ke pesta

Annisa sangat menikmati liburannya walau hanya tinggal dalam rumah. Baginya, berada di rumah orang tua itu sudah kebahagiaan yang hakiki. Maklum, namanya juga anak rantau, sekali pulang betah banget di rumah.

“Annisa! Ada yang nyariin kamu. Katanya teman SMP mu.” Teriak mama Annisa dari ruang tamu.

Annisa yang sedang nonton, langsung mengambil jilbab instan untuk melihat siapa yang datang.

“Eh, kak Satrio?” Sapa Annisa ketika mendapati Satrio yang tengah cerita dengan mamanya.

Melihat Annisa yang biasa saja, Satrio heran.

“Kok, kamu belum siap-siap, Nis? Tanya Satrio

“Emang siap-siap untuk apa, kak?” tanya Annisa balik.

“ Kemarin, kan aku bilang mau jemput kamu. Kita ke pesta pernikahan kakakku.” Jelas Satrio.

“Lah. Emang kakak kemarin itu serius?,aku kira hanya bercanda, kak.” Ucap Annisa menggaruk kepala yang tidak gatal, lebih tepatnya sih jilbab.

‘Aku serius Annisa sayang’ ingin sekali Satrio mengucapkan itu, namun hanya hati yang mampu mengucapkannya.

“Aku serius.” Jawabnya mantap.

“Tapi, aku belum mandi, kak. Kak Satrio pergi saja nanti telat gara-gara jemput aku. Kelamaan!” ucap Annisa sopan.

“Aku udah nyampe sini, jadi kamu harus ikut. Sudah sana mandi! Aku akan tunggu disini.” Jelas Satrio.

“Tapi kak ….” Belum sempat Annisa melanjutkan, mamanya menimpali.

“Udah sana mandi, kamu kan mandi sama pakaiannya hanya butuh waktu lima menit. Jadi tidak usah khawatir akan telat.” Ucap mamanya jujur.

“Tapi aku belum ngapa-ngapain, ma.” Elak Annisa lagi.

“Emang kamu pernah mandi lama? Dikena air satu timba saja sudah untung-untungan, apalagi mau berlama-lama kena air.” Kali ini mama Annisa buka kartu.

“Ih, mama malu-maluin aku saja.” Jawab Annisa jutek. Sementara Satrio hanya senyum-senyum.

Annisa masuk untuk mandi, sementara Satrio masing ngobrol dengan mama Annisa. Mereka ngobrol banyak hal, termasuk masa lalu Annisa saat di SMP. 6 menit kemudian, Annisa sudah siap untuk berangkat. Dia menggunakan gamis biru, dengan hijab senada. Untuk muka dia hanya memakai bedak mitu baby dan tidak menggunakan lipstik. Annisa tidak suka berdandan walaupun umurnya sudah 19 tahun.

“Ya Allah! Annisa …! Kamu mau ke pesta atau mau kemana? Kenapa itu bibir pucat gitu?” mama Annisa kaget.

“Mama kaya baru lihat aku ke pesta aja. Aku kan, memang selalu gini kalau ke pesta.” Ucap Annisa jujur.

Annisa adalah sosok gadis yang paling antik dengan make up. Jangankan make up, handbody saja jarang dia pakai. Baginya, make up hanya buang-buang uang dan makan waktu. Hal itu kerap kali membuat bibi-bibinya mengomel. Hingga tidak sedikit bibinya yang memberikan Annisa alat dan bahan untuk perawatan, bahkan pernah diberi uang untuk beli make up. Tapi bagi Annisa, daripada beli itu semua, mending dipakai buat beli buku.

“Tapi ini pesta besar, Nisa! Apa kamu nggak malu?” mama masih saja mengomentari penampilan Annisa.

“Ma, aku akan lebih malu dan nggak nyaman jika harus ber make up.” Jelas Annisa lembut.

“Nggak apa-apa kok, tante. Nggak pakai apa-apa, pun, Annisa sudah cantik.” Ucap Satrio menengahi.

“Ya sudah, ma, aku pamit ya.” Annisa mencium tangan mamanya diikuti oleh Satrio.

Sepanjang jalan, mereka hanya diam. Baik Satrio maupun Annisa, tidak tau harus mulai percakapan dari mana. Hingga mereka tiba di sebuah gedung yang sudah disulap jadi tempat pesta yang sangat mewah. Annisa terkagum-kagum melihat pemandangan didepannya. Gedung yang biasa orang gunakan untuk berbagai macaam jenis olahrga, kini telah disulap bak istana bernuansa pink.

Gedung yang di gunakan adalah Gedung Olahraga yang terdapat di kota. Biasanya, hanya orang-orang tertentu yang menggunakan gedung ini untuk pesta.

“Yuk, masuk!” ajak Satrio menghentikan lamunan Annisa.

“Iya.” Jawab Annisa.

Didalam, Annisa diperkenalkan dengan keluarga Satrio, mulai dari paman dan bibinya, para sepupu hingga kepada orang tua Satrio. Sebelumnya Annisa takut diperkenalkan dengan orang tua Satrio. Dia takut karena tidak ada undangan. Namun diluar dugaan, belum habis kekagumannya dengan kemegahan dekorasi gedung, Annisa dibuat kagum dengan sikap ramah orang tua Satrio.

“Nak Annisa rumahnya dimana?” tanya mama Satrio ketika Annisa terlihat rileks berada ditengah-tengah mereka.

“Rumahku ada di desa sebelah, bu.” Jawab Annisa sopan.

“Oh, tinggal sama orang tua?” Ibu Satrio seolah sedang mewawancarai calon karyawan.

“Aku tinggalnya di kota Kendari, bu. Aku hanya pulang liburan”.

“Oh, kamu masih kuliah?” tanya ibunya Satrio antusias.

“Iya, bu, masih kuliah.” Annisa hanya menjawab to the poin, takutnya salah.

“Semester berapa sekarang?”

“Baru semester lima, bu.” Jawabnya dengan senyum yang tak hilang dari bibirnya.

“Semoga sukses ya, nak.” Ucap ibunya Satrio tulus yang dibalas oleh senyuman Annisa.

“Ibu kesana dulu, ya. Nak Annisa rilekas aja.”

“Iya, bu” jawab Annisa.

Ibunya Satrio meninggalkan Annisa untuk menemui tamu yang lain, sedangkan Annisa duduk di sebuah kursi tamu tanpa ada yang dia kenal sebab yang dia kenal di pesta itu hanyalah Satrio. Satrio pergi untuk menjemput pamannya. Bosan tidak ada yang dilakukan, Annisa mengeluarkan ponsel dari tasnya.

Saat menyalakan ponselnya, banyak notifikasi whatsApp yang masuk. Dia membuka semua notifikasi yang masuk walaupun hari libur. Ya, dia paling tidak suka diganggu saat libur. Jangankan chat, telpon saja yang bunyinya mengganggu tidak digubrisnya. Namun, karena dia lagi bosan tidak ada yang dikerjakan, dia iseng untuk menghibur diri.

Notifikasi yang dia buka pertama adalah grup kelasnya di kampus yang jumlahnya hampir 500 pesan. Dia heran apa yang diperdebatkan teman-temannya hingga pesan hampir 500 banyaknya. Dia mulai buka dari awal percakapan yang menunjukkan foto teman-temannya di kampung masing-masing.

Didalam grup ada berbagai macam yang dikirim oleh teman-temannya. Mulai dari foto selfi masing-masing, foto makanan, hingga foto paparazi saat sedang kuliah yang berujung dengan saling mengejek. Namun, kegiatan itu malah mempererat tali persaudaraan sesama teman kelas.

Annisa terus saja memperhatikan ocehan teman-temannya di grup, hingga tidak sadar dia senyum-senyum sendiri. Semakin jauh dia melihat percakapan teman-temannya, dia terhenti ketika kiriman dari Rendi yang mengabarkan bahwa nilai sudah keluar. Segera dia beralih akun dari WatshApp ke Browser untuk buka siakad. Betapa hancur hatinya ketika nilai Ilmu Tanahnya terpampang jelas dengan huruf E. Bagi mahasiswa seperti Annisa, nilai E adalah pukulan paling sakit daripada gagal dapat hadiah yang sudah ditangan sendiri.

Matanya mulai panas ingin segera mengeluarkan embun yang mulai menumpuk di pelupuk mata. Namun dia tahan. Dia sadar jika dia mengeluarkannya sekarang malah akan tambah masalah. Jalan satu-satunya dia harus pulang dan mengeluarkan embun yang ada di pelupuknya itu. Karena Satrio belum ada, dia hanya pamit pada ibunya Satrio.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!