Veri menahan jantungnya agar tidak lompat kegirangan ketika melihat Annisa datang dan berdiri meminta maaf tepat di hadapannya.
“Iya, lain kali jangan diulangi. Silakan bergabung dengan yang lain agar kita langsung berangkat.” ucap Veri seraya menahan senyum.
“Baik, pak, terima kasih.” Annisa mendongkak melempar senyum pada Veri. Baginya itu hal biasa, tapi dia tidak tahu kalau senyumnya barusan membuat Veri tidak bisa tidur malam nanti.
“Baik, karena semua sudah kumpul jadi alangkah baiknya kita berangkat sekarang sebelum magrib tiba.” Veri mengangkat ranselnya.
“Iya, pak.” Jawab seluruh mahasiswa antusias.
Semua mahasiswa berbondong-bondong untuk menuju tempat praktikum. Tempat praktikumnya adalah puncak Amarilis yang merupakan salah satu kawasan hutan lindung yang ada di kota Kendari. Untuk mencapai puncak, mereka harus berjalan kaki selama kurang lebih tiga jam.
Yang berjalan paling depan adalah asisten dosen, kemudian disusul oleh mahasiswa lainnya. Biasanya, mahasiswa yang paling depan adalah mahasiswa yang sangat bersemangat dengan perjalanan itu, dan yang tidak semangat pasti paling belakang. Seperti yang terjadi saat ini. Annisa yang tidak punya semangat ikut praktikum berada di barisan paling belakang, tepatnya didepan Veri. Ya, sebagai penanggung jawab, Veri berada di barisan paling belakang untuk memastikan mahasiswanya baik-baik saja. Apalagi malam akan tiba sebelum mereka tiba di puncak.
Tepat pukul 18.17, mereka istrahat untuk melaksanakan Salat magrib . Mereka mencari tempat yang sedikit datar untuk memaksakan Salat magrib secara berjamaah. Kecuali yang lagi halangan bagi perempuan dan yang non muslim, mereka diminta untuk menjaga barang. Setelah semua sudah siap dengan posisi masing-masing, Veri maju untuk menjadi imam Salat.
Lantunan ayat suci yang dilantunkan oleh Veri, mampu menyihir siapa saja yang mendengarnya. Tidak terkecuali Annisa. Dia mengagumi kemampuan Veri melantunkan ayat suci.
“Pak, bisa kita singgah ambil air untuk keperluan diatas?” tanya seorang asisten melalui telpon kepada Veri. Mereka telah sampai di pertengahan bukit yang memiliki air dan sering digunakan oleh para pengunjung ketika mendaki.
“Iya silakan! Tapi perhatikan adik-adikmu yang lain.” Jawab Veri.
“Yang lain bisa istirahat dulu sembari menunggu Hasan dan teman-teman yang lain kembali.” Perintah Veri kepada mahasiswanya.
Annisa sudah mulai gelisah, angin malam sudah berhasil menusuk dalam rongga dadanya. Sejak tadi dia menggosok-gosokkan telapak tangannya serta sesekali memeluk tubuh sendiri karena dia tidak pakai jaket. Ingin rasanya dia berlari didepan untuk memeluk Sarah sahabatnya, namun apa daya mahasiswa dilarang saling melambung. Hal ini sengaja Veri perintahkan agar perjalanan tetap teratur. Namun tindakan itu justru menyiksa Annisa yang butuh pelukan sahabatnya, untuk sekedar mendapatkan kehangatan.
Melihat Annisa yang mulai kedinginan, Veri spontan membuka jaket dan memberikan padanya.
“Sudah tahu kita akan bermalam, kenapa tidak pakai jaket? Ini pakai jaket bapak, nanti kamu masuk angin” ucap Veri seraya mengulurkan jaketnya pada Annisa.
“Jaketku basah, pak. Tadi pagi aku cuci dan belum kering sampai saat aku berangkat.” Jawab Annisa jujur.
“Ya sudah, kamu pakai saja jaket bapak.”
Annisa langsung menyambar jaket Veri tanpa ada niat sedikit pun untuk menolak, baginya yang terpenting sekarang adalah melindungi tubuhnya dari embusan angin malam yang sangat menusuk kulit.
“Terima kasih, pak.” Ucapnya penuh kegirangan.
Melihat Annisa yang bahagia ketika diberi jaket, Veri merasa sangat senang.
“Diharapkan kepada seluruh mahasiswa untuk bersiap Salat isya!” pengumuman yang di umumkan oleh Hasan, asisten Veri berhasil menghentikan semua aktivitas mahasiswa yang sedang menikmati indahnya malam.
Seperti Salat magrib sebelumnya, Veri kembali menjadi imam untuk memimpin Salat isya. Pada rakaat kedua dia membaca surah Ar-rahman sebagai surah pilihannya. Lantunan suara yang merdu tidak membuat makmumnya kelelahan dalam berdiri, malah mereka makin khusyuk. Mendengar bacaan ayat suci dari Veri, Annisa kembali merasakan debaran aneh di dadanya.
Setelah melaksanakan Salat isya secara berjamaah, mereka bersiap untuk makan malam bersama. Mereka membuka bekal masing-masing yang telah disiapkan dari rumah maupun dari kos masing-masing. Usai memanjakan perut dengan bekal seadanya, mereka memulai aktivitas masing-masing.
Ada yang menyanyi, foto-foto, bahkan ada yang berlaga sebagai seorang Komedian handal. Kecuali Annisa, dia memilih duduk di dekat perapian untuk menghangatkan badan. Namun perapian tidak mampu menghangatkan tubuhnya.
Sarah yang baru selesai berberes dalam tenda, menghampiri sahabatnya yang menyendiri.
“Bagaimana perasaanmu, kamu tidak rasa masuk angin kan?” Sarah merangkul bahu sahabatnya.
“nggak tau, kayanya sedikit mual deh, soalnya tadi terlambat pakai jaket.” Ucap Annisa dengan nada lemah.
“Yang penting tidak sampai muntah-muntah seperti dulu, kan?” Sarah paham betul dengan tabiat sahabatnya satu ini.
Sejak kecil Annisa tidak pernah keluar malam hingga dia lulus SMA, bahkan di awal kuliahnya tidak pernah berada di luar saat malam hari. Namun saat memasuki semester dua, dia tinggal di sebuah asrama. Malam itu, mereka di minta untuk menghadiri dialog publik di sebuah hotel yang ada di kota Kendari. Annisa diminta menghadiri kegiatan itu bersama dengan teman-temannya.
Saat hendak keluar dari hotel, bersamaan dengan wakil rektor tiganya dia mulai merasakan mual. Namun dia berusaha melawan rasa mualnya. Saat sampai di parkiran motor, dia mulai muntah hingga tidak ada isi perutnya yang tersisa. Dari situlah dia anti dengan angin malam.
“Iya sih, Sar… tapi perasaanku tidak enak.”
“Sarah. Nyanyi yuk!” ajak Anto yang merupakan kekasih Sarah.
Sarah dan Anto mulai menjalin hubungan asmara sejak masuk semester dua. Maka tidak heran jika Sarah harus berbagi waktu antara kekasih dan sahabat. Sarah menyayangi kekasih dan juga sahabatnya.
“Nis, gabung yuk. Masa menyendiri mulu dari tadi.” Ajak Anto lagi pada Annisa.
“Iya, Nis, daripada kamu terus memikirkan penyakitmu yang aneh itu, mending ikutan nyanyi. Siapa tau bisa hilang rasa pusing di kepalamu itu.” Celetuk Sarah menimpali.
“Nggak deh, kalian aja. Nanti aku dengarin kalian nyanyi aja.
“Okelah. Tapi kamu nda apa-apa kan?” Sarah masih ragu meninggalkan sahabatnya, walaupun jaraknya hanya sekitar enam meter dari tempatnya bernyanyi.
“Iya, aku baik-baik saja kok, kamu kesana gih. Ntar Anto ngambek lagi kayak anak kucing ditinggal maknya. Ha ha hah”, Dia mengangkat jari tanda bergurau kepada Anto yang memandangnya dengan tatapan silet.
“Baiklah.” Sarah berdiri dan meninggalkannya di perapian.
Sepeninggal Sarah dan Anto, dia mulai memeluk badan dan sesekali mengusap muka. Rasa pusingnya semakin menjadi, ditambah lagi dengan perutnya yang ingin mengeluarkan segala isi didalamnya. Tidak ingin mengganggu teman-temannya, dia menjauh untuk mengeluarkan isi perutnya sudah ada di tenggorokan. Annisa tidak menyadari kalau disitu ada Veri yang sedang menelpon.
“Uwek uwek uwek.” Dia muntah dan sesekali mengaduh kesakitan pada perutnya. Iya, setiap kali muntah, dia selalu sakit bagian perutnya.
“Uwek uwek. Hiks hiks..” Dia mulai menangis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments