Suara bariton dari arah belakang, membuat semua orang diam dan langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut.
"Reza!" pekik Nur.
"Apa ada masalah?" tanya Reza dengan tatapan mengintimidasi.
"Apa tidak ada pekerjaan yang akan aku kerjaan?" tanya Nur, dengan menaikkan satu alisnya.
"Nur, jangan meminta pekerjaan apapun pada mereka."
"Untuk Ibu Mina, harusnya juga begitu. Nikmati selama berada di sini, karena saya mengajak Ibu dan Nur bukan untuk saya jadikan pembantu. Paham," ucap Reza penuh penekanan.
"Tapi ini terlalu berlebihan untuk kami," ujar Nur dengan tatapan mengiba agar apa yang diminta bisa diberikan oleh Reza.
"Tidak Nur, itu sudah menjadi aturan yang mutlak. Tidak ada yang bisa membantah," kata Reza dengan tatapan dingin namun disitulah pancaran karismatik nya keluar.
Nada suara sedikit tinggi. Serta tatapan yang tajam, membuat Nur diam dan tidak berani menyela karena takut. Reza, baru kali ini begitu marah karena hal sepele dan itu bukanlah masalah berat, namun kemarahannya bisa membuatnya bungkam.
Setelah itu Reza pergi meninggalkan orang-orang yang ada di dapur.
"Menyebalkan." Dalam hati Nur menggerutu karena bisa-bisanya ia bisa luluh pada laki-laki itu.
"Nona, Ibu. Kalau begitu saya pamit dulu," ucap bibi pada Nur, namun siapa sangka Nur dengan secepat kilat langsung menghentikan langkah bibi.
"Bi, tunggu!" teriak Nur.
"Maaf, saya bukan bermaksud untuk membentak, Bibi." Nur berujar sambil meminta maaf karena tidak ada keniatan untuk meneriaki orang tua.
"Nona, Nona." Justru bibi malah tersenyum melihat ekspresi Nur yang sangat lucu itu.
"Kenapa Bibi tertawa?" tanya Nur sedikit sungkan.
"Tidak ada apa-apa, Nona. Ada apa memangnya?" tanya bibi pada Nur yang langsung teringat.
"Eum, saya cuma mau tanya? Reza suka kopi atau teh." Ucapan Nur lagi-lagi membuat bibi tersenyum.
"Sepertinya Nona mulai tumbuh perasaan pada tuan," ucap bibi dalam hati.
"Tuan suka kopi, apa Nona ingin membuatkannya." Netra bibi menatap lekat ke arah Nur, lalu.
"Gitu ya, Bi."
"Iya, Nona."
"Ada lagi yang ingin ditanyakan," ucap bibi karena kepala pelayan itu masih berdiri di hadapan Nur.
"Tidak ada, Bi. Nanti kalau ada yang saya tanyakan pasti akan memanggil," kata Nur dan tidak lupa mengucapkan terimakasih pada orang tua tersebut.
Bu Mina yang sedari tadi hanya menyimak tanpa ikut bertanya, sekarang. Beliau menghela nafas dalam-dalam karena yang ada di pikirannya dia adalah sosok pemalas
"Ibu, kenapa?" tanya Nur, karena sedari tadi ia hanya melihat ibunya diam bak patung yang tak bisa bergerak.
"Sepertinya kamu perlu menikah dengan nak Reza, biar sekalian…."
Uhuk.
Uhuk.
Belum sempat bu Mina melanjutkan percakapannya, namun Nur sudah lebih dulu tersedak dengan kata-kata yang baru saja dikeluarkannya.
"Apaan sih, Ibu lama-lama makin gak jelas." Nur pergi setelah mengatakan pada ibunya. Ia tidak mau semakin di luar nalar pembahasan untuk sekaran.
"Lho Nur, kok Ibu ditinggalin." Bu Mina mengikuti langkah Nur dengan sedikit tergesa-gesa karena anaknya langsung meninggalkannya.
Harapan bu Mina bisa mempunyai menantu yang baik, serta bertanggung jawab. Sekarang pikirannya tertuju pada Reza, siapa tahu dengan begini mereka bisa bersatu dan Nur juga bisa melupakan Yusuf.
Nur yang berjalan ke arah dapur untuk membuatkan secangkir kopi untuk Reza, dengan telaten tangannya meracik bubuk dan gula di gelas sambil menunggu Airnya mendidih.
Sedangkan di dalam ruangan kerja, Reza yang masih fokus pada layar laptopnya namun tiba-tiba berhenti, karena entah mengapa pikirannya tertuju pada Nur, gadis berkerudung yang sagat
cantik.
“Kenapa wajah kamu selalu melintas di pikiranku, Nur."
Argh.
"Sial!" layaknya orang gila, Reza meremas rambutnya dengan frustasi. Mengingat karena hanya ada Nur, dan Nur yang ada di kepalanya sekarang.
Tok.
Tok.
Tok.
Reza yang mendengar suara ketukan itu pun langsung merapikan rambutnya. Lalu menyisirnya dengan jemari-jemarinya, dan bersiap untuk mempersilahkan seseorang yang sedang mengetuk pintu tersebut.
"Masuk," titah Reza.
Ceklek.
Pintu terbuka menampilkan sosok wanita yang anggun, dengan balutan Syar'i serta hijab dengan warna senada. Membuat perempuan itu semakin enak dipandang.
"Kamu membawa apa, Nur."
Nur langsung membulatkan pandangannya, bagaimana bisa Reza tahu akan nama itu.
"Kenapa? Terkejut," ucapnya lagi pada Nur.
"Anugrah Nurmala."
"Maaf," kata Nur, dan ia yakin jika lelaki itu tahu akan namanya. Pasti semua itu karena ibunya.
"Ini saya bawakan kamu kopi," ucap Nur dengan mencari topik lain agar tidak lebih dalam untuk membahas namanya.
"Terimakasih." Jawab Reza pada Nur karena sudah mau membuatkan minuman untuknya.
"Hanya kopi, tidak perlu berterimakasih." Balasan dari Nur, membuat Reza mengangguk.
"Kalau begitu saya keluar."
"Silahkan."
"Dasar manusia aneh, kadang ramah kadang seperti es balok." Dengan langkah meninggalkan ruangan tersebut, Nur pun bergumam dalam hatinya.
...----------------...
Hari-hari yang dijalani oleh Nur begitu sangat cepat, hingga tidak terasa jika sekarang sudah lebih dari satu bulan di rumah Reza.
Keadaan keduanya semakin dekat dan bertambah akrab.
Pak Herlambang, Lisa dan juga Yusuf. Sibuk mencari keberadaan bu Mina dan Nur, namun mereka semua belum bisa mengetahui dimana keberadaan Nur tersebut. Ponsel yang sengaja tidak diaktifkan membuat orang-orang yang peduli dengannya kelimpungan, karena Nur sengaja menghindar dari semuanya.
Sekarang semuanya sudah berkumpul di meja makan, Reza ingin mengatakan sesuatu pada Nur, namun sedikit ragu. Takut jika Nur menolak ajakannya.
"Nak Reza, ada apa?" bu Mina yang melihat Reza dengan wajah yang bimbang, akhirnya memutuskan untuk bertanya.
"Bu, begini. Saya ingin mengajak Nur pergi untuk makan malam apa saya diizinkan?" Reza bertanya pada bu Mina untuk mengajak Nur pergi dan sekaligus meminta izin, jika anak perempuannya boleh di bawa atau tidak.
"Untuk soal itu jangan tanyakan pada saya, tanyakan pada, Nur."
Reza menatap dimana Nur duduk.
"Kapan?" akhirnya Nur membuka suara.
"Nanti, setelah magrib. Supaya kamu bisa menjalankan ibadah dulu," ucap Reza dengan hati yang bermekaran karena merasa jika kini dirinya sedang beruntung.
Acara makan siang telah usai, dan Nur sangat jengah jika harus berdiam saja di rumah.
"Bukankah belakang rumah ada lahan kosong, sepertinya bisa digunakan untuk bercocok tanam." Nur ingat dan setelah itu bibirnya menyunggingkan senyuman karena hari ini ia akan menanam bunga-bunga di halaman belakang rumah.
Bi Ida yang melihat Nur yang sedang bersimpuh di tanah langsung menghampiri, dengan tangannya memegang gelas.
"Nona! Nona sedang apa?" tanya bi Ida.
"Ini, Bi. Lagi mau nanam bunga," ucap Nur dengan diiringi sebuah senyuman.
"Nona, minumlah." Bi Ida lantas memberikan gelas yang sedari tadi dipegang.
"Makasih ya, Bi."
"Sama-sama, Non."
Bi Ida setelah memberikan minuman langsung pamit untuk kembali ke dapur, dan Nur pun melanjutkan pekerjaannya.
Siang sudah berganti dengan malam, dan hari yang ditunggu-tunggu sudah menanti Reza.
Yah, lelaki itu kini sedang menunggu Nur di bawah karena Nur masih bersiap-siap.
Kini sosok perempuan baru saja keluar dari kamar dengan membawa sejuta pesona.
Mata Reza tidak berkedip saat pandangannya menatap kagum ke arah wanita yang selalu dipuja dalam hatinya.
"Apa kamu akan terus tetap berdiri disitu," ujar Nur dengan kepala menggeleng.
"Cantik."
Sebuah jawaban yang membuat Nur bersemu merah karena sebuah pujian dari Reza.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments