Revan mencari Livia menuju kedua toko branded yang tadi ia sebutkan. Revan murka, Livia benar-benar menghabiskan waktunya, karena sudah setengah jam tak kunjung kembali.
Saat menuju toko tas ternama, rupanya Livia tak ada di sana. Revan sudah berusaha untuk menemukannya dengan mengelilingi seluruh toko, namun sepertinya Livia sudah keluar dari sana.
Akhirnya Revan menuju ke toko jam tangan untuk memastikan keberadaan Livia. Revan kira, Livia tak mungkin akan pergi ke selain dua tempat ini, karena memang Livia tak akan tahu.
Saat Revan berada di toko jam tangan mewah, ia melihat sosok Livia tengah duduk di depan etalase bersama seorang pria. Hal ini tentu saja membuatnya murka.
Bagaimana tidak murka, Revan sudah menunggunya begitu lama, dan ketika Revan memutuskan untuk mencari Livia, Livia ternyata malah asyik-asyik berdua bersama dengan seorang pria.
"Sialan! Bukankah pria itu adalah pria yang menolongnya saat di Bali? Kenapa dia bisa ada di sini? Mungkinlah dia kala itu juga hanya berlibur? Kenapa mereka bisa bertemu? Apakah mereka sudah saling berhubungan lewat ponsel?"
Revan sudah sangat emosi, benar-benar tak bisa lagi ditahan kemarahannya. Ia sudah menunggu Livia begitu lama, namun pada kenyataannya, Livia malah asyik-asyik mengobrol dengan seorang pria.
"Bagus sekali ya! Sudah kubilang untuk segera menyelesaikannya, namun kau malah enak-enakan berbincang dengan seorang pria! Dasar tak tahu diri!" umpat Revan dengan keras.
Semua mata pun tertuju pada mereka yang sepertinya tengah terjadi perdebatan hebat. Revan memang memalukan, karena ucapannya, ia dan Livia jadi dilihat oleh para pengunjung lain.
"Cukup, kau keterlaluan! Jangan mempermalukan dirimu sendiri. Aku hanya kebetulan bertemu dengannya. Dan tak ada niat apapun. Hanya bertemu tanpa sebuah kesengajaan, itu saja."
"Mas Revan, maafkan aku. Aku sungguh tak bermaksud lama-lama, apalagi berbincang dengan Ardan. Kami hanya kebetulan bertemu, hanya itu saja. Kumohon kau tak perlu marah-marah di sini, hanya saja, jujur, aku dan Ardan hanya terlibat sebentar, karena dia membantuku memilihkan jam tangan untuk hadiah ulang tahun adikmu. Maafkan aku," Livia sadar, ia salah dan harus meminta maaf pada Revan.
"Bukankah kau tahu, peraturan-peraturan yang harus kau patuhi! Bukankah aku sudah memberi peringatan padamu! Kenapa kau harus melanggarnya, ha?" teriak Revan.
"Maaf, maafkan aku. Aku salah, aku khilaf, Mas Revan. Aku tidak ingat sama sekali, karena aku bingung harus memilih jam yang mana, jadi Ardan membantuku. Hanya itu saja, Mas, sungguh …" Livia benar-benar ketakutan, karena Revan terlihat sekali sangat marah.
"Alah, alasan saja! Sekali gatal tetap saja gatal! Jangan pernah membela diri, karena dimataku kau tetap salah dan tak pernah akan ada benarnya sedikitpun! Tak usah kau membela diri, apalagi terus-menerus membuatku marah! Dasar wanita tak punya harga diri!"
"Hey, kau hentikan mulut kotormu itu! Aku sungguh tak menyangka, Livia memiliki suami sepertimu. Kau harusnya sadar, wanita sebaik ini jangan kau sakiti, kau yang akan rugi sendiri nantinya!" Ardan mencoba membela Livia.
"Ardan, cukup!" Livia tak ingin Ardan membelanya. Karena akan semakin membuat Revan marah.
Revan tak sangka, ucapan menyebalkan itu akan keluar dari mulut Ardan. Revan benar-benar tak suka, ada seseorang yang memerintahkan dirinya, ataupun mengusik ketenangannya.
"Livia, masuk ke dalam mobil sekarang juga! Cepat!"
"T-tapi, Mas," Livia benar-benar tak nyaman.
"Livia! Pergi!" sentak Revan, hingga lagi-lagi, beberapa mata tertuju karena teriakannya.
"B-baiklah, Ardan aku pergi dulu."
Livia tak tahu lagi harus bagaimana. Melawan Revan pun tentu saja tak akan bisa, karena Livia tahu bagaimana sifat asli Revan, karena Revan begitu keras kepala, dan tak mungkin siapapun bisa melawannya.
Ardan masih menatap Revan dengan tatapan tajam. Ardan sendiri tak terima, dengan sikap dan perlakuan Revan pada Livia. Ardan tak suka, pada pria yang kasar terhadap wanita, seperti Revan lah orangnya.
"Kau! Kenapa kau harus menemui dia? Apa yang kau inginkan sebenarnya, ha? Tak bisakah kau urus dirimu sendiri, dan jangan lagi mengganggu dia!" bentak Revan.
"Aku tak sedikitpun mengganggunya. Aku bahkan tak tahu, jika dia berada di tempat ini. Aku hanya tak sengaja, bertemu dengannya, dan melihatnya kebingungan karena tengah mencari sesuatu."
"Lalu apa urusanmu, ha? Kenapa kau harus repot-repot membantunya? Jangan berani-beraninya mendekati dia, kau tak berhak sedikitpun!" pekik Revan.
"Lalu, kutanya padamu, apa gunanya kau sebagai suaminya? Apakah kau ada untuknya? Apakah kau menemaninya ketika dia kebingungan mencari sesuatu? Apa kau tak sadar, jika kau begitu kejam padanya?" balas Ardan begitu kejam.
"Dengar, ya, semua itu yang jelas bukan urusanmu! Mau aku tak peduli padanya, mau aku membiarkan dia, mau aku mengabaikannya, memangnya apa urusanmu, ha? Apa hakmu ikut campur urusanku dan dia? Kau hanya berhak untuk diam, karena kau bukan siapa-siapa!" pekik Revan.
"Aku memang bukan siapa-siapa kalian, atau bahkan, aku memang bukan orang penting dalam kehidupan kalian. Hanya saja, aku tak tega melihat seorang wanita, diperlakukan seperti itu. Aku memang tak peduli, atas dasar apa kalian bisa menikah. Hanya saja, tak bisakah kau sedikit lebih sopan dan menghargai wanita?"
"Kenapa kau harus mengajariku? Kenapa aku harus mengikuti semua ucapanmu?" Revan mendelik kesal.
"Jika kau tidak bisa menjadi seorang pria yang baik untuk istrimu, kau bisa berikan istrimu padaku, agar aku bisa membuatnya lebih bahagia hidup bersamaku!" tantang Ardan pada Revan.
"Ambil saja jika kau bisa! Kau pikir, Livia adalah wanita yang bisa dengan mudahnya terbebas dari jeratanku begitu saja? Ha? Buktikan saja kalau kau memang bisa!" Revan terkekeh, lalu meninggalkan Ardan begitu saja.
Revan merasa puas, karena tak ada siapapun yang bisa merebut Livia darinya, karena Livia adalah wanita pelunas hutangnya, dan jika hutang keluarganya belum bisa ia bayar, maka Livia selamanya akan ada dalam penjaranya.
.
.
Sesampainya di kediaman Sadewa Grup, sontak saja Revan menarik tangan Livia dan membawanya menuju kamar. Tak ada satu orang pun yang berani bertanya ataupun membela Livia di rumah itu.
Jika Revan marah, maka semuanya diam. Hanya Helma yang berani melawan Revan. Namun sepertinya, wanita paruh baya itu sedang sibuk untuk memersiapkan pesta ulang tahun anak kembarnya.
"Duduk kau!" sentak Revan pada Livia, begitu mereka sampai di kamar utama Revan.
"Baik, Mas."
"Kau tahu kan apa kesalahanmu? Kau tahu kan larangan apa yang adalah perintah itu? Kenapa tak pernah kau dengar dan tak pernah kau patuhi ha?"
"Maaf, aku juga sudah berusaha untuk mengusirnya, tetapi dia yang memaksa ingin membantu memilihkan jam tangan terbaik untuk Gata."
"Dan kau mau-mau saja begitu? Kau hanya diam saja begitu? Dasar wanita bodoh!"
"Maaf Mas Revan, bukankah tadi sejak awal pun aku sudah memintamu untuk mengantarmu? Kenapa juga kau tak mau? Sudahlah, hal kecil seperti itu tak perlu dibahas. Toh, aku pun kini sudah sampai di rumah ini. Jangan marah, ya? Jangan hukum aku, maafkan aku,"
"Dengar ya, jangan mengira aku ini cemburu padamu! Aku tak sedikitpun cemburu, tak sudi aku mencemburui wanita jelek sepertimu! Hanya saja, semua orang tahu, bahwa kau adalah istriku! Kau harus bisa menjaga nama baikku! Kau tak boleh mempermalukanku dengan berada bersama pria lain! Hal itu bisa mencoreng namaku, dan bama perusahaan! Camkan itu!"
"Baik, Mas, kukira kau memang cemburu padaku, karena Ardan yang berbuat baik padaku,"
"Cih, tak sudi! Gila kau berkata seperti itu padaku! Berani-beraninya kau! Pergi sana, bersihkan toilet dan sediakan perlengkapan mandi untukku! Dari pada kau banyak bicara terus, lebih baik kau bekerja tiada henti! Aku akan menghukummu selama dua puluh empat jam penuh! Cepat pergi! Selesaikan apa yang aku perintahkan!" sentak Revan sembari melotot tajam pada Livia.
Livia hanya bisa menghela napas panjang dan membuangnya dengan penuh kekesalan luar biasa. Ia tak berani membantah semua ucapan Revan, karena Livia sadar, posisinya dalam hidup Revan, hanyalah untuk menuruti semua keinginan dan peraturannya.
"Baik, Mas, kau bisa mandi dalam lima belas menit, setelah aku membersihkannya," tak terasa, ada bulir bening mengalir dari pelupuk matanya, sungguh ironi kehidupannya, harus menjadi pelayan sang penguasa seperti ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Rhina sri
kasian livia kpn si arogan bucin nya 😔
2023-06-01
0
Umine LulubagirAwi
Semngat, Ka.
2023-02-08
0
Achmad Elvino
jelek banget ceritanya
2023-02-08
0