Revan akhirnya diantar oleh Sendi, karena Sendi menawarkan diri untuk membantu Livia. Akhirnya, mereka pun berangkat berdua, menuju ke pantai tempat tadi Revan meninggalkan Livia. Sepanjang jalan, Revan terus mengeluh dan marah-marah.
Livia memusingkannya, Revan tak henti-hentinya berbicara sendiri dan mengutuk Livia terus-terusan. Baginya, Livia benar-benar benalu dan mala petaka. Sungguh, jika orang tuanya tak akan menanyakan keberadaan Livia, Revan akan masa bodoh dan tak peduli pada gadis itu.
"Dasar gadis menyebalkan. Sudah kubilang kan, jika hidup dengan gadis itu pasti akan sangat menyulitkan! Seperti inilah contohnya, ditinggalkan secara sengaja, bukannya tahu diri untuk pulang sendiri, malah belum pulang juga sampai sekarang! Entah apa maunya, aku sungguh heran! Aarrgh, hidup dengannya jelas seperti musibah bagiku!"
Revan terus saja menggerutu. Ia kesal, kenapa seolah Revan yang kena getahnya juga?Akibat perbuatannya, Revan sendiri yang akhirnya harus pusing mencari Livia.
"Tuan, kenapa juga Anda harus meninggalkannya?"
"Aku hanya iseng. Kukira dia akan tahu jalan pulang!" balas Revan.
"Saya khawatir padanya, Tuan. Bagaimana jika ada yang menculiknya? Kurasa, Nona Livia itu cantik. Takut saja kalau ada pria-pria nakal yang melakukan perbuatan jahat pada Nona," tutur Sendi.
"Aku tak peduli apa yang akan terjadi padanya, sungguh, aku tak peduli. Aku hanya malas berurusan dengan Mama, karena itulah aku berusaha mencarinya!"
"Semoga Nona Livia baik-baik saja,"
Revan menghela napas. Livia sungguh membuat kepalanya sakit. Ada-Ada saja, kenapa harus Revan yang pusing karena ulahnya?
Sesampainya di tempat, Revan dan Sendi pun mencari Livia. Karena hari sudah larut, tentu saja keadaannya pun gelap gulita dan mereka agak sedikit kesulitan untuk mencari Livia.
Saat mereka tengah mencari keberadaan Livia, tiba-tiba saja Helma menelepon Revan. Revan tentu saja kaget, karena kenapa selarut ini ibunya harus menelepon?
"Halo, Ma, ada apa?"
"Livia mana? Kenapa sejak tadi kutelepon nomornya tidak aktif!"
"Sudah tidur! Kenapa memangnya? Apa yang ingin Mama katakan? Katakan saja padaku, biar nanti aku yang menyampaikannya,"
"Foto ketika dia sedang tidur, lalu kirimkan padaku!"
Astaga, kenapa ibuku merepotkan sekali. batin Revan.
"Aku sedang di pantai bersama Sendi. Jauh kalau jarus ke resort lagi! Mama kenapa sih? Protektif sekali? Kenapa kau tak percaya jika aku memang bersamanya? Toh, kau juga tahu,kan? Sejak siang tadi pun aku bersamanya. Bukankah Sendi sudah mengirimi fotoku dan Livia bersama-sama?" Revan risih, karena Helma terus saja tak percaya padanya.
"Mama curiga padamu, kurasa kau memang tak bersamanya! Ini adalah bulan madumu, Revan! Kau seharusnya sadar, jika kau tak pantas berada di luar dan membiarkan istrimu sendirian! Cepat pulang ke resort dan temani istrimu tidur! Setelah itu, kau berikan buktinya padaku!" Helma benar-benar memaksa.
Deg. Bukti lagi? Revan harus tetap memberikan bukti, jika Livia tengah bersamanya? Bagaimana ini? Saat ini pun ia tengah mencari keberadaan Livia. Mana mungkin Revan bisa memberi bukti foto satu kamar dengan Livia?
Revan jadi bingung sendiri. Entah ia harus apa, dan apa yang harus ia katakan. Apakah Revan harus jujur pada Helma? Jika tidak jujur pun, Helma pasti akan terus mencecarnya.
"Mama, sebenarnya …" akhirnya Revan pun berniat untuk mengaku pada Helma.
"Apa? Sebenarnya apa, ha?" Helma sudah meninggikan suaranya.
"L-Livia tak tahu pergi ke mana! Ini pun aku sedang mencarinya! Sudah ya, Ma, jangan hubungi aku dulu! Aku dan Sendi akan mencari Livia dulu! Bye,"
"Hah? A-apa? R-Revan, k-kau kenapa bisa-bisanya kau—-"
Tut, tut, tut, panggilan pun tertutup. Revan langsung mematikan ponselnya, agar Helma tak terus mengganggunya. Revan sudah pusing, pusing mencari keberadaan Livia, ditambah lagi ibunya yang juga sama-sama memusingkan.
"Tuan,"
"Apalagi?" sentak Revan.
"Nyonya menelepon,"
"Matikan ponselmu!" perintah Revan.
"T-tapi, Tuan," Sendi sedikit keberatan.
"Matikan kubilang!" Revan meninggikan suaranya.
"B-baiklah, Tuan,"
"Sialan! Di mana wanita uang itu sebenarnya? Sungguh menyusahkan saja! Aarrghh," Revan mengacak-acak rambutnya.
Sendi pun mematikan ponselnya, Revan tak ingin Helma mengganggunta terus. Karena Revan pun kini tengah berusaha mencari Livia. Revan hanya berharap, jika Livia bisa segera ditemukan.
Beberapa jam berlalu, Revan masih belum juga menemukan Livia. Hingga akhirnya, Revan dan Sendi ketiduran di dalam mobil. Mereka begitu kelelahan, hingga tak terasa, begitu mudahnya mata mereka terpejam.
.
Keesokan harinya ….
Livia sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter. Ardan sudah mengurus semua biaya pengobatan dan rawat inapnya. Kini, Ardan berada di ruangan rawat Livia, untuk mengajaknya pulang.
"Kau tinggal di villa mana? Atau hotel? Biar kuantar kau pulang sekarang,"
"Maafkan aku ya, kau jadi kerepotan seperti ini,"
"Memangnya ada ya villa maafkan aku?"
"Maksudku, aku tak enak padamu, ini terlalu merepotkan. Berapa semua biayanya? Biar nanti kuganti setelah sampai villa-ku,"
"Tak usah kau ganti, aku ingin menambah pahala dengan berbuat baik kepada siapapun. Jika uangnya kau ganti, niat berbuat baikku jadi sia-sia. Sudah ya, ayo kita pulang. Di mana villamu?"
"Ballinesse resort,"
"Ah, iya. Aku tahu villa itu. Baiklah, ayo kita pulang. Keluargamu pasti cemas padamu. Semalam, kenapa kau tak mau melakukan charge pada ponselmu? Seharusnya kau isi baterainya, agar bisa menghubungi keluargamu," saran Ardan.
"Biarkan saja, toh mereka tak mungkin ada yang menanyakan kabarku," jawab Livia.
"Kok begitu?"
"Ah, sudahlah, lupakan saja. Mari pulang, sebelumnya terima kasih banyak sekali, Ardan"
"No problem, ayo berangkat. Biar kubantu, pelan-pelan ya jalannya,"
"Makasih sekali, Ardan …"
.
.
Beberapa saat kemudian, akhirnya Ardan telah sampai mengantar Livia menuju ke villa tempatnya menginap. Sebenarnya, ada perasaan takut, cemas, dan khawatir jika saja Revan melihat Livia diantar oleh Ardan.
Livia jadi berharap, agar Ardan segera berlalu, sebelum nanti Revan akan melihatnya. Livia pun keluar dari mobil Ardan, eh, Ardan pun malah ikut-ikutan turun. Hal ini semakin membuat Livia tambah cemas saja.
"Terima kasih, ya. Sampai sini saja antarnya," ucap Livia pelan.
"Kenapa? Biar kuantar sampai dalam, khawatir kau masih lemas," jawab Ardan.
"Tidak, aku sudah membaik, aku sanggup jalan sendiri. Sebelumnya, terima kasih banyak ya Ardan, atas semua kebaikanmu. Jika saja tak ada dirimu malam itu, entah akan bagaimana nasibku. Mungkin aku sudah tergeletak di jalanan,
"Sama-sama, Livia. Semua ini berkat Allah, yang telah menggerakkan hatiku untuk menolongmu. Ya sudah, kalau memang kau ingin masuk sendiri, aku pulang, ya,"
"Iya, Ardan, terima kasih banyak sekali,"
Tanpa Livia sadari, ada sebuah mobil yang turut berhenti juga. Ternyata, itu adalah mobil Revan dan Sendi. Revan yang melihat Livia bersama pria lain, sontak saja marah dan segera berlari menuju mereka berdua.
"Oh, bagus-bagus! Suamimu mencarimu ke mana-mana, rupanya kau malah berdua-duaan bersama pria lain! Ah, rupanya kau pemain juga, ya! Sungguh mengangetkan! Dasar wanita tak tahu diri!"
Deg. Baik Livia, maupun Ardan, seketika itu pula, mereka langsung fokus pada sumber suara. Jantung Livia bergemuruh cepat, melihat sosok Revan berada dihadapannya.
"Bagaimana ini? Ya Allah, dia pasti marah, dia pasti tak terima melihat keberadaan Ardan. Apa yang harus aku lakukan?" batin Livia, dengan tangan dan kaki yang mulai gemetar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Rhina sri
peng di sentil tuh mulut si revan..
2023-06-01
0
Umine LulubagirAwi
Hdwh, Revan2 tuh mulut ga prnh skolh apa ya? 🤦♀🤦♀
2023-01-30
0
♍Endah Wahyu♍
Berharap Ardan blm pergi dan membela Livia....
Supaya ga tambah salah paham....
2023-01-30
0