“Naak!”
Husna menghentikan ucapan uminya, “Aku tahu apa yang akan umi katakan. Aku tahu. Maafkan aku umi yang tidak bisa menjadi putri yang kalian banggakan. Aku selalu menentang keputusan kalian. Tapi apa aku salah menolak pernikahan di usiaku yang baru 21 tahun. Aku masih muda Mi. Masih banyak cita-cita yang ingin aku gapai.” Ujar Husna.
“Nak, jika memang itu alasanmu menunda pernikahan karena kau ingin meraih cita-citamu maka itu bukan menjadi alasan nak. Banyak kok yang di luaran sana walaupun sudah menikah tetap saja meraih mimpi mereka. Tetap kuliah. Kami bisa memberikan syarat kepada calon suamimu nanti bahwa kau masih ingin kuliah setelah menikah. Tidak ada yang melarangmu untuk menghentikan kuliah atau pun menghentikan mimpimu. Kami bangga dengan semua pencapaianmu selama ini. Kami bangga putri yang kami miliki sangat hebat. Tapi nak umur abi dan umi sudah sepuh. Yah bisa di katakan begitu. Kami sudah 60 lebih dan hanya kau satu-satunya anak yang kami miliki. Kami tidak ingin saat kami pergi di panggil Allah masih meninggalkan kau sendiri tanpa penjaga.” Umi Balqis mengelus tangan putrinya itu lembut.
“Umii, jangan mengatakan itu. Aku berdoa setiap malam bahwa abi dan umi akan berumur panjang. Aku mohon umi jangan paksa aku untuk menikah. Pernikahan adalah hal yang sakral. Aku takut jika aku terburu-buru menikah maka aku akan mengecewakan kalian. Sungguh umi aku belum siap jika harus menikah secepat ini. Aku mohon umi tolong jelaskan kepad abi. Aku sangat menyayangi kalian. Hanya kalian yang aku punya. Tapi maaf jika harus menikah secepat ini.” ujar Husna merebahkan kepalanya di pangkuan uminya itu.
Umi Balqis pun mengusap lembut kepala putrinya yang di tutupi hijab lebar itu, “Umi mengerti kekhawatiranmu nak. Tapi umi dan abi yakin kau sudah siap untuk menikah. Nak, umi tahu ini berat untukmu tapi kami juga sudah tidak sanggup menolak lamaran untukmu lagi nak. Mereka sudah memilihmu jadi istri putra mereka yang baru saja kembali dari Mesir. Kau pikirkanlah dengan baik. Umi mau menemani abimu dulu.” Ujar Umi Balqis berdiri.
Husna pun menarik nafas kasar melihat punggung uminya itu yang menghilang di balik pintu. Husna segera berdiri dan meninggalkan ruang keluarga itu. Dia segera naik menuju lantai dua di mana kamarnya berada.
Dia segera membuka kamarnya dan merebahkan tubuhnya di ranjang empuknya. Kamarnya ini adalah ruangan ternyamannya. Kamarnya adalah saksi semua keluh kesahnya. Dia menangis dan tertawa kamarnya ini adalah saksinya. Jika kamarnya dan seisinya itu bisa bicara mungkin mereka akan melaporkan apa yang dia lakukan di kamarnya itu kepada orang lain karena sudah tidak sanggup memori mereka menyimpan terlalu banyak rahasianya.
“Huh, Aku masih muda. Kenapa harus menikah secepat itu. Aku tahu abi dan umi melakukan ini demi kebaikanku. Mereka khawatir dan tidak ingin aku di tinggalkan sendiri. Tapi sungguh aku baik-baik saja. Aku menyayangi mereka. Tapi kenapa harus memaksaku menikah di usia ini.” ujar Husna frutasi.
Setiap dia kembali ke rumah pasti selalu saja pembahasan lamaran itu selalu menjadi topiknya. Lamaran itu mulai datang sejak usianya menginjak 19 tahun dan hingga kini. Lamaran itu selalu bergantian setiap bulannya. Jika lamaran satu di tolak maka akan datang lagi lamaran lainnya. Tidak pernah membuatnya tenang.
“Ya Allah ingin rasanya aku mengeluh padamu. Aku tidak sanggup dengan semua ini. Aku ingin berteriak dan mengatakan bahwa aku tidak sanggup. Aku ingin menyerah saja. Tapi aku sadar bahwa ini adalah ujian dan takdirmu padaku. Aku lahir menjadi putri abi dan umi sebagai pengobat kerinduan mereka. Aku juga tahu apa tanggung jawabku sebagai putri tunggal mereka. Aku akan bertanggung jawab atas takdirku. Namun kenapa ujian menikah ini datang secepat ini. Aku belum menginginkannya. Setidaknya datangkan setelah aku lulus. Mungkin aku akan mempertimbangkannya yaa Allah. Walaupun aku ingin kuliah S2.”
“Husna, apa yang kau lakukan. Kau mencoba tawar menawar dengan penciptamu. Dasar bodoh!” ucap Husna memukul keningnya.
Husna pun bangkit dari ranjangnya dan menuju meja belajarnya lalu mengambil sebuah album dari laci mejanya itu dan mulai menuliskan keluh kesahnya di sana. Yah buku harian adalah temannya.
Husna, bukan tidak ingin berteman atau bersosialisasi dengan teman-temannya hanya saja menurutnya hal itu akan menguras tenaganya yang bisa dia luangkan untuk hal lain yang lebih bermanfaat. Husna dia selalu mengisi waktu luangnya menjadi penulis novel. Banyak novelnya yang sudah di terbitkan dan laku terjual. Banyak peminat untuk tulisannya itu. Dia mendapatkan pundi-pundi uang dari hasil menulisnya. Dia menabung hasil kerjanya itu karena semua kebutuhannya di penuhi oleh umi dan abinya. Bahkan apa yang di berikan oleh abi dan uminya itu sangat berlebihan untuknya dan selalu tersisa banyak.
Namun kenapa dia masih tetap menjalani hobinya sebagai penulis novel. Bukan karena tidak punya uang tapi karena di sana dia bisa menemukan dunianya sendiri. Dia bisa menjadi sutradara bagi tokoh novelnya. Dia bisa berteman dengan teman-teman pembacanya dan berinteraksi dengan mereka tanpa harus terlihat perfect. Dia bisa menjadi dirinya sendiri walaupun dengan identitas sebagai penulis. Husna merahasiakan dirinya dan memiliki nama pena sendiri.
“Terima kasih untuk hari ini temanku. Terima kasih sudah mendengarkan keluh kesahku hari ini. Aku menyayangimu.” Ujar Husna menyudahi tulisan di buku hariannya itu.
Setelah itu Husna melihat jam dan masih setengah jam lagi waktu sholat. Dia pun meraih laptopnya dan mulai menulis novelnya ke 12-nya yang bercerita seorang pengagum rahasia.
***
Di sisi lain, di sebuah kediaman yang berlantai satu. Ada seorang gadis yang saat ini bercerita dengan abangnya.
“Bang, penulis novel favoritku akan merilis buku barunya bulan depan. Aku harus mendapatkannya.” Ujar Zahra pada kakak laki-lakinya saat ini sibuk menata buku-bukunya.
“Apa novel karna Langit Senja lagi?” tanya Azzam tanpa menatap adiknya itu.
Zahra mengangguk, “Yah, dia adalah penulis favoritku. Aku ingin bertemu dengannya. Dia pasti sangat cantik.” Azzam segera memandang adiknya itu.
“Emang dia seorang gadis?” tanya Azzam.
Zahra mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu, “Zahra tak tahu tapi Zahra yakin dia pasti seorang perempuan. Pasti dia sangat cantik. Zahra akan meminta kepada Allah agar mempertemukan Zahra dengannya.” ucap Zahra.
“Apakah tidak ada yang tahu dia gadis atau pria?” tanya Azzam.
Zahra menggeleng, “Yah penulis favoritku itu sangat misterius. Aku sudah tergabung dalam grupnya tapi tidak ada yang tahu dia itu gadis atau pria. Tapi sekali lagi Zahra katakan dia pasti seorang gadis yang sangat cantik karena tulisannya itu sangat indah. Sudah ahh Zahra ke kamar dulu mau ikutan PO bukunya. Jangan lupa ya bang bulan depan.” Ucap Zahra segera berlari ke kamarnya.
Azzam pun diam lalu memandang sebuah buku, “Langit Senja? Siapa dia?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 197 Episodes
Comments
Happyy
😘😘😘
2023-08-24
0
Putri Minwa
mantap
2023-04-20
2