Derap langkah seorang mahasiswa mengikuti Annisa. Bukan. Bukan mengikutinya tetapi karena mereka searah. Mereka akan menuju kampus yang sama. Annisa cuek saja dengan mahasiswa di belakangnya. Mereka tetangga di kos, tapi tidak saling kenal. Baik mahasiswa itu ataupun Annisa tidak ambil pusing dengan masalah itu.
Annisa tiba di kelas tepat sang dosen akan memasuki ruangan. Entah, akhir-akhir ini, Annisa kerap kali hampir terlambat masuk kuliah. Sarah sedikit heran dengan perubahan Annisa. Pasalnya, dia adalah mahasiswa paling teladan terhadap waktu. Namun, entah mengapa akhir-akhir ini dia suka sekali datang bersamaan dengan dosen tiba.
Sarah akan menanyakan perubahan ketua kelasnya itu setelah kuliah berakhir. Mereka mengikuti kuliah dengan ogah-ogahan. Entah karena dosennya yang membosankan, atau karena mereka yang sudah bosan kuliah lantaran sudah semester akhir. Tiga tahun bukan waktu yang singkat untuk mereka duduk di bangku kuliah. Namun, semua itu tergantung mereka. Harusnya, jika ingin cepat menyelesaikan kuliah, maka harus belajar dengan baik agar mata kuliah cepat habis.
2 jam mereka habiskan dengan materi yang dibawakan oleh Bu Gita. Hingga akhirnya Bu Gita mengakhiri kuliah pagi menjelang siang itu. Sarah langsung mendekati Annisa untuk bertanya.
“Nis, kenapa telat lagi?” tanya Sarah to the point’.
“Apanya yang telat? Aku gak telat, kok.” Jawab Annisa. Memang dia tidak telat, karena masuk bersamaan dengan dosen. Lain halnya jika dosen masuk lebih dulu darinya.
“Bukan itu. Maksudku, kok kamu tidak lagi tiba lebih awal dari kami? Bahkan kamu tiba bersamaan dengan dosen.” Jelas Sarah.
“Sengaja. Bosan aku jadi mahasiswa teladan terus. Sekali-kali telat, kek. Eh malah bersamaan dengan dosen.” Jawab Annisa acuh.
“Gila ya, kamu. Kesambet, ya?” Sarah menyentuh dahi Annisa.
Annisa menepis tangan Sarah, “apaan sih, Rah?”
“Lagian, kamu aneh gitu.”
“Aneh gimana? Yang aneh, kalau aku tiba-tiba gak masuk kuliah. Itu baru aneh.”
“Iya deh, iya.” Sarah memilih nyerah berdebat dengan Annisa.
“Ngomong-ngomong, pak Veri apa kabar, ya?” ucap Sarah menerawang.
Annisa sontak menoleh pada Sarah, “iya, ya. Apa kabar ya, pak Veri.” Annisa menerawang, memikirkan Veri.
“Cieeee ... Kangen, ya?” goda Sarah.
“Apaan sih. Kamu kan yang mulai duluan?”
“Aku kan, cuman ngomong. Lah, kamu sampai menghayal gitu. Mikirin wajah tampan pak Veri, ya?”
“Ngaco, kamu.” Annisa mengelak padahal ucapan Sarah benar adanya. Sudah berbulan-bulan dia tidak mendengar kabar dari dosennya itu. Terakhir bertemu, saat dia menginap di rumah pak Veri.
“Sudahlah, ngapain kita mikirin dosen itu? Lagian, dia bukan lagi dosennya kita. Dia hanya dosen sementara.”
“Dosen sementara, tapi menetap dihati, kan?” Sarah masih saja menggoda Annisa.
“Tapi, betulan deh, Nis. Kayaknya, pak Veri suka sama kamu. Ingat gak, waktu kita praktikum dulu ...?”
“Iya, kenapa?” potong Annisa.
Sabar Napa. Aku masih cerita juga. Main potong-potong aja. “ waktu kamu belum tiba, pak Veri kayak kecewa gitu. Pas aku minta waktu untuk menunggu lima menit karena kamu masih di jalan, kayak ada senyum tipis di wajah pak Veri. Waktu di puncak juga, dia perhatian banget sama kamu. Apalagi waktu kamu muntah-muntah, pak Veri sampai panik gitu.” Jelas Sarah.
“Ya, wajarlah, Sar. Praktikum itu, kan pak Veri yang ngadain. Otomatis beliau yang bertanggung jawab. Jadi, wajarlah jika beliau khawatir saat aku muntah-muntah. Kalau terjadi apa-apa, kan, pak Veri yang bakal dituntut.”
“Iya, juga, sih. Tapi ....”
“Tapi apa lagi?” Potong Annisa.
“Harusnya, kak Hasan yang repot ngurusin kita. Bukan pak Veri. Pak Veri cukup memerintahkan pada kak Hasan. Ini, pak Veri turun tangan langsung, loh. Terus, saat nilaimu eror. Pak Veri langsung balik kesini, loh.”
“Pak Veri balik kesini mungkin ada urusan kali. Mana mungkin hanya demi aku.” Protes Annisa.
Padahal, dia juga memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang Sarah ucapkan. Pasalnya, pak Veri sudah sering membantunya. Bahkan, beliau membelikan aku makanan saat di ruangannya, menolongku saat ada preman di kos, bahkan memberikanku pakaian ganti saat di rumahnya. Jika Sarah mengetahui hal itu, mungkin dia akan menjadi bulan-bulanan teman sekelasnya itu.
“Ah, entahlah. Aku gak paham dengan jalan pikiranmu itu. Makanya, pacaran juga biar peka terhadap cowok.”
“Malas!”
“Oh iya, Nis. Hampir lupa. Dengar-dengar, kamu habis lamaran. Emang betul?” tanya Sarah. Hampir saja dia lupa mengklarifikasi berita yang di dengar dari tetangga Annisa di kampung.
“Kamu dengar dari mana? Jaringanmu kuat juga.”
“Dari Aldo. Tetanggamu di kampung. Dia kan, teman satu himpunannya Anto.”
“Iya, aku habis dilamar....”
“Hah!? Jahat kamu, Nis. Masa, lamaran gak ngasih kabar ke aku?”
“Dengar dulu sebelum protes. Aku gak tau bakal dilamar. Kakakku nyuruh aku pulang tanpa ngomong ada apa. Aku khawatir terjadi apa-apa sama keluargaku, makanya langsung pulang. Saat tiba di rumah, banyak keluargaku pada ngumpul. Aku langsung disuruh masuk kamar untuk siap-siap. Gak tau mau kemana. Pas lagi di kamar, ada sepupuku yang ngasih tau, katanya bakal ada lamaran di rumah. Aku kira, kakakku yang bakal lamaran. Eh, taunya aku yang dilamar.”
“Siapa? Pak Veri, ya?” tanya Sarah antusias.
“Hus. Pak Veri terus yang ada di otakmu.”
“Terus siapa?”
“Kak Satrio. Kakak kelasku di SMP. Aku baru ketemu dua kali dengannya.”
“Wahhh!! Hebat kamu, Nis. Belum apa-apa, udah lamaran aja. Aku yang udah pacaran lama, gak dilamar-lamar sama si Anto. Berarti, kamu udah lupain pak Beri, dong.”
“Aku tolak lamarannya.”
“Hah!? Gila kamu, Nis. Kenapa ditolak? Gak takut karma? Atau ... Kamu tunggu lamaran dari pak Veri, ya?” Sarah kaget mendengar Annisa menolak lamaran lelaki bernama Satrio itu.
“Aku mau fokus kuliah. Tapi, kalau sekarang ada yang lamar, aku terima saja. Ha ha ha.” Ucap Annisa sambil tertawa. Skripsi telah menggeser otak Annisa.
“Nyesel kan, udah menolak lamaran itu. Lagian, kamu gak takut nanti gak dapat jodoh?”
“Itu terserah Allah aja, Rah.”
“Kalau misalnya dia datang melamar kembali, apa kamu terima?” tanya Sarah memastikan.
Annisa tertawa, “ iya. Siapapun yang datang melamar, aku bakal terima. Tapi, yang bisa bantuin aku kerja skripsi. Lelah aku ngerjain skripsi sendiri.” Ucapan Annisa dianggap bercanda oleh Sarah. Padahal, Annisa mengatakannya dengan sungguh-sungguh.
Sarah tertawa mendengar penuturan Annisa, “Gila kamu, Nis. Hanya karena skripsi, mau terima siapapun yang datang lamar. Kalau ada orang gila yang datang lamar kamu, gimana?”
“Bukan orang gila juga, kali. Kan, aku bilang, yang bisa bantuin aku kerja skripsi.”
Percakapan mereka diakhiri oleh mas rujak yang menawarkan dagangannya. Setelah membeli rujak, mereka memutuskan untuk pulang ke kos masing-masing. Mereka tidak tau ada seseorang di gazebo yang terletak di sebelah pohon di dekat mereka duduk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
sefra
mf Thor,,, ini kok ke gak nemu ceritanya,, tdikan si Annisa udah nika Ama veri,, na di bab ini kok ceritanya lain lgi🤔🤔
2023-03-09
0