“ Makasih ya pak…. “ Ujar Kezia pada pengemudi ojek yang mengantarnya. Diserahkannya helm berwarna hijau yang tadi dipakai Kezia.
“ Sama-sama non…” sahutnya.
Kezia berjalan menuju rumahnya. Didorongnya gerbang dengan sekuat tenaga. ia menaiki satu per satu anak tangga menuju teras rumahnya. Saat Kezia akan membuka pintu, seseorang membukakannya lebih dahulu.
“ Bii, tumben belum pulang…” sapa Kezia pada Ida yang berdiri di hadapannya. Ida hanya menggeleng. “ Bibi kenapa, sakit?” lanjut Kezia yang melihat raut pucat di wajah Ida.
“Anu itu non..”
“Praaankkkk!!!” terdengar suara barang terlempar.
Ida tidak melanjutkan perkataannya dan Kezia segera berlari ke arah datangnya suara.
“ Kamu emang maunya menang sendiri! Bukti udah jelas kamu masih gag ngakuu!!” Teriak Eliana pada Martin
dengan air mata berurai.
“ Saya gag pernah selingkuh! Saya tidak akan mengakui sesuatu yang tidak pernah saya lakukan!” Sahut Martin
dengan suara lebih keras.
“ Selingkuh ya selingkuh! Kamu ngaku aja!” teriak Eliana dan,
“ PLAK!!!!” sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Eliana. Eliana terhuyung lalu terjatuh di lantai sambil memegangi pipinya.
“ Pah!!!!” teriak Kezia sambil berlari menghampiri Eliana yang jatuh terduduk. Dipeluknya Eliana dengan erat. Tanpa terasa air mata mengalir dari kedua mata Kezia.
“ Mah, zia…Maaf, papah gag bermaksud…” ujar Martin dengan suara lirih. Dihampirinya Kezia dan Eliana yang
menangis berangkulan.
Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Eliana dan Kezia. Martin memandangi Eliana dan Kezia bergantian dengan wajah penuh sesal. Martin mencoba menyentuh tangan Eliana. Tapi Eliana mengibaskannya.
“ Tolong kamu pergi..” ujar Eliana dengan suara lirih
“ Zia, tolong papah. Tolong bantu papah untuk meyakinkan mamah.” ucap Martin dengan tatapan nanar.
Kezia menggeleng, ia tidak bisa berfikir jernih. Semuanya begitu mengagetkan. Ia pun tak bisa mengiyakan atau
menolak papahnya. Dia masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“ Mah, dengerin dulu penjelasan papah..” lanjut Martin sambil menyentuh bahu Eliana.
Namun tiba-tiba Eliana berdiri dan mengibaskan tangan Martin. Kezia pun ikut berdiri memegangi Eliana.
“ Kalau kamu gag pergi, saya yang akan keluar dari rumah ini!” tegas Eliana sambil berlalu pergi menuju kamarnya.
“ Mah tunggu!! Okey papah yang pergi!” langkah Eliana terhenti.
“ Ya bagus, pergilah ke rumah perempuan itu!” sahut Eliana yang kemudian berlari menuju kamarnya sambil menangis.
Martin pun segera mengambil jas yang tergeletak di atas sofa dan kunci mobil di sebelahnya.
“ Pah, tolong jangan pergi dalam keadaan marah…” Kezia menahan tangan Martin dan memegangnya dengan erat.
“ Zia, kamu percaya papah kan?” tanya Martin dengan tajam menatap kedua bola mata putrinya.
“ Zia gag tau harus percaya siapa pah…” Jawab Kezia sambil terisak.
Terdengar Martin menghela nafas begitu dalam.
“ Papah pergi nak…” Ujar Martin sambil mengecup kening Kezia.
Kezia tak mampu berkata-kata. Dijatuhkannya tubuhnya di atas sofa. Ia merasa begitu lemas, serasa semua tulang ikut melebur bersamaan dengan air mata yang terus menetes. mungkin ini jawaban di balik perubahan sikap Eliana selama ini. Rasa kecewa dan sakit datang begitu saja dari laki-laki yang dicintainya. Keluarganya yang hangat hancur tanpa sisa. Menghilang lah sudah rasa hangat pelukan Eliana dan Martin yang selalu menyelimuti tubuh Kezia. Mungkin semuanya akan berlalu dan hanya menyisakan kenangan.
“ Non…” Ida mendekat dengan Air mata berurai.
Tidak ada jawaban yang terdengar dari mulut Kezia. Digenggamnya tangan Kezia dengan erat. Di lapnya air mata yang menetes di pipi Kezia.
“ Non kezia harus kuat, bagaimanapun keduanya orang tua non kezia…” imbuh Ida dengan air mata yang terus menetes.
“ Aku lelah bii, ke kamar dulu…” ujar Kezia sambil berlalu meninggalkan Ida.
Dengan langkah gontai Kezia menaiki satu per satu anak tangga menuju kamarnya. Di bukanya pintu kamar perlahan, kemudian di tutup lagi dan menguncinya. Di hempaskannya tubuhnya di atas ranjang dengan menelungkup. Dadanya terasa begitu panas. Pikirannya begitu kalut.
“ Kenapaaa????” Lirih kezia dalam hati. Tangannya mengepal memukul-mukul bantal di sampingnya. Air matanya mengalir deras membasahi spreinya. Kezia menangis dengan tersedu-sedu.
Dilepasnya tas ransel yang sedari tadi menempel di punggungnya. Kezia berbalik telentang dengan mata menatap langit-langit kamarnya yang di penuhi tempelan bintang-bintang. Pikirannya jauh melayang entah kemana. Teringat kembali kenangannya saat bersama kedua orangtuanya.
Kezia memiliki orangtua yang sama-sama bekerja. Eliana sebenarnya baru bekerja ketika Kezia berumur lima tahun. Tepatnya setelah empat puluh hari kematian Kakaknya. Saat itu Eliana sangat berduka, sehingga sengaja mencari pekerjaan untuk melupakan semua kesedihannya.
Kezia dan kedua orangtuanya memang jarang menghabiskan waktu bersama. Terakhir mereka melakukan liburan bersama adalah saat Kezia akan masuk SMP. Quality time mereka hanya terjadi di meja makan atau sesekali di ruang keluarga. Keduanya sangat sibuk. Kezia selalu mencoba memahami apa yang dilakukan orangtuanya semata-mata karena untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Walau sebenarnya yang Kezia perlukan bukan harta yang melimpah melainkan kehangatan yang diberikan kedua orangtuanya. Namun kini semuanya benar-benar pergi, tanpa ada yang tersisa.
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif……” Kezia mencoba menelpon Angga, tapi yang terdengar hanya suara
operator. Kezia menutup kembali telponnya.
“ Kamu kemana kak, aku butuh temen cerita…”lirih Kezia
Kezia beranjak dari tempat tidurnya. Diambilnya handuk berwarna merah muda yang berada di rak persis sebelah pintu masuk kamar mandi. Di bukanya pintu kamar mandi dengan perlahan lalu menutupnya kembali. Terdengar aliran air berjatuhan membasahi tubuh Kezia. Rasanya begitu dingin, sangat dingin. Kezia kembali menangis sesegukan dengan air mata yang bercampur dengan air mandi. Hatinya berteriak marah dan memaki sampai habis air matanya.
Kezia merasakan badannya begitu lemas dan menggigil. Diambilnya handuk yang tergantung di hanger. Dikeringkannya badan dan rambutnya secara bergantian. Kezia berjalan keluar kamar mandi, lalu berhenti di hadapan meja riasnya. Mata nya begitu sembab.
Seketika Kezia teringat Eliana. Kezia menghampiri lemari dan mengambil satu stel pakaian tidur. Disisirinya rambutnya yang panjang sepinggang lalu melangkah keluar kamarnya dengan perlahan. Dituruninya anak tangga dan langkahnya terhenti di ruang makan. Pikirannya kembali mengingat saat-saat Martin dan Eliana menggodanya ketika mereka sedang makan. Teringat juga ciuman hangat dari kedua orangtuanya. Ah, semuanya baru terjadi kemarin tapi mungkin tidak bisa terulang. Semuanya tergambar jelas di fikiran Kezia. Perih rasanya hatinya kini. Semuanya berlalu begitu saja. Tak ada lagi air mata yang keluar dari kedua matanya, ia harus tegar.
“ Mahh….” Panggil Kezia dengan suara parau. Tidak ada jawaban dari dalam. “ Mah, ini zia…” lirih Kezia perlahan.
“ Nak… mamah masih ingin sendiri…” jawab Eliana dari balik pintu.
Kezia pun tidak lagi berkata apa-apa. Dia segera kembali menuju kamarnya. Suasana rumah begitu sepi, hening. Kezia kembali membaringkan tubuhnya diatas ranjang. Dipeluknya guling erat-erat dengan selimut besar yang menutupi tubuhnya hingga ke dada. Nafasnya terdengar sangat berat. Kezia mencoba memejamkan matanya seraya berharap ia bisa terlelap dan melupakan hal menyedihkan hari ini.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments
Bunda dinna
Sedih banget,,Kezia harus kuat
2023-03-09
0
Hesti Ariani
kezia..yg kuat ya
2021-11-28
0
Dwi Alviana
seorang ibu yg gk dket anak trss berntem di depan anak egois
2021-10-19
0