Bab 2. Pilihan yang Sulit

Livia menolak keras perjodohan itu. Ia terdiam di sudut kamar sembari menangis tiada henti. Perasaannya berkecamuk, hatinya hancur berkeping-keping mendengar perjodohan yang diucapkan sang Ayah.

Apakah Livia memang seorang wanita yang layak diperjualbelikan seperti ini? Apakah hal ini adil baginya? Tentu saja tidak!

Ini bukan zaman Siti Nurbaya, di mana perjodohan lazim dilakukan, dan wanita tak bisa berontak sedikitpun. Sekarang sudah merdeka, wanita berhak menentukan pilihan hidupnya sendiri.

Tetapi kenapa? Kenapa Livia tak bisa seperti itu? Kenapa Livia mendapat pilihan yang sesulit ini dalam hidupnya? Sebenarnya Livia juga sadar, permintaan ayahnya itu jelas karena sebuah keterpaksaan.

Ibunya tengah sakit keras, dan membutuhkan biaya banyak untuk transplantasi paru. Ayahnya memiliki uang darimana? Apalagi ratusan juta, yang tak akan mungkin bisa dimiliki dalam hitungan jam.

Akan tetapi, masa depan Livia yang jadi taruhannya, jika ia terpaksa harus menikah dengan orang yang sama sekali tak dicintainya.

"Livia, buka pintunya, Nak. Ayah ingin bicara denganmu! Ayah mohon, buka pintunya, dan maafkan Ayah atas permintaan itu. Livia …" Dodi berusaha untuk merayu Livia.

Livia menghela napas panjangnya, ia berjalan mendekati pintu, dan membuka pintu kamarnya, agar ayahnya bisa masuk. Livia berusaha tegar menghadapi kenyataan, dan mencoba memberanikan diri untuk berbicara dengan ayahnya.

"Livia, kau marah padaku? Maafkan Ayah, maafkan Ayah yang menumpahkan semua beban ini padamu. Ayah tak bermaksud menjualmu, hanya saja, Ayah tak memiliki pilihan lain selain menikahkanmu dengan anak teman Ayah. Sungguh, semua ini hanya demi kesembuhan Ibu, Ayah sudah tak tahu lagi harus berbuat apa. Sekali lagi, maafkan Ayah, Livia …" Dodi duduk disamping ranjang Livia.

"Kenapa harus aku? Kenapa aku yang kau jadikan tumbal? Ayah, tak berpikirkah masa depanku akan seperti apa nantinya? Jika aku menikah, dengan pria yang sama sekali tak aku cintai, akankah aku bahagia, ha? Tidak, Ayah! Hal itu hanya menyiksaku, dan menyakiti batinku! Dan lagi, mungkinkah dia akan mencintaiku dan menyayangiku? Belum tentu! Bagaimana jika aku hanya dijadikan sampah dan diinjak-injak olehnya? Aarrgghh, aku benar-benar membencimu!" Livia meneriaki Dodi begitu kerasnya.

Dodi terdiam. Ucapan Livia benar-benar membuatnya tertampar. Jika Dodi memaksakan diri, tentu saja hal ini akan semakin membuat Livia tersiksa. Ucapan putrinya itu memang benar, tak salah sedikitpun.

Hanya saja, kembali lagi pada keterpaksaan dan tak ada lagi jalan lain, selain menjual Livia pada Helma, demi keselamatan istrinya. Jika sudah seperti ini, Dodi harus bagaimana? Haruskah Dodi biarkan istrinya demi kebahagiaan Livia? Ataukah … biarkan masa depan Livia hancur, asalkan istrinya dapat disembuhkan?

Dodi melihat jam tangan yang melingkar di lengannya. Sudah pukul empat sore, itu berarti, hanya tinggal satu jam lagi, waktu yang diberikan pihak Rumah sakit padanya.  

Keadaan darurat ibunya Livia sudah tak bisa ditunda lagi. Semua ini bukan semata karena uang ratusan saja, namun juga karena keadaan Isma yang memang sudah tak bisa dibiarkan lagi.

"Baiklah, maafkan Ayah Livia. Ayah tak seharusnya memaksamu, dan mengorbankanmu demi kesembuhan Ibu. Ayah harusnya bekerja keras sendiri, untuk menyelamatkan Ibu. Ayah pergi dulu, ya. Waktu Ayah hanya tersisa satu jam lagi, untuk bisa menyelamatkan ibumu. Semoga, dalam waktu satu jam, Ayah bisa mendapatkan uang untuk biaya pengobatan Ibu. Akan tetapi, Maafkan Ayah, jika nanti, Ayah tak mendapatkannya, maka Ayah pasrah dengan keadaan Ibu. Namun doakan saja yang terbaik, semoga secepatnya Ayah bisa mendapatkan uang tersebut,"

Livia sedih mendengar penjelasan ayahnya. Ia jadi merasa bersalah, karena telah menolak permintaan ayahnya. Bagaimana jika Dodi tak mendapatkan uang itu? Bukankah nyawa ibunya yang akan menjasi taruhannya?

Uang tujuh ratus juta bukanlah uang yang sedikit. Livia jelas tahu, itu adalah nominal yang banyak, dan tak mungkin Dodi akan menemukannya dalam waktu satu jam.

Haruskah Livia menyerahkan diri? Hanya dia yang bisa menolong ibunya dengan cepat. Livia berpikir keras, jika ia menolak permintaan itu, betapa egoisnya dirinya. Tak mau berkorban demi keselamatan ibunya.

Tetapi …, jika Livia mengorbankan dirinya, mungkinkah ia akan bahagia tinggal bersama orang asing yang nantinya akan ia sebut sebagai suami?

"Ayah, jangan pergi!"

Dodi pun menoleh, "Kenapa, Livia?"

"B-Baiklah, a-aku, aku akan menuruti permintaan Ayah, untuk menikah dengan anak temanmu. Aku pasrah, aku melakukan semua ini demi Ibu, demi kesembuhan Ibu, agar Ibu tak merasakan sakit lagi," ucap Livia, diikuti oleh rintikan air matanya, yang tak sanggup ia tahan sama sekali.

"A-apa? Alhamdulillah, puji syukur terima kasih ya Allah. Kau telah menggerakkan hati anakku. Livia, terima kasih banyak atas keikhlasanmu, maafkan Ayah yang harus mengorbankanmu demi kesembuhan Ibu …" Dodi kaget, benar-benar tak menyangka, akhirnya Livia luluh dan mau mendengarkan permintaannyaa.

.

.

Kediaman keluarga besar Sadewa Grup ….

Helma dan Roni telah berunding, karena Helma telah mendapat kabar dari Dodi perihal persetujuan putrinya. Helma pun meminta sang anak sulung, Revan, untuk hadir makan malam bersama.

Mengingat, ada hal penting yang harus Helma sampaikan pada Revan. Perihal pernikahannya dengan anak Dodi, tentu saja Revan harus segera mengetahui kabar mengejutkan ini.

"Revan, sesuai keputusan Mama dan Papa, kami akan segera menikahkanmu dengan wanita pilihan Mama. Semua ini kami lakukan, karena kami lihat kamu sama sekali tak tertarik pada seorang wanita. Ini adalah jalan terbaik, agar tak ada lagi orang yang membicarakan dirimu, jika kau menyukai sesama jenis. Mama harap, kau bisa bekerja sama dengan pernikahan ini, Van. Ini semua demi kebaikan dirimu dan perusahaan. Semoga kamu bisa mengerti maksud Mama ini," ujar Helma begitu hati-hati.

"Apa? Menikah? Kalian gila, ha? Kenapa harus memutuskannya tanpa berunding dulu padaku? Tidak, tidak! Aku tak mau menikah dengan siapapun! Aku sungguh tak tertarik dengan pernikahan! Jika kalian terus memaksa, maka aku lebih baik pergi dari rumah ini!" ancam Revan.

"Silakan, silakan kau pergi dari rumah ini, Revan! Karena aku tak butuh seorang anak yang mempermalukan keluarga! Aku masih memiliki Anggita, dan Anggata, yang mampu meneruskan perusahaan besarku! Aku akan memilih Anggata untuk menggantikanmu, jika kau ingin pergi dari rumah ini! Tinggal kau katakan saja, kapan kau akan pergi, dan menyerahkan perusahaan itu!" Roni rupanya lebih kejam daripada Helma, ia sama sekali tak peduli dengan hati dan perasaan Revan.

"Apa? Sialan! Jadi kalian memang ingin membuangku, ha? Keluarga ini memang gila! Aku memiliki kedua orang tua yang sangat picik! Aarrgghhh, kurang ajar!" Revan mengacak-acak rambutnya, seraya meninggalkan meja makan, dan beranjak menuju kamar pribadinya.

Sekretaris pribadi Revan pun segera menyusul Revan, dan akan berusaha merayunya, agar Revan mau mendengarkan permintaan kedua orang tuanya. 

"Semoga Revan akan luluh jika Sendi yang menasehatinya, Pah. Semua ini demi kebaikannya, dan Mama hanya ingin, nama baik Revan kembali bersih dengan pernikahan ini," ujar Helma.

"Ancaman perusahaan selalu membuatnya takut, Ma. Tenang saja, dia pasti mau menerima pernikahan ini," Roni begitu yakin, karena ancaman perusahaan adalah ancaman terbaik yang akan membuat Revan takluk.

Akankah Revan mau menerima pernikahan ini?

Terpopuler

Comments

Rhina sri

Rhina sri

apakah revan akan menerima perjodohan ini🤔🤔

2023-05-31

0

lovely

lovely

smoga yg cowok nya yg Bucin duluan

2023-02-14

0

Umine LulubagirAwi

Umine LulubagirAwi

hufh... revan2. knp gk ada niat nikh?🤔

2023-01-20

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!