Nilai Eror

Annisa terus saja memperhatikan ocehan teman-temannya di grup, hingga tidak sadar dia senyum-senyum sendiri. Semakin jauh dia melihat percakapan teman-temannya, dia terhenti ketika kiriman dari Rendi yang mengabarkan bahwa nilai sudah keluar. Segera dia beralih akun dari WatshApp ke Browser untuk buka siakad. Betapa hancur hatinya ketika nilai Ilmu Tanahnya terpampang jelas dengan huruf E. Bagi mahasiswa seperti Annisa, nilai E adalah pukulan paling sakit daripada gagal dapat hadiah yang sudah ditangan sendiri.

Matanya mulai panas ingin segera mengeluarkan embun yang mulai menumpuk di pelupuk mata. Namun dia tahan. Dia sadar jika dia mengeluarkannya sekarang malah akan tambah masalah. Jalan satu-satunya dia harus pulang dan mengeluarkan embun yang ada di pelupuknya itu. Karena Satrio belum ada, dia hanya pamit pada ibunya Satrio.

“Maaf, bu, aku mau pamit pulang. Mendadak ada kegiatan.” Pamitnya sedikit berbohong.

“Tapi kamu pulang sama siapa, nak? Satrio masih di rumah pamannya.” Ucap ibunya Satrio lembut.

“Aku naik ojek aja, bu.” Ujar Annisa dengan senyum lembut.

“Ya sudah, kamu hati-hati, ya. Terima kasih sudah mau datang.” Ujarnya seraya memeluk Annisa.

“Iya, bu, terima kasih ” jawab Annisa lalu berjalan menuju pintu keluar.

Sekitar 10 meter dari gedung resepsi, seketika air mata Annisa luluh tanpa bisa ditahan lagi. Air matanya mengalir bagaikan aliran air dari hulu ke hilir dengan topografi yang tinggi. Annisa berpikir tidak mungkin langsung pulang dengan keadaan seperti ini. Dia tidak mau memperlihatkan kesedihan kepada orang tuanya. Dia harus pergi di suatu tempat untuk menghilangkan kesedihannya.

Disinilah Annisa, duduk dibawah pohon trembesi sambil menikmati angin yang menerpanya bersamaan dengan air yang membasahi kakinya. Dia duduk di By Pass. Tempat ini biasanya di gunakan orang-orang sekitar kota bahkan orang yang ada di kampung untuk menikmati angin sore. Bahkan tidak sedikit orang yang turun untuk berenang. Tinggi antara permukaan laut dengan daratan sekitar dua meter, dilengkapi dengan anak-anak tangga yang dibuat secara otomatis untuk memudahkan para pengunjung menggapai dinginnya air laut.

Annisa memilih duduk di deretan tangga terakhir hingga bisa menyentuh air laut. Dengan begitu juga tidak ada orang yang bisa melihatnya sedang menangis. Selain tempatnya yang tinggi, waktu yang menunjukkan jam 14.20 tidak memungkinkan orang akan berkunjung di tempat itu. Di waktu seperti itu, terik matahari masih sangat menyengat bila menyentuh kulit. Namun, tidak sebanding dengan hati Annisa. Hingga dering ponselnya berbunyi tanda telpon masuk. Satrio menelponnya.

“Assalamu’alaikum, kak.” Ucap Annisa dengan suara santai yang dipaksakan.

“Wa’alaikumsalam, kamu dimana, Nis? Kata mama kamu ada kegiatan?” tanya Satrio.

“Iya, kak, maaf tadi aku harus buru-buru pulang, jadi tidak sempat ngabarin kakak.” Jawab Annisa berbohong.

“Oh, iya, tidak apa-apa. Aku minta maaf tadi ninggalin kamu di pesta, ya.” Ucap Satrio merasa bersalah.

“Iya, kak, aku mengerti kok kalau kakak sibuk.”

Percakapan mereka berlanjut, hingga Annisa memutuskan untuk mengangkat telpon dari Sarah yang sudah tiga kali menghubunginya.

“Maaf, kak, sudah dulu ya aku mau ngangkat telpon dari teman kampus, takutnya penting soalnya sudah tiga kali nelpon.” Ucap Annisa jujur.

“Oh iya, Assalamu’alaikum.” Salam Satrio.

“Wa’alaikumsalam.” Jawab Annisa.

Setelah memutuskan telpon dengan Satrio, Annisa langsung mengangkat telpon dari Sarah.

“Assalmu’alaikum.” Salam Annisa.

“Eh, kamu bicara sama siapa sih sampai telpon aku diabaikan gitu?” Sarah mengomel tanpa menjawab salam dari Annisa.

“Kalau salam itu dijawab dulu, neng.” Ucap Annisa santai.

“Wa’alaikumsalam!” jawab Sarah dengan rasa jengkel masih bersarang dihatinya.

“Kamu kenapa nelpon sampai berkali-kali gini? Tutumben-tumbenan. Baru juga sehari ditinggalkan sudah kangen aja.” Canda Annisa menyembunyikan kesedihannya.

“Apa kamu sudah buka siakad?” tanya Sarah hati-hati. Amarahnya sudah hilang ketika menanyakan masalah nilai kepada sahabatnya.

“Iya, sudah.” Jawab Annisa datar.

“Apa kamu tidak berniat memperbaikinya?” tanya Sarah lagi.

“Niat sih niat Sar, tapi mau bagaimana lagi. Tidak ada toleransi dari pak Veri” ucap Annisa frustasi.

“Astaghfirullah, Annisa! Makanya grup itu dibuka juga.” Sarah gemas dengan sahabatnya satu itu.

“Kenapa? Emang ada apa dengan grup?” tanya Annisa masih dengan ekspresi datar.

“Kamu sesibuk apa sih di kampung, hingga kudet begitu? Tumben-timbenan juga kamu ketinggaln informasi. Biasanya sebelum informasi keluar pintu kamu sudah tau duluan.” Sarah masih berbasa-basi hingga membuat Annisa kesal.

“Ada apa sih, Sar?” Annisa penasaran.

“Ada pengumuman, jika ingin memperbaiki nilai silakan hubungi dosennya masing-masing. Disitu juga disertakan nama mahasiswa yang nilainya eror, dan kamu ada di urutan nama pertama.” Ujar Sarah dengan suara di tekan.

“Serius, Sar? Kapan dedline perbaikannya?” tanya Annisa antusias.

“Minggu depan, tapi untuk mata kuliah Ilmu Tanah hanya diberi waktu sampai besok. Jadi, jika kamu mau nilai bagus, silakan kembali kesini dan jangan lupa bawain aku oleh-oleh.” Jelas Sarah.

“What…!!? Besok? Apa tidak salah, Sar?” Annisa kaget dengan penuturan Sarah. Baru juga kemarin dia pulang, masa harus pergi lagi.

“Apa kurang jelas, Nis?” ungkap Sarah dengan nada mengejek. Dia mengejek Annisa yang hanya sehari di kampung.

“Ya sudah deh, sebentar malam aku balik.” Annisa bahagia namun sedih.

Tepat pukul 03.01, kapal yang ditumpangi Annisa tiba di pelabuhan kota Kendari. Setelah menyampaikan bahwa ada nilai yang harus diperbaiki kepada orang tuanya, dia berangkat dengan menggunakan kapal malam dan sekarang dia telah tiba di kota rantau kembali.

Annisa tidak langsung keluar dari kapal, dia menunggu hari terang terlebih dahulu. Setelah matahari mulai terbit, barulah dia beranjak meninggalkan kapal untuk mencari angkot. Namun, bukan dia yang mencari angkot melainkan dialah yang dicari sama sopir angkot. Ya, di kota tempatnya kuliah, angkot ada dimana-mana hingga memudahkan untuk orang-orang seperti Annisa dalam melakukan perjalanan.

Selama menempuh perjalanan satu jam setengah, Annisa sampai di kamar kos tercintanya. Sebenarnya, jarak antara pelabuhan dengan kosnya tidak terlalu jauh. Namun, karena bertepatan dengan jam keberangkatan kantor dan anak sekolah, jalanan jadi macet panjang. Tanpa membuang waktu, Annisa langsung mandi dan bersiap-siap untuk ke kampus. Dia berangkat ke kampus tanpa sarapan terlebih dahulu.

Setelah menunggu kurang lebih tiga jam, akhirnya dosen yang ditunggunya tiba juga. Betapa terkejutnya Annisa ketika melihat dosennya itu. Dia tidak kepikiran jika akan bertemu kembali dengan Veri. Lain halnya dengan Veri, dia sudah tau jika Annisa menunggunya dari tiga jam lalu. Sekilas Veri memperhatikan Annisa, wajahnya sedikit pucat dan berkeringat. Dalam hati dia menyesal membiarkan gadis itu menunggu hingga tiga jam. Seandainya, asistennya menghubunginya lebih awal, mungkin Annisa tidak akan kelelahan seperti tu. Namun dia hanya lewat dan masuk ruangan.

Melihat Veri yang sudah memasuki ruangannya, Annisa menyimpan buku bacaan yang menemaninya menunggu selama tiga jam. Dia berdiri untuk menemui Veri. Namun seketika perutnya sakit dan ingin muntah. Dia berusaha melawan rasa sakitnya itu, dan bersikeras menemui Veri untuk memperbaiki nilainya.

Annisa mengetuk pintu lalu mengucap salam. “Assalmu’alaikum!”

“Wa’alaikumsalam, masuk!” jawab Veri dari dalam.

Setelah mendengar jawaban dari dalam, Annisa memutar knop pintu dan memasuki ruangan lalu menutupnya kembali.

“Silakan duduk!” Veri mempersilahkan Annisa duduk tepat di hadapannya dengan pandangan masih tertuju pada layar monitor didepannya.

“Baik, pak.” Jawab Annisa malu-malu.

Setelah Veri menutup monitornya, dia mulai menghadap pada gadis cantik didepannya.

“Ya, bagaimana?” tanya Veri membuka percakapan

“Maaf, pak, aku mau perbaiki nilai Ilmu TTanah.”jawab Annisa ragu-ragu.

“Ya, sudah, silahkan kamu jawab semua soal ujian ini sekarang.” Ungkap Veri.

“Dikumpulnya kapan, pak?” tanya Annisa.

“Setelah selesai langsung kumpul, kamu menjawabnya disini saja supaya langsung diawasi layaknya ujian.” Ungkap Veri. Sebenarnya bukan itu tujuan Veri, ingin lama-lama melihat gadis yang dia rindukan itu. Namun tindakannya itu justru menyiksa Annisa.

Keringat Annisa bercucuran ketika menjawab soal kedua dari Veri. Bukan karena soal ujiannya yang sulit, tetapi karena menahan gejolak perut yang ingin dikeluarkan melalui tenggorokan, ditambah kipas angin yang ada di ruangan Veri tepat mengenai tubuhnya. Annisa juga tidak bisa dikena kipas angin. Seketika Annisa mual-mual.

“Maaf, pak, bisa pinjam toiletnya.” Ucap Annisa malu-malu.

“Silakan.” Jawab Veri dengan nada khawatir. Dia khawatir melihat wajah Annisa yang sangat pucat. Annisa memang tidak pernah menggunakan lipstik, jadi ketika dia pucat sedikitpun akan sangat kentara.

Setelah dipersilahkan oleh Veri, Annisa langsung lari menuju toilet untuk mengeluarkan semua isi perutnya.

Annisa memuntahkan semua isi perutnya, sementara Veri gelisah tidak tau harus berbuat apa. Masuk dalam toilet tidak mungkin.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!