau kamu sampai difoto... difoto..." ujar Yoga.
"Difoto pakai baju renang, begitu?" sahut Dina cepat menebak kekhawatiran Yoga.
"Ya.." balas Yoga.
"Itu sudah jadi salah satu syaratnya. Toh, tidak menjurus pornografi." tegas Dina.
"Aku tetap tidak suka, Din." sahut Yoga.
"Yoga sayang sama Dina?" tanyanya.
"Ya, aku sayang kamu. Justru karena sayang itulah aku melarang keras kamu ikut pemilihan Putri Indonesia. Aku nggak mau tubuhmu dinikmati mata jalang laki-laki mata keranjang. Maaf, Din. Mungkin, aku sedikit kasar.." tukas Yoga.
"Ibu sama Abah saja merestui!" tegas Dina.
Yoga geleng-geleng kepala sambil menghembuskan napas berat.
"Aneh. Benar-benar aneh. Maaf, Din. Orangtuamu paham agama. Terlebih ayahmu sering jadi imam di masjid. Tapi, kenapa mereka merestui anaknya tampil seksi? Aku heran dengan pemikiran orangtuamu." balasnya.
"Kenapa kamu malah menyalahkan orangtuaku?" sembur Dina, sedikit tersinggung.
"Bukan menyalahkan, aku hanya heran. Oke, kalau memang itu keputusanmu yang direstui orangtuamu. Aku nggak bisa apa-apa. Tapi, aku berpesan satu hal kepadamu. Jaga hatimu Din. Kapan kamu ke Jakarta?" ujar Yoga.
"Besok pagi." jawab Dina.
"Selamat. Yasudah.. Sekarang aku mau lanjut bekerja lagi!" tegas Yoga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Sis Fauzi
bagus ceritanya 👍
2021-04-07
0
Hamidah Skp
mampir thorr
2021-04-06
0
Dinda Natalisa
Hai author aku mampir nih kasih like jangan lupa mampir di novel ku "menyimpan perasaan" mari saling mendukung.
2021-03-05
2