Mual

Mendengar ada yang tidak beres, Veri langsung menghampiri Annisa. Veri kaget bukan kepalang melihat Annisa muntah-muntah. Dia takut terjadi sesuatu pada gadis itu. Veri meminta minyak angin pada Hasan asistennya.

“Hasan. Tolong ambilkan minyak angin yang ada di tasku..” titah Veri pada Hasan

“Baik, pak.”

“Kamu kenapa sampai begini?” tanya Veri khawatir.

Annisa tidak menggubris pertanyaan Veri, justru dia tambah menangis merutuki kebodohannya ikut dalam praktikum itu.

“Ini, pak, minyak anginnya.” Hasan menyerahkan minyak angin pada Veri.

“Ini, oleskan di perut dan lehermu.” Ucap Veri saat menyerahkan minyak angin padanya.

Annisa menerima minyak angin dari Veri dengan tangan bergetar. Ketika minyak angin sudah di tangannya, seketika pandangannya buram, dan terasa gelap. Dia pingsan. Veri langsung memeluk Annisa agar tidak jatuh.

Veri menepuk-nepuk pipi Annisa.

“Astaghfirullah! Annisa!!” Sarah kaget melihat sahabatnya tidak sadarkan diri.

“Annisa, bangun Nis… Nisa ... hiks hiks. Maafin aku yang sudah memaksamu untuk ikut. Hiks ... hiks ... hiks. Nissa ” Sarah menyesal telah memaksa sahabatnya untuk ikut, padahal ia tau Annisa phobia angin malam.

Veri berusaha membangunkan Annisa dengan menyimpan minyak angin di hidungnya, serta memijit jari-jari tangannya.

“Emang dia lagi sakit ya?” tanya Veri kepada Sarah

“Dia tidak bisa kena angin malam, pak. Jadi sebenarnya alasannya terlambat berangkat tadi sore, ini. Dia takut kalau ikut akan terjadi hal seperti ini.” Sarah menjelaskan kepada Veri

“Umm ...” Annisa sadar dari pingsannya.

“Nisa kamu sudah sadar?! Maafin aku ya..” Sarah menyesali perbuatannya.

“Aku baik-baik saja kok, kamu nggak perlu minta maaf gitu.” Ucapnya parau.

“Seharusnya kamu beritahu bapak kalau tidak bisa kena angin malam.” Veri bicara dengan nada datar.

“Maaf, pak, aku nggak tau kalau akan terjadi seperti ini. Maaf telah merepotkan bapak.” Ucap Annisa diikuti dengan aliran bulir bening dipipihnya. Tamatlah sudah riwayatnya telah merepotkan dosennya. Sudah sengsara, bakal dapat nilai buruk lagi. Begitulah yang ada di pikirannya.

Veri menyesali perkataan yang keluar dari bibirnya.

‘Duh, kenapa sih harus kalimat itu yang keluar?’ gumam Veri dalam hati.

“Ya sudah, kalian istirahat saja, besok pagi kita akan mulai praktikum, dan kamu Annisa, jangan keluar dari tenda.” Perintah Veri kepada seluruh mahasiswanya.

Malam perlahan bergeser memberikan kesempatan kepada matahari untuk menerangkan bumi. Bintang-bintang pun telah hilang entah kemana. Saat itu, semua mahasiswa yang akan melaksanakan praktikum Ilmu Tanah telah siap dengan perlengkapan masing-masing. Setiap kelompok diberi tugas untuk menggali tanah sedalam kurang lebih dua meter.

“Setiap mahasiswa harus kerja, tidak boleh ada yang hanya melongo membiarkan temannya kerja sendiri. Nanti akan dipandu sama kak Hasan dan bapak sendiri.” Perintah Veri

“Iya, pak!” jawab mahasiswa serentak.

Kelompok satu sampai lima dipandu oleh Hasan, sedangkan enam sampai sepuluh dipandu oleh Veri.

“Pak, kami sudah selesai menggali dan sudah terlihat perbedaan warna tanahnya.” Ucap Rendi memanggil Veri.

“Oke, baik sekarang kita akan membatasi setiap warna tanah dengan tali rafia, kalian bawa talinya kan?”

“Iya, ada, pak.” Kali ini Annisa yang menjawab, karena dia yang bertugas melaksanakan tugas itu.

Annisa masuk dalam lubang yang sudah digali oleh teman-teman kelompoknya. Sebelumnya mereka telah membagi tugas masing-masing. Para cowok di tugaskan untuk menggali secara bergiliran, sedangkan para cewek ditugaskan untuk mencatat, dokumentasi serta memasang pembatas setiap warna tanah. Dan itu ditugaskan kepada Annisa.

“Kamu tempelkan pakai jarum pentul saja ya” perintah Veri kepadanya.

Annisa mulai memasangkan tali di antara warna tanah yang berbeda. Namun dia sedikit kewalahan karena harus memegang ujung tali serta menempelkan jarum pentul pada tali, sedangkan tangannya hanya dua. Melihat dia kesusahan, Veri berinisiatif membantu sehingga ia ikut serta dalam lubang yang hanya beberapa senti. Didalam lubang galian yang sempit mau tidak mau mereka harus bersentuhan, hal itu membuat degup jantung Veri berdetak tak karuan.

“Awww!” Annisa menjerit, ketika tangan kirinya tidak sengaja digunakan untuk menekan jarum pentul untuk menempelkan tali.

Melihat Annisa kesakitan, Veri langsung meraih tangannya dan sedikit mengurut pergelangan tangan milik Annisa. Sementara Sasa yang bertugas sebagai dokumentasi terus melaksanakan tugasnya. Dia terus memotret Veri dan juga Annisa yang sedang berpandangan. Namun tiba-tiba terhenti ketika Rendi muncul.

“Kenapa, Nis? Kamu khilaf lagi? Betul-betul ya. Udah tau tangan tidak bisa dijadikan tumpuan, malah digunakan, dasar ceroboh.” Ucap Rendi dengan nada mengejek

“Huuh! Terus saja mengejek. Nanti kalau kamu dapat juga ginian baru tau rasa.” Balas Annisa dengan nada jengkel

“Ye, bagus amat doanya neng?” Rendi kesal

“Ya bagus lah. Dan biasanya orang yang teraniaya itu doanya mudah terkabulkan ha ha ha.” Annisa tertawa lepas didepan Veri

Veri yang melihat pemandangan indah tawa seorang gadis yang sudah memikat hatinya itu tersenyum simpul. Dalam hatinya terus saja memuji gadis itu. Dengan bantuan Veri, Annisa berhasil menyelesaikan tugasnya.

“Nis, kamu udah kumpulin hasil dokumentasi kemarin nggak?” tanya Rika pada Annisa yang sedang menyantap syomai goreng kesukaannya.

“Buat apa? Kan tinggal buat laporan terus sertakan beberapa hasil dokumentasi dari praktikum pada lampiran.” Balasnya cuek.

“Emang kamu tidak baca ya sms dari pak Veri? Bapak minta hasil dokumentasi kemarin dikirim sama beliau dalam bentuk soft file atau dikasetkan saja gitu.” Jelas Rika.

Mendengar penjelasan Rika, Annisa kaget bukan kepalang. Dia lupa semalam telah mengabaikan semua pesan yang ada di ponselnya. Hari ini dia hanya masuk mata kuliah senior, jadi dia tidak perlu repot-repot untuk menghubungi dosen karena seniornya lah yang menjadi ketua pada mata kuliah yang dia ambil. Itulah sebabnya dia mengabaikan semua pesan, baginya pesan-pesan yang masuk itu tidak penting.

“Serius kamu, Ka?” tanya Annisa tidak percaya.

“Ya elah neng, semalam kamu ngapain aja sih, sampai tidak buka ponsel? Aku telponin juga tidak diangkat.” Tambah Dila.

“Aduh! Semalam aku mengabaikan semua pesan masuk yang muncul. Kamu taukan bagaimana aku kalau sudah cape bangat. Malas walau hanya sekedar buka pesan.” Jelas Annisa sambil membuka pesan di ponselnya.

“[Assalamu’alaikum, tolong besok kumpulkan hasil dokumentasi kemarin dalam bentuk soft file, bapak tunggu di ruangan jam sepuluh.]”isi pesan Veri mampu membuat rasa syomai yang ada dalam mulut Annisa terasa hambar.

“Aduh! Gimana nih Rik? Dil? Aku bahkan belum ngabarin Sarah buat bawa foto-foto kemarin, mana sisa 20 menit jam 10lagi.” Annisa mulai gelisah.

“Kami nggak tau. Kita duluan ya, mau ketemu pak dosen tampan, nanti kita bantu bicara sama pak Veri deh. Sekarang, kamu coba hubungi Sarah untuk bawa foto-foto kemarin.” Ucap Rika yang dibenarkan oleh Dila dengan anggukan kepala.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!