Sesampainya di Bali, mereka pun menginap di resort milik Om-nya Revan. Revan mengajak teman-temannya untuk berada satu kamar bersama, dan membiarkan Livia tidur seorang diri di satu kamar yang berbeda.
Revan tak peduli dengan Livia yang berada seorang diri dan tak ditemani oleh siapapun. Revan dan kawan-kawannya justru hanya ingin mengerjai Livia dan membuat Livia kapok hidup berdampingan dengannya.
“Van, apa kau yakin membiarkannya tidur seorang diri? Dia itu wanita, lho. Sepertinya masih gadis. Memangnya kau tak ingin mencobanya?” tanya Andi.
“Tentu saja tidak! Aku tak mau tidur dengan wanita miskin yang hanya mencintai uang. Kalian tahu, dia dijual oleh keluarganya untuk menikah denganku, dia dan keluarganya adalah wanita yang mata duitan. Sepertinya wanita itu memang selalu diperjualbelikan oleh kedua orang tuanya. Bayangkan saja, tak mungkin kan dia masih perawan? Wanita seperti dia pasti sering tidur bersama laki-laki manapun hanya demi uang! Aku sungguh muak, karena aku tak menyukai wanita yang rela melakukan apa saja demi uang. Di mana harga dirinya sebagai seorang wanita yang bermartabat? Harga dirinya saja bisa dibeli oleh ibuku! Karena itulah aku sangat membencinya. Dan aku sengaja melakukan hal ini padanya, agar dia bisa jengah hidup bersamaku, dan melarikan diri secepat mungkin,” Revan terkekeh.
“Kurasa dia masih perawan, Van. Wajahnya masih polos begitu, dan tubuhnya pun masih padat berisi. Mana mungkin dia telah ditiduri oleh pria lain?” tutur Doni.
"Aku tak sudi menyentuhnya. Dia bukan tipeku, dan aku tak mau berhubungan dengan yang namanya wanita! Hidup dengan wanita itu merepotkan! Aku hanya ingin dia segera pergi dari kehidupanku, itu saja! Aku muak terus melakukan aktifitas bersamanya!" pekik Revan.
"Baiklah, kau harus sabar, Van. Semuanya butuh proses. Kalau kau tak mau, biar aku saja yang menidurinya," Ronal memicingkan kedua matanya.
"Sialan kau! Jangan berani macam-macam padanya. Karena jika kalian melakukan sesuatu padanya, pastinya aku yang akan dimintai pertanggung jawaban!"
"Ah, iya. Kau benar juga. Nanti pasti kau yang akan disalahkan. Mengerikan sekali, bisa-bisa aku dibunuh si Revan nanti. Ih, menakutkan," Ronal bergidik ngeri.
Beberapa saat kemudian, Sendi pun datang menemui Revan. Sepertinya, ada yang ingin Sendi katakan padanya saat ini.
"Tuan, permisi,"
"Kenapa?"
"Nyonya meminta foto Anda tengah berdua bersama Nona Livia, saya harus segera mengirimkannya sekarang juga," pinta Sendi.
"Ah, gila sekali. Apa-apaan ini, sudah berada di Bali saja aku selalu diteror oleh ibuku. Menyebalkan!" pekik Revan.
"Nova Livia sudah menunggu Anda di pantai, dekat dengan hotel ini, Tuan."
"Sendi, Sendi, kenapa juga kau harus mengiyakan permintaan ibuku? Kenapa tak kau katakan saja pada ibuku, Revan dan Livia tengah menghabiskan waktu di dalam kamar sejak tadi. Mereka tidak bisa diganggu sama sekali. Mereka tak juga keluar, dan aku masih menunggu. Katakan saja lah alasan-alasan apapun, jangan selalu menuruti perintah ibuku!" tukas Revan.
"Maaf, Tuan. Akan tetapi, perintah ini sudah diminta sejak kemarin, saat kita belum terbang ke Bali,"
"Aarrghh, menyebalkan! Aku harus melakukan apa memangnya?"
"Ya, melakukan hal berdua di pantai, ataupun di resort ini. Hal yang akan meyakinkan Nyonya, jika Tuan dan Nona tengah berbulan madu, dan menghabiskan waktu bersama." Sendi orangnya memang begitu serius.
"Ck, baiklah. Di mana wanita uang itu sekarang?"
"Dia tengah menunggu Anda di pantai, Tuan. Mari, ikut denganku," ajak Sendi.
"Bro, kalian menyusul nanti ya. Kita bersenang-senang di pantai, swtelah actingku dengan wanita uang itu selesai,"
"Baik, Van. Kami akan menyusulmu nanti,"
Revan pun mengikuti Sendi, yang tengah memintanya untuk foto bersama dengan Livia. Hal yang sangat menyebalkan bagi Revan, dan ini tentu saja membuatnya malas bukan main.
Revan melihat Livia sedang bermain pasir di bawah pohon kelapa yang menjulang tinggi. Revan memaki dalam hatinya, Cih, norak sekali.
"Nona, Tuan sudah tiba. Silakan, lalukan kegiatan apa saja bersamaan, saya akan memotret kalian dari jauh," ucap Sendi.
"Hanya dalam dua menit ya, Sen? Tak lebih!"
"Sampai aku menemukan posisi foto yang pas dan terlihat nyata, Tuan," pinta Sendi.
"Ah, rumit sekali memiliki sekretaris penurut sepertimu!"
Revan pun terpaksa jalan bersama Livia di pantai ini, Livia pun juga pasrah menurut, karena jika tidak, tahu sendiri akan bagaimana nasibnya, dicaci maki dan dihina oleh Revan.
"Kuharap, kau segera menemukan cara, agar secepatnya kau bisa pergi dari rumahku! Aku muak berlama-lama melihat wajahmu! Aku sungguh tak sanggup, harus berbagi kamar dengan wanita uang sepertimu!" pekik Revan.
"Aku tak akan pergi, sebelum Nyonya Helma memintaku pergi. Jika dia yang memintaku pergi, maka tanpa kau suruh pun, aku sudah pergi meninggalkanmu. Aku hanya terikat perjanjian dengan Nyonya Helma, jadi jika dia yang memintaku pergi, maka aku akan melakukannya." Livia kini berani menjawab ucapan Revan dengan sedikit ketus.
"Kurang ajar! Kini kau berani membantah perkataanku, iya?"
"Maaf, Revan, aku hanya memberitahumu saja. Karena hutangku memang dengan Nyonya Helma, bukan denganmu. Dan urusanmu, dengan Nyonya Helma, jika kau memang ingin aku pergi meninggalkanmu. Sebenarnya mudah saja, tinggal kau katakan pada ibumu, bukan begitu?"
"Aarrghh, ternyata kau lebih memusingkan! Dasar wanita aneh!"
Saat berjalan di pasir pantai, tiba-tiba Livia menginjak sebuah karang yang tipis dan tajam. Hingga lIvia menjerit kesakitan dan akan terjatuh. Namun tiba-tiba …
"Aarrghh, sakit," Revan dengan sigap memegang tubuh Livia, hingga akhirnya Livia tak terjatuh ke pasir, dan malah terjatuh ke pangkuan Revan.
Beberapa detik berlalu, mereka saling lihat-lihatan salking refleksnya kejadian itu terjadi. Setelah lamunan Revan tersadar, dan ia kaget, kenapa Livia bisa berada dipangkuannya, akhirnya Revan pun menjatuhkan Livia ke pasir.
"Aarggghh," Livia menjerit lagi, karena rasanya semakin sakit, dijatuhkan begitu saja oleh Revan.
"Enak saja main berada di pangkuan orang lain!"
"Aduh, sakit, ini benar-benar sakit. Kakiku tertusuk karang yang tajam," Livia mengaduh kesakitan.
Livia mengaduh kesakitan, karena kakinya tertusuk karang yang sepertinya tertimbun oleh tumpukan pasir.
"Parah sekali kau ini! Bukankah kau memakai sendal? Kenapa bisa tertusuk karang?"
"Sendalku sudah tipis, entahlah, entah karang atau apa, yang jelas aki sakit sekali, aah, ini berdarah," Livia mengaduh kesakitan, ia melihat kakinya tengah berdarah.
"Sendal-Sendal saja kau tak mampu membelinya!" sindir Revan.
Tanpa mereka sadari, Sendi tengah senyam-senyum melihat foto yang tengah ia ambil. Foto di mana Livia tengah dipangku oleh Revan. Posisi fotonya sangat pas, dan terlihat sekali jika Revan dan Livia seperti sepasang suami istri.
"Kenapa kau senyam-senyum?"
"Foto kalian sudah aku kirimkan pada Nyonya, Tuan," jawab Sendi.
"Hah? Foto? Aku dan dia? Foto apa?" Revan kaget.
"Foto saat Tuan tengah memangku Nona Livia," jawab Sendir mengulum senyumnya.
"Sialan! Sendi! Aku tak menyuruhmu mengirim foto itu kepada ibuku!" Revan terlihat marah sekali.
"Foto itu terlihat bagus sekali, Tuan. Nyonya pasti akan percaya jika kalian memang tengah berbulan madu," jawab Sendi.
"Kau kelewatan! Hapus fotonya sekarang juga!" perintah Revan.
"Sudah dilihat oleh Nyonya, Tuan, maafkan aku …"
"Sendiiiiii! Kauuuuu! Aarrgh, obati lukanya, muak aku pada kalian berdua!" Revan mengacak-acak rambutnya, lalu pergi meninggalkan Livia dan Sendi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Rhina sri
bagus sendi gpp buat kenang kenangan... moga revan cpt bucin
2023-06-01
0
Umine LulubagirAwi
semngt, ka
2023-01-24
0
Ida Fitria
thor yang rajin update ya... semangat!!!
2023-01-24
1