Bu, apa pernah Ibu merasakan patah hati?" bu Minah tersenyum lalu membelai lembut pucuk kepala Nur yang tertutup oleh jilbab.
"Semua orang pernah merasakan itu, begitupun dengan Ibu. Namun, yang harus Nur tahu bahwa berkorban demi sesuatu akan membuat orang-orang yang ada di sekitar kita akan bahagia." Bu Mina memberi penjelasan panjang lebar pada Nur.
"Apa Ibu pernah di posisi itu?" semakin bertambah penasaran lalu Nur pun bersemangat untuk bisa mengetahui, akan masa lalu sang ibu.
"Ibu pernah ada di posisi itu, sakit tapi seiring berjalannya waktu Ibu bisa menerima kenyataan. Dimana seiring berjalannya waktu Ibu bisa menerima keadaan sampai detik ini," terang bu Mina pada Nur.
Ternyata nasibnya dan nasib ibunya sama, berjuang demi kebahagiaan orang. Walau harus mengorbankan perasaan, sakit tentu namun benar apa yang dikatakan oleh bu Mina saat ini.
"Nur, kamu harus percaya setiap ada kesulitan pasti akan menemukan jalan keluarnya. Intinya kamu harus yakin dengan prinsip yang kamu pegang untuk sekarang, percaya bahwa kebahagiaan akan selalu datang." Mendengar kata demi kata yang diucapkan oleh bu Mina, membuat hati Nur dingin dan damai.
"Ya sudah kita masuk ya. Tidak bagus untuk kesehatan badan," ajak bu Mina pada Nur, lantas mereka berdua berdiri dan meninggalkan gazebo.
"Ibu yakin Nur, kalau kamu sebentar lagi akan menemukan kebahagiaan. Doa Ibu selalu menyertaimu, Nak." Bu Mina dalam hati terus berucap dan tak pernah lupa menyisipkan sebagian doa untuk sang anak. Berharap kelak jika Nur akan menjadi wanita yang kuat, sabar dan bisa menghargai orang lain.
Di dalam kamar.
Nur tak dapat memejamkan mata, entah mengapa ia selalu memikirkan akan tiap kata yang selalu terlontar dari bibir bu Andini.
Yah, Nur selalu mendengar kata 'Anak haram' dan itu membuatnya semakin penasaran. Ia pernah mempunyai seorang ayah atau memang dia terlahir sebagai anak haram? Semuanya seakan bertumpu menjadi satu di dalam pikiran Nur.
"Apa aku harus mengatakan semua ini pada ibu, sedangkan setiap aku bertanya ibu selalu menghindar dan tidak mau berkata jujur padaku." Nur terus saja masih memikirkan akan hal itu, berharap jika ia benar-benar mempunyai seorang ayah.
Sudah hampir jam sebelas Nur mencoba memejamkan mata karena nanti, sepertiga malam harus bangun untuk shalat tahajud. Kebiasaan yang hampir tak pernah dilewatkan, kecuali ada kendala yang mengharuskan dirinya tidak bisa menjalankan.
Sedangkan di sisi lain. Tepatnya di kediaman Reza, Reza sekarang duduk di balkon. Memandangi langit yang dipenuhi oleh bintang yang bertebaran di atas sana.
Dengan kepulan asap yang dihisap dan entah sudah berapa batang rokok yang dihabiskan oleh lelaki tersebut, dan sesekali menyesap kopi yang berada di atas meja sampingnya.
"Mala, apa aku bisa menjadi sosok yang lebih dekat dari sekarang? Entah mengapa pertemuan kita untuk yang pertama kalinya aku langsung jatuh hati padamu." Reza sesekali berkata lirih karena untuk sekarang pikirannya dipenuhi oleh senyuman dari gadis berkerudung itu.
Tutur katanya yang lemah lembut, serta hatinya yang suci. Membuat Reza tidak dapat membayangkan yang lainnya, karena antara hati, mata dan pikirannya semua dipenuhi oleh wajah Nur.
"Apa mungkin aku jatuh hati padanya?" gumam Reza hingga tanpa terasa waktu semakin larut dan itu membuatnya sedari tadi menguap terus menerus.
...----------------...
Keesokan paginya. Hari yang cerah dan hati yang mulai bisa menerima keadaan, membuat Nur tersenyum, dan mungkin itulah salah satu cara untuk bisa lepas dari segalanya.
"Wah anak Ibu tumben seger banget ini pagi?" bu Mina melihat raut wajah Nur sudah kembali segar. Itu tandanya ia sudah bisa menerima kenyataan.
"Ibu ini apaan sih," sangkal Nur.
"Ya sudahlah, sekarang kamu lebih baik cuci piring biar Ibu nyapu sama ngepel. Setelah cuci piring kamu belanja ya." Bu Mina pun langsung memberikan uangnya pada Nur. Nur menerima dan langsung mengerjakan cucian piringnya dan setelah itu seperti yang ibunya suruh, kalau selanjutnya ia akan ke pasar.
Pukul tujuh pagi, saat Nur berada di dapur yang sendiri. Ia dikagetkan dengan suara seseorang dari belakang.
"Nur." Nur yang sedang mencuci pun sedikit tersentak karena sedikit kaget, lalu mengubah posisinya.
"Iya Pak, ada apa ya?" setelah menghadap ke arah pak Herlambang lantas Nur pun bertanya.
"Saya ingin wedang jahe, tolong buatkan sebelum berangkat kerja." Pak Herlambang pun langsung mengatakan keinginannya pada Nur, dan Nur mengangguk patuh.
"Iya Pak, di tunggu sebentar biar saya buatkan." Lalu Nur langsung mengambil cangkir untuk membuatkan minuman seperti yang di pinta oleh pak Herlambang.
"Antar kan ke ruang tengah ya," kata pak Herlambang lalu beliau pun pergi dari dapur.
Dengan tangan yang cekatan Nur langsung meracik wedang jahe dan tidak lama kemudian. Wedang sudah siap disajikan.
Saat Nur tengah membawa cangkir dengan keadaan asap panas yang masih mengepul, tiba-tiba saja.
Auh.
Huh.
Huh.
Huh.
"Kalau jalan itu pakai kata usahakan kakimu beres dalam melangkah!"
Nur yang saat itu tengah meniupi tangannya tidak memperdulikan ucapan yang selalu menyakitkan dari bu Andini.
"Kau tidak tuli kan?"
"Apa Nyonya tidak bisa melihat jika tangan saya tersiram air panas," sungut Nur dengan keadaan kesal bercampur rasa sakit.
"Itu sih salah kamu, suruh siapa teledor."
"Bukankah nyonya yang mencari masalah dan sengaja menabrak aku. Lantas mengapa aku juga yang harus disalahkan," ujar Nur dalam hati yang tak mengerti mengapa begitu bencinya bu Andini padanya.
"Iya ini memang salah saya, maka dari itu saya minta izin untuk ke dapur lagi."
"Sungguh tidak sopan."
Byurrrr.
Lagi, bu Andini menyiramkan sisa wedang itu ke arah jilbabnya dan itu membuat seluruh tubuh Nur merasakan panas, akibat siraman dari air jahe.
"Nyonya, ini panas mengapa anda menyiram saya?"
"Karena itu pantas untuk kamu yang hanya seorang anak haram, dan terlahir dari perempuan j*la*ng seperti ibu kamu."
"Ibu saya bukan orang seperti yang anda ucapkan…."
"Lantas dimana ayahmu, kamu tidak tahu kan siapa orang tua kamu. Cih, jangan munafik jadi orang! Pembantu saja tingkah." Nur tanpa pamit langsung meninggalkan bu Andini. Kini, hatinya terasa sakit dan perih saat kata-kata yang tak ingin didengarnya lagi dan lagi harus ia dengar, dengan keadaan sadar.
Nur segera mengganti bajunya agar rasa panas itu tidak menyebar dan untuk sesaat ia mengabaikan tangannya yang kini sudah berubah menjadi merah.
Bu Mina melihat langkah Nur tergopoh-gopoh langsung bertanya karena sepertinya ada sesuatu yang penting.
"Nur, kenapa?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
◡̈⃝︎➤N୧⃝🆖LU⃝SI✰◡̈⃝︎👾
nikmati saja penderitaan kamu Nur, kan ibu Mina sendiri gak mau keluar dari rumah itu
2023-11-09
0